[CERPEN ISC] SURAT UNTUK AYAH

Day 1,807, 18:02 Published in Indonesia Indonesia by Dark Purple

Aku tinggal di desa. Di dekat rumahku ada sungai besar yang menurutku arusnya sangat kuat. Dahulu, Ayah melarangku untuk mendekati sungai. Padahal aku sudah membayangkan sejuknya air sungai jika aku menyentuhnya. Yah, itu hanya anganku saja untuk dapat merasakan dinginnya air sungai.
“Nak, arus sungai itu sangat deras, bisa-bisa kau terbawa arus sampai ke laut”, itulah yang dikatakan ayah kepadaku.

Masih terekam dalam ingatanku, pada waktu aku berumur 6 tahun di desaku sedang musim manga. Banyak sekali pohon manga yang berbuah, termasuk pohon mangga di depan rumahku.

Kalau sudah berurusan dengan mangga, aku seakan lupa jika punya adik. Yah walaupun pada saat itu adikku masih sangat kecil, masih berumur 3 tahun. Aku bisa memakan 10 mangga sendirian tanpa kubagi dengan saudaraku.

Jika begitu, ibu lah yang mulai menyembunyikan mangga-mangga yang sudah dipetik sehingga aku tidak makan mangga terus menerus. Sampai sekarang aku masih tidak mengerti, mengapa ibu melarangku menghabiskan mangga-mangga itu.

Pohon mangga di depan rumahku berbuah banyak sekali. Karena takut dimarahi ibu, aku meminta ayah untuk memetik mangga yang sudah matang untukku. Ayah setuju asal aku berjanji untuk tidak terlalu banyak makan buah mangga nanti.

“Tangkap Nak!” Aku terkejut. Dan.. Buk!!!
“aduuuuh”. Buah mangga yang di lempar ayah jatuh dan tepat mengenai kepalaku.

“Sakit, Nak?” ayah bertanya sembari tertawa. “Sedikit, Yah” jawabku malu.

Lalu setelah terkumpul 5 buah mangga, ayah berkata. “Makan Mangga di tepi sungai yuk”
“Sekarang masih pagi, cepat kau ambil pisau di dapur untuk mengupas mangga nanti. Ayah tunggu.”

“Iya Yah” jawabku cepat. Aku pun segera berlari ke dapur mengambil pisau dan menyusul ayah yang sudah berjalan ke arah sungai.

“Duduk sini Nak” kata ayah.
Aku pun duduk di sebelah ayah, sudah tidak sabar ingin segera memakan mangga-mangga yang ku bawa tadi. Tetapi setelah aku duduk, aku melihat pemandangan aneh di seberang sungai.
Aku melihat anak sebayaku ditemani ayahnya sedang melemparkan botol plastik ke tengah sungai. aku melihat di dalam botol terdapat sesuatu seperti kertas.
Tak terlalu jelas aku melihatnya. Aku pun bertanya pada ayah,
“Yah, yang ada di dalam botol itu kertas ya ?”

Ayahku yang sedang memotong mangga, melihat ke arah yang aku tunjuk.
“Iya Nak”.
“Jika nanti ayah atau ibu pergi ke dalam tanah, rina bisa menulis surat untuk ayah atau ibu, kemudian surat itu dimasukkan ke dalam botol dan lemparkan ke sungai ini”, lanjut ayah.

Sambil memakan mangga, aku bertanya kepada ayah,
“Mengapa ayah atau ibu pergi ke dalam tanah?”,
“Jika pergi kedalam tanah, mengapa aku membuang surat itu ke sungai? Tidak ke dalam tanah juga?” lanjutku sambil memakan mangga.

“Di dalam tanah ada jalan menuju laut, jika ayah atau ibu pergi ke dalam tanah, maka akan sampai juga kelaut. Rina ingat kan, sungai ini berujung di laut. Jadi jika Rina melemparkan surat ke sungai akan terbawa sampai laut, jadi ayah atau ibu bisa membacanya” jawab ayah.

Aku hanya menganggukkan kepala.

“Nanti kalau ayah pergi ke dalam tanah, rina harus menjaga adik ya. Jangan putus ibadahnya. Jadi di dalam surat yang di tulis rina nanti, tidak ada laporan rina dan adik bertengkar ataupun bolos mengaji.”, lanjut ayah.
“Rina jangan lupa rajin belajar menulis, supaya nanti saat ayah membaca tulisan rina, ayah tidak kesulitan”, tambah ayah.

“Iya, Yah. Sekarang kan rina tidak pernah putus mengaji dan juga rina sudah bisa menulis huruf bersambung.” Jawabku sedikit berbohong, mengingat tulisanku saat itu masih berantakan dan sulit dibaca.

Aku pun kembali memakan potongan-potongan mangga yang diberikan ayah sampai habis. Lalu aku dan ayah pulang setelah menghabiskan mangga-mangga yang kami bawa.



Aku masih ingat betul. Beberapa hari kemudian saudara ayah datang ke rumah. Aku tidak pernah melihat mereka sebelumnya, tapi kata ibu, mereka adalah adik ayah yang tinggal dikota, kemari untuk menginap selama beberapa hari.

Esok paginya, aku terbangun oleh suara ribut di luar. Ayah dan adiknya sedang bertengkar di ruang depan. Aku sangat takut, tidak berani keluar kamar.

