Bapak mau mantu... [Behind the scene Yulianing - BBL]

Day 1,606, 04:56 Published in Indonesia Indonesia by Ardyaa

“Jangan lupa ya le, nanti kamu telepon pak lurah. Tanyakan itu kawannya jadi atau nggak mau ambil gamelann-nya Bapak.”

Nggih Pak.”

Bapak memang mencintai seni, khususnya seni musik, yang dengan perasaan cinta itulah menjadikan bapak mampu memiliki satu set gamelan meskipun hanya seorang pensiunan ABeRI dan kini pegawai di sebuah pabrik pembuatan roti, dengan jabatan yang juga tidaklah tinggi, hanya seorang mandor kelompok buruh. Tak jarang pula gamelan itu disewa oleh pimpinan pabrik atau kawan kawannya jikalau sedang mbarang gawe. Gamelan kepunyaan Bapak sebetulnya bukanlah kelas nomor satu, bukan yang terbuat dari bahan perunggu hanya terbuat dari kuningan, namun sangat terawat dan mampu mengeluarkan bunyi yang tak kalah jika dibandingkan dengan gamelan kelas atas seperti milik kadipaten di kantor pemerintah daerah. Bapak mahir memainkan seluruh alat musik gamelan tersebut bukan karena tanpa alasan. Kakekku dulu adalah seorang penari yang tak jarang dipanggil pihak keraton untuk menari ataupun mengajar tari disana.

“Jadi dijual gamelan-nya pak?”

“Yo jadi nduk, buat keperluan nikah mbakyu mu. Hasil penjualan Tanah kebun bapak rasa masih kurang.”

“Apa nggak terlalu berlebihan pak?”

“Lho, apa kata besan nanti kalau bapak hanya menyelenggarakan resepsi yang biasa saja.”

Aku tidak berani menjawab lagi setelah bapak menjawab demikian, yang sebenarnya memang hampir tidak bisa diterima oleh pemikiranku sendiri. Kebun yang memang tidaklah luas, namun merupakan hasil dari tabungan bapak semasa masih aktif sebagai anggota kesatuan bersenjata telah dijual, dan sekarang bapak ingin menjual satu set gamelan kebanggaannya. Meskipun sebenarnya aku tahu, gamelan itu sangat bermakna bagi Bapak. Gamelan itu yang menemani Bapak selama masa pasca purna tugasnya dari AbeRI, gamelan itu pula yang sudah mengembalikan semangat dan senyuman bapak tatkala bapak mengajar anak anak tetangga bermain musik gamelan meskipun tidak dibayar. Dan sekarang gamelan itu akan dijual.

Bagian lain dari pemikiranku juga mengatakan masuk akal juga sebetulnya kalau bapak sampai menjual gamelan kesayangannya. Bapak memiliki keinginan untuk mengadakan pesta resepsi yang besar mengingat yang akan menikah adalah mbakyu-ku, anak perempuan pertama, sedangkan aku Yulianing, anak perempuan kedua. Selain alasan itu, sungguh beruntung mbakyu-ku mendapatkan seorang laki-laki yang memiliki garis keturunan bangsawan keraton, di depan namanya saja sudah bergelar Raden Mas, meskipun saat ini keluarganya sudah tidak tinggal di lingkungan keraton, melainkan di ibukota, namun keberadaannya di keraton masih diakui. Ibu pun sempat mengingatkannku untuk tidak merasa iri dengan resepsi pernikahan mbakyu-ku. Menurut ibu dua alasan tadi sudah sangat cukup untuk membenarkan keputusan bapak untuk berkeras menyelenggarakan pesta resepsi yang mewah.

Dibesarkan dalam keluarga yang cenderung bersifat militer menjadikan aku paham, menyanggah bapak sama saja dengan menciptakan sebuah masalah. Semua putra-putri bapak paham betul karakter bapak yang keras dan galak dan kami mengakui bapak orang yang sangat bertanggung jawab dan cukup bijak. Namun jikalau bapak sudah memiliki sebuah kehendak sehubungan dengan putra putrinya maka harus terlaksana. Tak berani diri ini menyanggah ataupun menolak apa kehendak dari bapak.

“Ning..., ngopo nduk, ngalamun?” sahut ibu.

“Eh, mboten Bu, niku... mbakyu kan resepsinya mau besar besaran, mangke kulo pripun nggih bu? (Eh, tidak bu, itu... mbakyu kan resepsinya besar besaran, nanti saya bagaimana ya bu?)”

Secara spontan sambil menutupi lamunan, pertanyaan itu terucap ke ibu dengan suara yang tidak keras, namun ternyata terdengar oleh bapak yang sedang membaca koran di ruangan sebelah.

“Yo kalau kamu mau seperti mbakmu ya kamu menikahlah sama orang gede, saiki bapak takon karo kowe nduk (sekarang bapak tanya sama kamu) , berapa lamaran yang sudah kamu tolak? Ada yang dokter kamu nggak mau, anggota kesatuan dengan masa depan menjanjikan kamu juga nggak mau, dosen kamu melamar pun kamu nggak mau. Apa kamu maunya sama siapa itu... temen mu itu yang nggak keruan penampilannya, rambut gondrong, pekerjaan tetap belum punya, si.. BigBlackLong. Apa iya, mau sama dia?”

“Sudah lah pak, mbok jangan begitu, kasihan Yulianing, uwis nduk, kalau sudah selesai habis ini bantu ibu asah-asah ya.” Jawab ibu meredakan pembicaraan bapak yang sudah mulai merasa jengkel dengan pertanyaan pertanyaanku.

“Nggih bu.”

=========================================================================
😉 Gamelan : alat musik tradisional jawa
Nggih : Iya, Inggih, Enggih – Jawa
Le : panggilan kepada anak laki laki, tole – Jawa
Mbarang gawe : hajatan – jawa
Nduk : panggilan anak perempuan, genduk – Jawa
Mbakyu : kakak perempuan, mbak ayu, mbekayu - Jawa
Asah-asah : mencuci piring gerabah, isah -isah - Jawa