[Chapter 4] The Ospek

Day 2,233, 11:10 Published in Indonesia Indonesia by Nurmillaty A.M

Last chapter:
“Ospeknya sederhana. Kau tinggal di ruangan ini lima hari. Tak boleh pergi satu langkahpun, tak boleh bicara pada satu orangpun, dan di ujung ospek nanti kau harus bisa mengidentifikasi 3 jendral di MU ini dan menyebutkan 8 nama anggota selain para jendral. Paham?”

Mendengar kata ospek saja aku sudah mau mampus, dan intonasi datar Nang saat menjelaskan semuanya sama sekali tak membantu. Perutku makin melilit ketika otakku berusaha mencerna kata-kata yang tertutur cepat.

Tak boleh pergi.

Tak boleh bicara.

Dan harus tahu nama 11 orang?

SUPERDUPERMAMPUS!


!!! Warning: Long chapter ahead. !!!


Siap, Paham!
“Paham,” cicitku setelah semenit terdiam bagai orang baru kehantam meteor satu ton. Selama itulah otakku memproses informasi barusan, maaf saja ya, aku memang lemot. Pffft.

Nang memiringkan kepalanya ke kanan sedikit dan menggumam,

“Kau tahu, aku tidak keberatan dengan jawaban ‘paham’. Tapi prajurit biasanya menambahkan kata ‘siap’ pada tiap jawaban mereka.”

“Siap, paham!” ralatku cepat sembari menaikkan sebelah alis ke arahnya, “Seperti ini?”

Nang tertawa.

“Ya, seperti itu. Tapi tanpa menaikkan alis.”

Aku ikut tertawa dan sejenak lupa tentang kesuperduperanmampusku beberapa saat yang lalu. Tapi saat tawa kami mereda, nervous merecokiku lagi.

11 orang bukan jumlah yang sedikit.

Apa aku mampu? Jika aku mampu, apa aku mau?

Aku mengerjapkan mataku beberapa kali pada pikiran itu. Ya, apa aku mau? Apa ini benar-benar keinginanku? Apa aku membuat keputusan yang tepat dengan mengikuti Nang sampai sini?

Aku mendongak, pandanganku disapa oleh tatapan tenang Nang.

“Nang,” aku berhenti sejenak, teringat pada bagaimana Komandin (dia perempuan, oke? Komandan itu sebutan untuk lelaki, setidaknya menurutku) tadi memanggilnya, “eh… apa kau mau kupanggil Kapten?”

Nang mengangkat alisnya.

“Maksudku, eh… tadi Komandin memanggilmu Kapten Nang,” jelasku cepat-cepat sambil menggaruk kepalaku yang tak gatal.

“Oh, Komandan Aleeta?” gumamnya mengingat-ingat, “Sebutan Kapten itu cuma gelar militer. Jadi, yah… nanti saja kalau kau sudah resmi jadi prajurit, kau baru panggil aku Kapten.”

Aku mengangkat bahu, tapi dalam hati diam-diam mencatat nama itu. Aku harus mencari tahu nama 11 orang, ingat? Nah, aku sudah tahu Nang, dan juga Komandin Aleeta.

9 names to go.

“Sekarang sudah jam sembilan malam. Kau mesti tidur, ospekmu dimulai besok.”

Dan tanpa mengindahkan tatapan ngeri yang menginvasi wajahku saat mendengar kata ospek, Nang beranjak mendekati salah satu dinding yang berseberangan dengan rak peralatan tempur. Dinding itu dipenuhi ubin-ubin dengan warna acak, dari hitam bergradasi menjadi putih.

Dengan gerakan yang cepat Nang menekan beberapa ubin sampai terdengar bunyi piiiip yang panjang. Yang terjadi selanjutnya membuatku melotot; dinding itu terbelah vertikal, dua bagiannya bergerak saling menjauh ke atas dan ke bawah, membuat sebuah ruangan yang sedari tadi bersembunyi di baliknya tersingkap.

“Ini ruang tidur,” jelas Nang kendatipun sekali lihat aku langsung tahu. Ruangan itu panjang; lebih panjang dari ruang tamu ini, dipenuhi oleh kasur-kasur yang disusun rapi menempel tembok dalam dua deretan berhadap-hadapan.

