[Mendiknas] Kelas Mentor #2

Day 1,795, 09:53 Published in Indonesia Indonesia by Ardyaa

Balik lagi di kelas mentor, pertanyaan yang saya ajukan kali ini masih sebuah pertanyaan sederhana yakni "batasan apa sih yang bisa dijadikan penilain seorang siswa dikatakan baik atau buruk" jawaban yang saya terima dari peserta kelas mentor lumayan mengesankan dengan landasan pemikiran yang berbeda, tak ada yang bisa disalahkan, namun belum bisa saya bilang benar.

Kali ini sedikit mengulas justifikasi, dan prejudice masyarakat mengenai pendidikan, termasuk bagaimana munculnya kasta dalam pendidikan yang secara tak langsung menciptakan gap dan perselisishan antara satu kelompok dengan kelompok pembelajar yang lain.

Penilaian Pada Pencapaian

Pendidikan atau pengajaran seringkali dievaluasi dengan cara mencaritahu sejauh mana pemahaman mengenai apa yang diajarkan. Cara termudahnya dengan pemberian soal evaluasi dan kemudian melakukan scoring terhadap tingkat kebenaran dari jawaban siswa. Namun apa jadinya seorang suswa hanya mampu dilihat kemampuan menjawabnya secara teoritis bukan secara praktek, hal inlah yang sudah menjadi permasalhan utama dari pendidikan di real life ataupun menjadi permasalahan bagi seorang yang memepelajari game mechanic dari tutorial, bukan sistem kelas dan pengajaran.

Walhasil, kembali ke pengertian dasar dari sekolah yang dibahas di artikel sebelumnya, "mengsi waktu luang" dimana usia siswa dalam usia anak anak yang kegiatan utamanya adalah bermain dan mengenal lingkungannya. Menurut saya sekolah merupakan sebuah sistem yang disiapkan bagi sang anak untuk belajar bersosialisasi, membuat ikatan pertemanan, merasakan getirnya permusuhan dan perselisihan, merasakan kepuasan sebuah pencapaian, sopan santun dan tatacara berbicaradengan yanglebih tua, belajar menghargai dan mencintai orang lain yang terus mengawasi dan membimibing.

Namun penekanan pendidikan di tataran pencapaian dengan orientasi achievement menjadikan sekolah hanya berorientasi pada achievement menciptakan kasta dalam dunia pendidikan. Mungkin memang harus dibentuk tingkatan dalam pendidikan untuk memberikan kadar materi yang dapat diterima oleh siswa, atau mungkin dalam erepublik pembedaan bahasa berdasarkan usia. Namun apa yang terjadi adalah pembentukan kasta berdasar kemampuan dan daya nalar siswa itu sendiri. Ada siswa yang dicap dengan predikat pintar bahkan jenius, dan ada siswa yang mendapat predikat bodoh.

Persahabatn dan Rivalitas antar Pembelajar

Hal yang kini pun jarang saya jumpai adalah rivalitas fungsi ketiga dari sahabat. Justifikasi dari orang lain sering kali menjadikan diri kita lemah dihadapan ornag lain yang mendapatkan prestasi lebih tinggi dari kita. Pembenaran diri mengenai "inilah saya, berbeda dnegannya" enjadi alasan tak ingin berkembang dan menjadikan oranglain sebagai rival.

Kompetisi tak sehat dan dunia instant, ingin mencari lebih cepat dan mudah menghauskan sistem pembelajaran bersama, saling meningkatkan kemampuan dan persaingan sehat.

Mengutip sebuah komik dengan judul "Citrus", Jeruk dapat menghasilkan buah yang enak jika mendapatkan 3 panas matahari, yakni matahari bumi, matahari laut, dan matahari langit. Demikian pula halnya manusia, jika ingin menjadi manusia paripurna dan menguasai dunia harus mendapat manfaat dari teman, guru dan rival yang diperolehnya dari seorang sahabat.

Bukannya persaingan terbuka, namun kini lebih pada persaingan dibelakang layar, siswa sibuk ikut les kesana kemari untuk mendongkrak nilai pelajaran, bandingkan dengan 20 atau lebih tahun yang lalu, sebelum terkenal dengan istilah les, siswa lebih memilih belajar bersama yang menjadikannya lebih bernilai dalam sosialisasi dan prestasi.

