Warbar Berujung Nasi Aking

Day 1,929, 02:07 Published in Indonesia Hungary by chestabudi

[img][/img]

Matahari pagi kian tinggi. Sinarnya menerobos celah-celah jendela kamar membentuk titik-titik terang. Di tempat tidur masih tergolek sosok lelaki bebadan tinggi. Tidurnya mendengkur dengan raut wajah kelelelahan.

Sejenak kemudian terdengar langkah halus memasuki kamar yang temaram itu. Lantas terdengar suara perempuan berkata pelan. “Mas bangun, sudah siang..nanti terlambat kerja,” kata perempuan itu sambil menepuk-nepuk badan lelaki tersebut.

Yang dibangunkan cuma menggeliat sebentar. Berbalik, mengusap air liurnya lantas meneruskan tidurnya. Melihat ini, perempuan itu kemudian menuju jendela kamar dan membukanya. Kamar yang tadinya temaram langsung terang benderang oleh sinar matahari.

Merasa silau, laki-laki yang tertidur itu terbangun. Mengucek-ucek mata sebentar dan melihat jam dinding. “Kampret sudah pukul 07.00. Kenapa tidak dibangunkan dari tadi,” kata lelaki itu seraya bangkit dan bergegas ke kamar mandi.

Sebagai Pegawai Negeri Sipil, bangun pukul 07.00 sudah pasti terlambat. Namun menempati job pegawai lapangan di Dinas Pertanian dia punya seribu alasan bila terlambat. Salah satunya adalah bahwa ia habis dari lapangan sebelum masuk ke kantor, berdiskusi dengan petani maupun melihat kondisi serangan hama. Namun khusus hari ini berbeda.

Dia harus datang tepat pukul 08.00. Sebab ada panen perdana dari laboratorium Sekolah Lapang Petani di desa tetangga. Tidak tanggung-tanggung, kegiatan itu bakal ditinjau gubernur. Jika sampai datang terlambat, pasti dimaki-maki habis-habisan sama atasannya.

Merasa waktunya mepet, ia pun hanya sikat gigi, cuci muka dan rambutnya sedikit dibasahi biar kelihatan habis mandi. Untungnga sang istri, Suswati penuh pengertian. Tiap pagi pakaian sudah disiapkan, mulai dari baju dinas hingga kaus kaki.

Selepas dari kamar mandi ia pun bergegas memakai pakaian dan tak lupa menyemprotkan minyak wangi sebanyak-banyaknya untuk mengurangi bau badan, karena pastinya nanti panas-panasan dan berkeringat dan dia tidak mandi.

Di meja makan terlihat segelas kopi, nasi dan lauk pauk lengkap. Namun ia hanya mengambil kopi tersebut dan menyeruputnya pelan. Hanya satu tegukan, kemudian mengambil tas dan bergegas keluar rumah.

“Mas Siwo tidak sarapan dulu,'’ kata Suswati mengingatkan suaminya.

“Tidak usah dik..nanti malah terlambat,” jawab Siwo kepada istrinya sambil tersenyum.

Sampai di halaman rumah dia melihat ibunya tengah membersihkan halaman. Karena gugup tidak seperti biasanya, dia tidak menyapa dan pamitan ke ibunya..namun langsung masuk ke dalam mobil, starter dan dijalankan pelan-pelan mobilnya menuju jalan desa.

Sebagai PNS yang sudah bekerja sepuluh tahun kehidupan dia sudah cukup mapan. Dua hari lalu ia habis membeli mobil baru, lebih tepatnya mobil bekas tapi masih kinclong. Di desa kecil seperti Dukuh Petai ini, memiliki mobil bisa meningkatkan status sosial. Dan merupakan kebanggan bagi Siwo. Kekurangannya cuma satu, saat nongkrong di warung Mudrikah bareng kawan-kawan dekatnya, seperti Sarkim, Pardisun maupun Warko ia biasa diminta mentraktir karena dianggap paling kaya.

Jam ditangannya menunjukan pukul 07.15. Bagi Siwo masih punya cukup waktu untuk menuju tempat peresmian. Sebab jarak tempuhnya hanya sekitar 30 menit dari Dukuh Petai. Ia pun menjalankan mobilnya dengan santai. Untuk mengurangi rasa kantuk dibuka separuh jendela mobilnya agar angin pagi bisa menerpa wajahnya.

Tadi malam dia memang habis begadang. Begadang yang pertama karena main game perang berbasis website. Sebuah game yang berisi peperangan antar negara. Bukan hanya perang, di game itu juga bisa berpolitik, mengembangkan ekonomi dan juga punya kawan banyak. Dia belum lama main game itu namun rasanya sudah kecantol. Sebab di game itu, Indonesia bisa menjajah Australia dan bisa menghabisi musuh bebuyutan serumpun, Malaysia. "Kapan lagi bisa menginjak-injak Malaysia maupun menguasai Australia kalau bukan di game," gumam dia sambil tersenyum

Dan yang spesial, semalam menggelar perang bareng atau war bareng dan oleh komunitas game itu biasa di singkat Warbar. Saat wabar itu dia benar-benar menikmatinya. Sebab ada ratusan orang yang bermain diwaktu yang sama dalam satu komando. Benar-benar powerfull. Pada warbar itu juga diajari cara bertempur yang cerdas sehingga tidak menghambur-hamburkan amunisi dan perbekalan.