“Sekarang masih kosong karena semua prajurit lembur perang. Ada misi mobile. Tapi waktu mereka balik besok pagi, kujamin ruangan ini bakal sesak.”

“Seperti ikan yang dipepes?”

“Pepes itu enak,” gumam Nang tak jelas sebelum menggelengkan kepalanya, “tidak. Tidak seperti pepes. Ruangannya bakal sesak karena banyak orang, tapi satu orang satu tempat tidur.”

Aku mengangguk saja.

“Karena banyak kasur kosong, malam ini kau tidur di sini. Tapi mulai besok sampai lima hari ke depan, selama ospek, kau tidur di ruang tamu.”

Mendengar kata ospek, perutku melilit lagi. Dua peraturan yang disebut Nang kembali terngiang di telingaku. Tak boleh kemana-mana. Tak boleh bicara.

Sekarang mana bisa aku tidur dengan tenang jika tahu besok aku akan, uh, dipingit?

Aku menelan ludah. Penjelasan Nang tentang bagaimana aku bisa mendapatkan kasurku sendiri jika aku lulus ospek nanti terpental dari gendang telingaku.

“Hei, Nang,” ujarku pelan, menyela ucapannya. Ia berhenti berkicau dan memandang ke arahku dengan tatapan bertanya,

“Ya?”

“Apa kau bisa begadang sampai jam dua belas?”

Untuk kesekian kalinya hari ini, Nang mengangkat alisnya dan menatap heran kepadaku.

“Prajurit terbiasa begadang. Jadi, ya, aku bisa.”

“Apa kau pikir kau mau menemaniku begadang sampai jam dua belas?” tanyaku pelan.

“Kau mau begadang?” tanyanya dengan alis makin terangkat, hampir-hampir hilang di balik poninya. Aku terdiam sejenak, mencoba menyusun kata-kata yang tepat untuk menjawab.

“Aku cuma punya waktu tiga jam sebelum hari berganti dan berbicara jadi hal terlarang. Jadi kurasa aku belum mau tidur dan aku butuh seseorang buat kuajak bicara sebelum aku jadi bisu lima hari ke depan,” jelasku pelan.

Dalam hati aku berdoa semoga Nang tahu perasaan pendatang baru yang nervous tentang ospek dari sebuah lingkungan asing di planet asing di tengah orang-orang asing.

“Baiklah, tapi lewat jam dua belas nanti aku tak akan menjawab apa-apa lagi. Oke?”

Senyumku mengembang, dan mulutku sudah otomatis menjawab dengan kehendaknya sendiri.

“Siap, oke!”



Ospek Day 1: Angky
Setelah semalam menghujani Nang dengan seambrek pertanyaan mengenai ospek, hari ini aku terbangun oleh keramaian yang tahu-tahu sudah menyelimuti sekelilingku. Aku membuka mata, mengerjap beberapa kali, dan menahan nafas saat wajah-wajah tak dikenal bersebaran dimana-mana.

Nang benar, ruang tidur segede ini jadi sesak. Mereka pasti baru kembali dari tugas, ditilik dari rompi anti peluru yang masih dikenakan beberapa orang. Aku terpaku di atas kasur dengan mata menjalar kemana-mana, mengakrabkan diri dengan segambreng wajah-wajah anyar tanpa bertegur sapa.

“Heh, nih anak siapa duduk-duduk di atas kasur gue?”

Kepalaku cepat menoleh ke kiri dan sebuah telunjuk mengacung tepat di depanku, andai aku mancung sedikit saja pasti sudah tersentil.

Ada bagusnya juga lu pesek sejak lahir, sebuah suara di otakku mencemooh.

Aku mengerjap lagi, lalu mencoba mengangkat pandangan untuk melihat wajah orang yang menunjuk-nunjukku.

“Heh, jawab!”

Si penunjuk di hadapanku ini berkepala, dengan satu hidung berlubang dua dan satu mulut dan dua mata dengan alis yang bertengger malu-malu di atasnya, nyaris nggak ada. Kalau suatu saat dia nikah, pasti pensil alisnya harus diserut lima kali buat menegaskan eksistensi alis itu.

Aku menghembuskan nafas lega, dia manusia biasa.

“Selamat pa–oh, hei! Kayaknya kalian udah pada ketemu sama si anak baru, ya?” kudengar sebuah suara riang yang kukenali sebagai suara Nang datang dari sebelah kanan.