Penulis jadi teringat dengan sebuah dorama jepang dengan judul gokusen (kalo mau nonton isa dilihat disini) dimana menjelaskan peranan seorang mentor atau guru dalam ikut membentuk pribadi siswa.

Melihat kenyataan pendidikan demikan khususnya sekolah, penulis beranggapan hampir tak ada bedanya antara sekolah dengan home schooling. Jikalau memang sekolah lebih menitik beratkan pada prestasi akademik, maka menurut penulis sekolah yng terbik hanyalah playgroup dan penitipan anak saja. Siswa lebih didik menjadi arogan dan merendahkan orang lain apa lagi yang tak sejalan ataupun tak sekelompok dengannya.

Prejudice dan Kasta Pendidikan di erepublik.

Dengan mudahnya masyaraka membedakan kualitas sekolah dan memandang rendah sekolah yang diangap lebih rendah pencapaiannya ketimbang sekolah dengan prestasi banyak, bisa jadi ini adalah blunder terbesar yang dilakukan oleh sistem prejudice atau penilaian dari masyarakat itu sendiri. Mereka yang termarginalkan bisa dengan bebas melakukan counter terhadap tekanan yang diberikan dengan dalih "biarlah, toh kami sudah dicap rendah". Ketika pun harus dilakukan perbaikan sangat sulit karena sudah muncul asmsi "tak mungkin, itu sudah menjadi tabiat".

Kebanyakan bercerita mengenai real life bisa jadi nanti ini artikel di RA karena nggak sinkron sama erepublik, biarin gw nggak peduli, yang penting gw bisa share semua apa yang gw pikirkeun mengenai pendidikan.

Nah hubungannya dengan erepublik, kali ini kita juga bercerita sehubungan dengan prejudice orang dengan seorang pembelajar di erepublik. Seperti yang tadi sedikit disinggung mengenai pembelajar dengan aktivitas sosial akan berbeda sikapnya dengan pembelajar dengan aktivitas personal (otodidak seputar game mechanic). Bagaiamana pemain yang lebih menghargai kelompok besar yang kita sebut sebagai enegara atau ebangsa dibandingkan dengan kelompok kecil yang entah itu Military Unit ataupun party, atau mungkin kelompok kecil lainnya. Mungkin ini bisa sedikit menjelaskan apa yang saya maksud dengan kalimat "semangat nasionalism yang terjual pada ikatan kelompok" diartikel jaman dulu.

Ataupun juga perbedaan gaya bahasa antara orang yang sudah mulai mengenyam pahitnya dunia nyata dibanding dengan pelajar yang masih meraba meraba dijalan yang gelap. Atau secara lugasnya "orang dewasa melawan pelajar sok tahu" Jelas sudah akan nampak sangat perbedaan kualitas dan gaya permainan. Namun justifikasi dan tekanan dari pemain yang lain juga bisa membentuk kelompok kelompok marginal baru, mungkin seperti munculnya PKeI ditengah dominasi IDS dan NCS di jaman beta, ataupun kejadian privatisasi aberi dari pemerintahan RI.

Berbagai perbedaan persepsi, justifikasi, serta prejudice akan selalu ada dimanapun, termasuk di masa pendidikan pemain baru di erepublik. Tugas kita selaku mentor untuk mencoba mengarahkan dengan netraltas tanpa adanya prejudice, namun menyerahkan sepenuhnya kepada pemain baru tersebut akan roleplay yang akan dia jalani.

Mentor tidak menciptakan seorang Cool Calm and Confident, mentor tidak menciptakan seorang frontal yang tak brutal, Mentor tak menciptakan seorang yang sama rata sama rasa, dan lain sebagainya (maaf buat yang ga kesebut bukan berarti dimarginalkan)
Namun mentor memfasilitasi pemain baru untuk memilih dan mempelajari apa yang akan mereka jalani nantinya.


PS: Intinya TS memohon mengenai aktivitas penculikan nubie ke room tertentu untuk dikurangi, terserah kalau memang menganggap kami tidak efektif atau memang menganggap kami ini mengganggu penambahan anggota kelompok ente semua, tapi kami tetap berusaha yang terbaik di #mentornubi.