Karena warbar mulai pukul 21.30 maka selesai main game biasanya pukul 23.30. Sampai malam dan melelahkan namun Siwo belum merasa puas. Ia pun masuk room chating untuk tanya sana-sini tentang seluk beluk game itu. Alhasil ia begadang hingga pukul 01.00 dini hari. Selepas chatingan ia mencoba menyalakan TV dan ada pertandingan sepak bola tim kesukaanya. Merasa tanggung, lansung tancap menonton TV hingga pukul 02.30 dini hari. Hasilnya hari ini bangun siang.

Siwo menjalankan mobilnya dengan tenang. Meski jalan pedukuhan itu sudah beraspal namun masih sempit. Jika ngebut akan membahayakan orang lain. Sepanjang jalan di dukuh petai itu ia berpapasan dengan banyak orang. Ada yang mau berangkat ke sawah, pulang dari pasar maupun sekedar nongkrong di kedai. Tiap berpapasan, orang-orang itu selalu tersenyum ke Siwo. Dan dia pun membalasnya dengan senyum ramah. Tidak heran, warga dipedukuhan memang selalu ramah, meski hari ini dirasa agak lain. Siwo merasa bahwa penduduk yang ia temui kelewat ramah. "Barangkali matahari yang bersinar cerah membuat orang mudah tersenyum," gumam Siwo dalam hati.

Dia pun melajukan mobilnya dengan tenang, saat ini sudah masuk jalan antar desa. Jalannya beraspal dan agak luas. Ia pun mengendarai mobilnya lebih cepat. Namun kondisinya masih sama. Tiap kali berpapasan dengan orang, mereka selalu tersenyum. Bahkan begitu pula saat melintas pasar desa, para pengunjung pasar juga banyak yang tersenyum.

"Haduh jangan-jangan ada yang aneh dengan saya yach. Atau jangan-jangan, mereka tahu kalau saya belum mandi. Hehehehe..," gumam Siwo dalam hati.

Beberapa saat kemudian ia sudah mendekati lapangan desa Binarum yang merupakan tempat perayaan panen perdana. Di sekitar lapangan sudah ramai orang berdatangan. Mereka adalah para PNS Dinas Pertanian, Muspida, pegawai kecamatan, para kelompok tani dan para perwakilan dari industri pupuk dan pestisida. Siwo kemudian mengambil parkir tak jauh dari panggung dan tenda pertemuan. Selepas memarkir mobilnya ia kemudian turun dan berjalan menuju tenda utama guna bergabung dengan kawan-kawannya yang sudah hadir lebih dulu.

Namun baru beberapa langkah dari mobil, orang-orang di lapangan itu banyak yang tersenyum ke dia, bahkan tidak sedikit pula yang tertawa cekikikan. Melihat hal ini ia merasa ada yang tidak beres. Ia lantas melihat pakaian yang ia kenakan. "Pakaian rapi disetrika, sepatu di semir, sabuk sudah konclong di braso. Ndak ada yang salah dengan pakaian saya..perlente," gumam Siwo.

Tak jauh dari posisinya berdiri, ia melihat Sarkum, teman dia sesama PPL, dan terlihat Sarkum tertawa memandang ke dia. Siwo pun makin kikuk. Karena merasa tidak ada yang aneh pada dirinya ia pun lantas bertanya ke Sarkum. "Ada apa sich..kok banyak orang yang tertawa lihat saya," tanya Siwo.

"Tuh liat atap mobil kamu. Unyu-unyu," kata Sarkum sambil tersenyum.

Siwo pun lantas berbalik dan. "Masya Allah," teriak Siwo terkejut.

Terlihat di atap mobilnya tiga buah tampah atau nampan besar berbentuk bundar pipih nongkrong dengan indahnya.Di atas nampan itu terlihat nasi basi yang sedang dijemur untuk dibuat nasi aking. Agar tidak jatuh tertiup angin, tampah itu ditindih dengan batu bata.

"Haduh ini pasti kerjaanya ibu saya," jelas Siwo sambil melangkah ke mobilnya. Satu persatu ia mengambil tampah dari atap mobilnya dan diletakan di tanah. Ulah siwo ini lantas mengundang tawa kawan-kawannya. "Jadi ini yang membuat orang begitu ramah pada saya hari ini. Haduh ibu..atap mobil dikira tempat jemuran,"gumam Siwo sambil tersenyum kecut.

Ia tidak bisa menyalahkan ibunya yang sudah tua. Dia merasa salah sendiri karena begadang terlalu malam. Sehingga berangkat terburu-buru dan tidak melihat kalau di atap mobilnya ada tiga tampah nasi aking yang tengah dijemur ibunya.