“Oh, jadi ini anak Baru? Mana si Baru, gue gak terima kasur gue dipake-pake anaknya!”

Aku menoleh ke arah Nang yang sedang nge-facepalm dirinya sendiri.

“Tapi, anak ini cute jugak sih.”

Heh?

Aku bergidik mendengar ‘pujian’ itu, dan mendadak ingin pinjam tangan Nang untuk nge-facepalm diriku sendiri.

“Haish, bipolar Angky as always,” kudengar Nang menggumam cepat.

“Gue denger.”

“Dan gak membantah,” balas Nang sembari memutar bola mata. Aku menelan ludah, otak lemotku pelan-pelan memproses apa saja yang baru saja terdengar.

Aku dibilang cute.

Sama cowok.

Mak, jangan-jangan habis ini aku dilamar!

Tanpa mengindahkan ekspresi horror yang aku yakin sedang terpampang jelas di wajahku, Nang mulai menjelaskan tentang kenapa aku ada di sini, juga tentang ospekku yang akan berdurasi lima hari. Lelaki yang dipanggil Angky itu manggut-manggut, dan segerombol orang yang entah sejak kapan sudah berkumpul di belakangnya juga ikut manggut-manggut.

Setelah perkenalan itu, aku diseret Nang keluar dari ruang tidur dan aku menurut saja; setengah lega karena sampai saat ini tidak ada lamaran terlontar, dan setengah nervous karena aku tahu, ospek dimulai.

“Kau boleh ngapain aja, selain main-main sama senjata, ngebunuh orang, atau ngeledakin ruang tamu. Terserah.”

Kata-kata Nang semalam terngiang di telingaku.

Yah, kalau soal menghabiskan waktu, aku sudah melakukannya dengan baik selama sebulan terakhir ini; sejak aku menginjakkan kaki di planet ini. Aku cuma perlu mengulanginya saja. Bukan masalah besar.

Kulemparkan pandangan ke arah ruang tidur selama beberapa detik, sebelum menoleh ke langit-langit. Sebuah senyum kuulas tipis untuk diriku sendiri saat kuingat bagaimana Nang memanggil lelaki penunjuk tadi.

Angky.

8 names to go.



Ospek Day 2: bacangtanah, aimond07, REGTNT
Hari ini aku bangun dengan badan hancur. Tidur di lantai semalaman, bung! Dingin, jelas. Punggung, jangan ditanya lagi, luarbiasa pegalnya. Kepalaku cenat-cenut begitu kupaksa duduk dari posisi berbaring, alamak…

Kenapa pula lantai tak dibuat seempuk kasur?

Kalau kaumau tahu, sebetulnya aku tak hendak tidur di lantai. Ogah. Tak berkelas. Tapi setelah seharian mengekori orang-orang yang berlalu-lalang di ruang tamu sambil berharap seseorang menyebut nama (yang hasilnya nihil), badanku jadi lelah bukan main. Begitu massa mulai pergi satu-persatu mengokang senjata dan ruangan kosong lagi, aku ambruk. Badanku demo, lelah, terlalu lelah buat memusingkan gengsi.

Jadilah, aku terlelap di samping rak peralatan tempur.

Setelah mengucek-ucek mata, kuregangkan badanku, meniru artis-artis iklan kebugaran yang pernah kulihat waktu masih di Bumi dulu; cuma untuk mengerang pelan saat aku salah gerakan. Alih-alih bugar, punggungku makin pegal dan bahuku nyeri.

One doesn’t simply, stretching like a boss.

Kukerjapkan mataku sekali, dua kali, lalu setelah yang kali ketiga akhirnya pandanganku yang mengabut jadi jelas. Ruangan ini sepi, sepi betul, bandingkan dengan kemarin yang ramainya bisa mendobrak alam mimpiku. Padahal dulu waktu di Bumi, Ibu bilang tidurku kayak mayat.

Ah, Bumi…

Aku menunduk dan mendesah pelan, menelan kata rindu yang hampir meluncur dari tenggorokan.

“Oi, aimond07! Tunggu kek!”

Mendengar ada nama disebut, aku sontak mendongak dan melihat seorang lelaki berkepala nyaris kotak mengejar lelaki lain yang kuasumsikan bernama aimond07 tadi.