Lalu tiba-tiba terdengar ibu berteriak memanggil ayah, dan suara benda jatuh. Aku semakin takut, aku tidak berani melihat apa yang terjadi di luar sana.

Terdengar ibu meminta tolong sambil menangis, kemudian mendadak rumah menjadi ramai sekali. Aku memberanikan diri keluar kamar. Aku melihat ayah digotong tetangga entah menuju kemana.

Ayah seperti lemas sekali dan ibu terus menangis sambil berteriak marah kepada adik ayah kemudian naik kedalam mobil yang akan membawa ayah. Aku takut dan memeluk adikku di ruang depan. Adik terus saja bertanya dan selalu kujawab “Kakak tidak tahu”.

Tidak lama kemudian mobil yang membawa ayah dan ibu kembali ke rumah. Ibu turun sambil menangis dan langsung memeluk kami. Aku melihat ayah diturunkan dari mobil, sepertinya sedang tertidur. Kemudian ayah dibaringkan di ruang depan. Semua orang menangis, aku tidak mengerti.

Kemudian aku dan adik diajak mbok siti masuk kedalam kamar. Mbok Siti adalah tetanggaku yang sangat baik kepadaku. Kami berdua dipeluk, aku merasa sangat nyaman, sampai-sampai aku tertidur.

Entah berapa lama aku tertidur, aku terbangun mendengar suara orang mengaji. Aku mengintip dari kamar, banyak sekali orang di depan, tetapi aku tidak melihat ayah juga ibu. Hanya ada mbok Siti dan adik di kamar. Karena aku hafal dengan sebagian ayat suci yang dibacakan, maka aku pun ikut mengaji. Sementara adik masih tertidur pulas.

Orang-orang sudah pulang. Aku juga tak melihat saudara ayah. “Kemana perginya mereka?”, pikirku dalam hati.

Ibu menghampiri kami di kamar. Mata ibu sembab.
Aku bertanya kepada ibu, “Ayah kemana Bu?”
Ibu menjawab, “Ayah pergi ke dalam tanah”.
Saat aku bertanya kapan ayah pulang, ibu menitikkan airmata.

Aku teringat perkataan ayah beberapa hari sebelumnya, bahwa aku dapat mengirimkan surat kepada ayah. Maka aku pun bertekad mengirimkan surat untuk ayah esok pagi.

Aku segera mengambil pensil dan kertas. Tulisan ku pun terlihat berantakan, karena saat itu aku masih belajar menulis. Aku malu telah berbohong pada ayah, saat aku berkata sudah bisa menulis huruf bersambung, padahal tulisanku sangat berantakan.

Di dalam surat itu aku menanyakan, apakah ayah sudah sampai ke laut dan menanyakan kapan ayah pulang. Aku juga menceritakan ibu yang menangis seharian dan aku yang ikut mengaji saat banyak orang datang ke rumah.

Setelah selesai menulis, aku gulung kertas itu dan aku ikat dengan raffia. Aku berlari ke dapur mencari botol plastik, setelah menemukan apa yang aku cari aku bergegas kembali ke kamar, takut jika ibu memergoki dan memarahiku karena tidak segera tidur. Setelah memasukkan surat kedalam botol, aku menyimpan botol itu dan kemudian terlelap.

Keesokan paginya aku membawa botol berisi surat untuk ayah ke sungai. Pergi mengendap-endap saat ibu masih di kamar mandi. Tujuanku adalah tempat dimana ayah dan aku pernah mengobrol sembari memakan mangga di tepi sungai.

Sesampainya disana aku langsung melemparkan botol ke tengah sungai. Senang sekali aku melihat arus yang begitu deras. “Botolnya akan cepat sampai ke laut, jadi ayah cepat membaca suratku”, begitu pikirku saat itu.

Hari berganti hari, tapi ayah tak kunjung membalas suratku. Saat itu aku berfikir, apa ayah tidak bisa membaca tulisanku yang berantakan sehingga tidak tahu harus bagaimana membalas suratku. Sejak saat itu aku berlatih menulis setiap hari. Dan terus mengirimkan surat untuk ayah.

Tetapi balasan dari ayah tak kunjung datang. Lalu aku berfikir, apakah ayah tahu jika aku pernah bolos mengaji, dan membuat adik menangis. Sehingga ayah marah dan tidak mau membalas surat-suratku.

Aku menangis, maafkan Rina, Ayah. Rina berjanji tidak akan membuat adik menangis lagi juga tidak akan pernah bolos mengaji. Aku terus mengirimkan surat untuk ayah.

Entah sudah berapa surat aku tak menghitungnya. Aku menceritakan kegiatanku sehari-hari dan selalu di akhir surat aku menanyakan kapan ayah pulang.


Sekarang aku berdiri disini, persis dimana ayah mengajakku duduk mengobrol sembari makan mangga 15 tahun tahun yang lalu.

Sekarang aku mengerti bahwa ayah tidak akan pernah membalas suratku dan juga tidak akan pulang ke rumah.
Ya, sekarang aku memahami pesan dan amanah yang disampaikan ayah kepadaku beberapa hari sebelum beliau wafat. Akan kujaga amanah darimu ayah, akan kujaga adik, juga ibu.


Dari kejauhan, aku melihat seorang anak melemparkan botol berisi kertas ke sungai.
Aku tersenyum.