Sepertinya dua orang ini tak sadar ada aku, karena kemarin tak seorangpun berkenan menyebut nama ketika aku ada di sekitarnya. Aku yakin mereka konspirasi. Jadi mumpung kehadiranku lagi tak dianggap, aku beringsut makin ke pojok, berusaha menyatu dengan tembok sambil terus menguping.

Lelaki yang dikejar itu berhenti dan berbalik, wajahnya tampak bosan, sambil membetulkan kacamatanya yang sudah tak berkaca dia bilang,

“Kau, tuh, ditunggu gak nyadar! Kita udah ketinggalan tiga puluh menit dari yang lain! Ane ogah dimarahi Ndin Aleeta!”

“SORI, SORI! REGTNT nyembunyiin sempak gue!”

“LU MINTA MAAP APA NGAJAK BERANTEM?!”

“MINTA MAAP! SEMPAK GUE DISEMBUNYIIN, GUE TAKUT TUH SEMPAK ILANG!”

“Pshhh, disembunyiin pun semua bakal tahu itu punya kau, jadi pasti bakal balik. Ada jahitan kata bacangtanah di tiap baju kau, 'kan?”

“Ssssshhhhh!”

“Apaan? Itu udah rahasia umum! Rompi anti peluru itu kalau dari katun pasti kaujahitin nama juga!”

Aku cuma terlongong melihat kedua lelaki itu terus berbantah-bantahan sembari berjalan menuju pintu keluar. Dilihat dari langkah-langkah cepat mereka, sepertinya mereka telat untuk sesuatu, tapi itu bukan urusanku.

Aku menghela nafas sebelum mengakhiri penyamaran-jadi-tembokku. Lalu, kuulang nama-nama yang tadi tersebut. Aimond7, bacangtanah, REGTNT. Tiga nama.

Tapi, REGTNT itu yang mana?

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku dan mendesah pelan, tak punya gambaran tentang makhluk bernama REGTNT ini. Aku menoleh ke rak persenjataan dan menyapukan pandangan ke deretan senapan, lalu ke helm-helm a la prajurit yang berjejer rapi.

Aku terkesiap.

Buru-buru aku bangkit dan kusambar sebuah helm dengan sebuah label putih tak begitu besar nangkring di puncaknya. Hatiku nyaris melompat dari tempatnya saat kuamati label itu.

Disitu tertulis, REGTNT.

Lalu sebuah foto cowok berkumis tipis dan mata bundar bak burung hantu.

Amboy, beruntung! Tak semua helm ada pengenalnya begini, disertai foto lagi. Rasanya aku mau berteriak kegirangan, tapi takut ditendang keluar, atau lebih parah lagi, dipaksa nelen granat dan dicampakkan ke dalam hutan; maka aku urung melakukannya.

Alih-alih aku bersiul pelan, kuletakkan lagi helm itu ke tempatnya. Lalu sembari duduk di lantai, kuingat-ingat nama sekaligus wajah pemilik nama-nama yang sudah kutahu sampai sejauh ini.

Meski otakku lemot, soal mengingat wajah dan nama aku ahlinya. Aku cuma perlu melihat sekali, dan aku bakal ingat wajah orang itu kalau aku mau.
Nang, Komandin Aleeta, Angky, aimond07, bacangtanah, REGTNT.

6 people.

5 names to go.



Ospek Day 3: Kamar Mandi, Ingus, Komandin Mariana
Aku bangun hari ini dengan sebuah hasrat tak terbendung berkumpul di area bawah tubuhku, sesuatu di perut mulai menggelinjang-gelinjang, dan pesan SOS menggedor-gedor otakku.

MAK, AKU KEBELET!

Aku melompat berdiri dan lari-lari mengelilingi ruangan itu dengan panik, mulutku mangap-mangap hendak teriak tapi gagal menyuarakan apapun saking daruratnya urusan badanku ini.

Celakanya, ruangan ini sepi betul, lebih sepi dari kemarin. Aku menggeliat-geliat dengan kaki menyilang, menahan-nahan. Menyesal aku tak bertanya perihal panggilan alam dan letak toilet ke Nang sebelum ospek ini dimulai.

Sekarang gimana? Gimana? Gimanaaa?

Lalu seolah sudah takdir, pintu terbuka dan Nang melangkah masuk, lewat di depanku dengan langkah-langkah tenang. Tak ingin ngompol, aku melompat ke depan Nang dengan mulut terbuka, siap teriak.

“Tak boleh berbicara pada siapapun.”

Syarat ospek itu berdering lagi di telingaku, dan kata-kataku bungkam sebelum sempat terucap. Mulutku terkatup lagi.

“Ngg, Arcelven?”

Aku menatap Nang yang balik menatapku dengan tatapan ini-baru-hari-ketiga-ospek-dan-kau-sudah-gila, yang kemudian kubalas dengan tatapan aku-bakal-gila-betulan-kalau-kau-tak-segera-beritahu-aku-letak-toilet.

“Ada apa?” tanya Nang, dan sumpah, sumpah berat sekali rasanya untuk tidak langsung meneriakkan “TOILET!” ke depan wajah lelaki ini.

Aku menelan ludah.

Kalau tidak bisa pakai bahasa manusia, aku harus pakai bahasa apa?

Bahasa tubuh, ya, bahasa tubuh.

“Arcelven?”

Aku mendongak dan kuisyaratkan pada Nang untuk tetap di sana, jangan kemana-mana. Kutunjuk diriku sendiri, dalam diam mencoba berkata, “perhatikan”.

Aku berbaring, kedua tanganku kurentangkan untuk membuat huruf T.
Lalu aku berbaring ke samping, tangan meraih ke belakang, menggapai kakiku yang juga kutekuk ke belakang. Huruf O. Lalu aku berbaring dengan kedua tanganku di samping badan lurus. Huruf I.

Dan begitulah, kucoba mengejakan T-O-I-L-E-T dengan badanku. Hei, stretching dengan mendemonstrasikan kata lewat tubuh itu tidak buruk juga.

Selesai mendemonstrasikan huruf T yang terakhir, aku terkapar di lantai dengan posisi tengkurap, ngos-ngosan, sambil mengangkat kepalaku untuk mendongak dan menunggu jawaban Nang. Aku sudah mengantisipasi hal terburuk–Nang gagal paham dan mengira aku lagi kumat ayan dan aku harus mendemonstrasikan dari awal lagi, atau mungkin dia cuma angkat bahu dan berlalu...

...tapi kehadiran seorang perempuan di samping Nang yang mungkin bakal berpikir bahwa aku ayan jelas tidak termasuk di antaranya. Aku menelan ludah melihat perempuan itu mengulum senyum,

“Jadi ini anak barunya?”

Nang menoleh ke perempuan di sampingnya dengan wajah terang-terangan menahan tawa. Aku ingin menjitaknya saat itu juga, tapi jika melihat senyum heran yang diulas perempuan itu, aku berubah pikiran. Mungkin mestinya aku jitak diri sendiri saja, pingsan, lalu bangun dan menganggap semua ini tak pernah terjadi.

“Oh, Komandan Mariana. Salam,” Nang menghormat sebelum melanjutkan dengan tawa yang diredam-redam, “dan ya, ini anak barunya. Arcelven, namanya.”

“Oh, Arcelven? Lucu. Apalagi gerakannya barusan, kayak ingus.”

Ingus?

Aku merubah posisiku dari berbaring jadi duduk dengan perasaan berkecamuk. Aku dibilang lucu, oke. Tapi–hei, disebut ingus itu pujian atau hinaan? Harus senang atau sedih?

“Dia mencoba bertanya dimana letak toilet,” Nang menjelaskan sambil terkekeh, “tapi kayaknya karena dia lagi kebelet, gerakannya lebih menggeliat dari seharusnya. Lebih ingus.”

Aku mendengus, meski dalam hati bersorak karena Nang paham maksudku. Kemaluanku sudah terkoyak-koyak. Bisa gantung diri aku kalau harus mengulang.

“Ikut aku,” ujar Nang kepadaku, yang kusambut dengan senang hati meski kemudian aku menunduk, tak berani melihat ke perempuan yang tadi dipanggil Nang sebagai Komandin Mariana.

4 names to go, dan anyway, aku dikatain ingus. Ya, otakku memutuskan bahwa ingus bukan sebuah pujian. Dan, ya, ingus itu bukan kesan pertama yang kauingin orang lain dapatkan tentangmu.

Syit.



Ospek Day 4: Gullivers, Blackbuble, Raihancorp
“Oh, ayolah!”

“Nah. Tidak ada kata mundur, Gullivers. Kamu harus jalanin tantanganmu; cium Raihancorp.”

“BLACKBUBLEEE!!”

“Nanana~ Peraturan tetap peraturan~”

“Pffft, aku ogah dicium dia.”

“Argh… Raihancorp, kau gak membantu!”

“Bukan aku yang sok-sokan pilih dare, ‘kan.”

“FYI AKU JUGA BUKANNYA PENGEN CIUM KAMU!”

“Bagus deh, aku nggak bertepuk sebelah tangan.”

"Oho, perkelahian rumah tangga..."

"SHUDDUP, BLACKBUBBLE!"

Aku diam-diam membuka sebelah mataku, mengamati segerombol lelaki yang sibuk sahut-sahutan sembari bermain Truth or Dare tak jauh dari tempatku berbaring. Mereka pasti mengira aku sudah tidur, karenanya mereka berani memainkan permainan yang rentan sebut nama itu.

Dan itulah yang kulakukan. Pura-pura tidur. Aku akan lekas menutup mata dan pura-pura ngorok begitu ada yang menoleh, barangkali merasa dipelototin.

Di Bumi aku tidak pernah jadi stalker.

…oke, barangkali pernah, sekali, waktu sahabatku mengajak cinta pertamaku berkencan di taman. Aku sembunyi di dahan teratas sebuah pohon, tepat di atas bangku tempat mereka duduk, dengan gulali di sebelah tangan dan sekotak tisu di tangan satunya lagi. Sambil melihat mereka kencan, aku menangis di atas hatiku yang patah, makan gulali saat kenyataan mulai terasa pahit, dan melempar tisu bekas pakai sekenanya setelah buang ingus dan melap airmata.

Salah satu gulungan tisu itu lalu mendarat di rambut kribo sahabatku. Besoknya di sekolah, dia menghampiriku dan bercerita kalau pohon di taman itu mistis dan berbuah tisu bekas pakai, tapi soal kencan dengan cinta pertamaku dia tidak bilang. Maka menanggapi ceritanya aku tertawa, tapi soal penstalkinganku kemarin aku tidak bilang.

Hatiku yang patah diam-diam balas dendam.

Kembali ke saat ini. Aku bukan stalker ulung, jelas; tapi seharian ini aku tak dapat satu namapun. Padahal aku bangun pagi tanpa keluhan pegal; aku sudah terbiasa, dan aku juga tidak dikejar hasrat ingin buang air.

Tampaknya mereka jadi lebih hati-hati. Mereka mencoba untuk tak menyebut nama, alih-alih saling memanggil dengan kau, elu, ente, antum, bejo, woi, cunguk, nyet, kampret, dan kata-kata inovasi lainnya yang tak terhitung. Aku bertekuk lutut, gagal sama sekali menemukan satu nama baru.

Maka, kau mengerti ‘kan? Cuma sekaranglah kesempatanku, pura-pura tidur, dan menguping permainan mereka. Mencatat nama-nama yang disebutkan dalam hati dan diam-diam mencari rupa pemilik nama itu. Aku baru bisa ngorok betulan setelah memastikan yang mana Gullivers yang mana Raihancorp–dengan mengintip tantangan ciuman mereka, dan yang mana Blackbuble, dengan melihat siapa yang tertawa paling keras, sampai guling-guling keliling ruangan dua putaran.

3 orang.

1 name to go.



Ospek Day 5: AncientSquare
Hari terakhir ospek. Tiga kata itu tadinya membuatku bangun dengan sebuah senyum mengembang di wajah. Lalu aku mengurut nama-nama yang sudah kuhafal, sembari mengingat wajah-wajahnya juga.

Nang, Komandin Aleeta, Angky, bacangtanah, aimond07, Komandin Mariana, REGTNT, Gullivers, Raihancorp, Blackbuble.

“…di ujung ospek nanti kau harus bisa mengidentifikasi 3 jendral di MU ini dan menyebutkan 8 nama anggota selain para jendral. Paham?”

Begitu suara Nang terngiang lagi di telingaku, aku terlonjak dari posisi tidurku dan tercengang.

3 jendral. 8 anggota selain jendral.

3 jendral, 8 anggota.

3 jendral…

CRAP. JENDRAL!

Aku cuma perlu satu nama lagi, dan satu nama itu harus nama jendral. Relax, relax. Coba pikir. Komandin Aleeta dan Komandin Mariana semuanya perempuan. Mustahil jendral perempuan semua. Seingatku, Nang bilang jendral ada yang lelaki juga.

Oke. Cool. Sekarang perhatikan yang lelaki saja.

Kuedarkan pandanganku ke sekeliling dan hatiku mencelos begitu sepi menyapaku.

Ruangan ini lebih sepi dari kemarin-kemarin. Kalau saja ada jangkrik di bawah tanah, pasti suaranya bakal terdengar jelas.

“Oh, Arcelven! Sudah dapat sebelas nama?”

Aku mendongak mendengar suara familiar menyapaku. Benar saja, itu Nang. Aku cuma diam saja karena aku memang dilarang bicara.

“Aku mau berangkat perang, ada order,” kata Nang ketika ia merasakan pandanganku mengarah ke rompi anti peluru dan senapan yang dikokangnya, “order besar. Semua jendral juga ikut, mereka sudah berangkat duluan tadi.”

Mendengar kata jendral, bahuku merosot.

“Kami baru bakal balik besok pagi, dan begitu kami datang besok kau dites.”
Besok pagi?

Aku menelan ludah.

“Ah, aku sudah telat,” Nang berlari-lari kecil di tempatnya sebelum menatapku dan tersenyum, “aku duluan Arcelven. Sampai jumpa besok! Dan tidurlah di ruang tidur nanti malam!”

Dan blam, pintu ditutup.

Aku lunglai, punggungku bersandar ke tembok dengan lemas. Kurang satu nama. Satu nama saja, dan aku akan lulus. Tapi kalau begini bagaimana bisa? Semua jendral berperang, besok mereka baru balik.

Aku tertawa getir. Sial. Sial. Sial. Bahkan kesialanku pun tak berubah meski di planet yang berbeda.

Cklek.

Suara pintu yang dibuka terdengar, dan aku hampir tidak peduli karena kupikir itu Nang yang kembali karena lupa membawa sesuatu. Tapi ketika sebuah suara yang lebih berat dari milik Nang bersenandung pelan, aku kembali duduk tegak.

“Cucakrowo, dowo buntute~”

Dalam hati aku terpingkal-pingkal, karena baru kali ini aku dengar suara ngebass bernyanyi Cucakrowo, dan itu komedi abis. Aku setengah mati menahan tawa agar kehadiranku tidak disadari.

Seorang lelaki lalu muncul beberapa detik kemudian, perawakannya jangkung, dengan rompi anti peluru membalut tubuhnya dan helm a la prajurit bertengger di kepala. Ia berjalan ke rak senapan yang ada di sebelahku, dan aku menelan ludah ketika tatapan kami bertemu.

Strategi jadi invisible gagal. Aku tahu.

Tapi anehnya, aku tidak merasakan apa-apa selain sebersit ngeri karena tatapan lelaki tadi begitu dingin, semakin dingin saat ia meraih dua senapan dari dalam rak. Ia menimang-nimang keduanya sebentar, lalu menoleh ke arahku lagi, dan aku membeku lagi.

Dingin.

Lelaki itu mendengus dan berbalik, perlahan melangkah pergi.

Ketika suara pintu ditutup terdengar, aku baru sanggup menghembuskan nafas yang tanpa sadar kutahan-tahan. Kubawa tanganku merengkuh pundakku, memeluk diriku sendiri.

Dingin.

Tapi terlepas dari tatapan dingin yang membekukan itu, otakku tak bisa lupa.

Ketika ia berbalik tadi, di bagian punggung rompi anti pelurunya, ada nametag. Di situ tertulis jelas, nama lelaki bersorot mata dingin itu, dan otakku tak bisa lupa.

Kom. AncientSquare.


BERSAMBUNG

p.s.: Selamat Tahun Baru!
p.s.s.: Ya, saya memutuskan untuk melanjutkan cerita bersambung yang sudah berbulan-bulan saya abaikan ini, dan... yah. Ini chapter yang panjang.
p.s.s.s.: Selamat membaca, jangan lupa komen apakah sebaiknya diteruskan betulan atau berhenti sampai sini saja xD Thankyou!



Best Regards,



Nurmillaty A.M
Chapter 1 : Intermezzo
Chapter 2 : Feherlute Noir Army
Chapter 3 : Pijakan Pertama di Markas