[CERPEN ISC] Ra, Aku Cuma Mau Bilang ...

Day 1,824, 06:23 Published in Indonesia Indonesia by Nurmillaty A.M

"PAKPAKPAKPAKPAK!"

Kepakan segerombol camar yang terbang merendah di atas kepala Arga terdengar begitu keras, membuatnya spontan mundur selangkah. Ia menghela nafas panjang. Sapuan jingga sudah menghiasi langit Barat, pertanda mentari mulai terbenam.

Dimana dia? Batinnya gamang.

Sebentar kemudian ia menoleh kala mendengar bunyi langkah-langkah cepat dari kejauhan. Dilihatnya seorang gadis berlari dengan tergesa dan memasuki komplek taman. Arga tersenyum kecil saat gadis itu dengan agak heboh menghindari kubangan lumpur yang cukup menghalangi jalan setapak menuju tempatnya berdiri.

"Rara," ujar Arga lega, "kukira kau tak akan datang."

Setelah sampai di hadapan Arga, gadis yang dipanggil Rara itu memaksakan diri untuk tersenyum di sela tarikan nafasnya. "Aku pasti datang, Ga. Aku 'kan sudah berjanji. Maaf kalau terlambat, kau tahulah... urusan izin Bundaku ini repot setengah mati."

"Tak apa-apa." jawab Arga singkat sembari tersenyum. Dipandanginya gadis yang kemudian duduk di sebuah ayunan, tepat di depannya ini. Kelegaan yang tadi menyelusupi hati Arga kembali digantikan kebimbangan. Baiklah, sekarang aku harus apa?

"Jadi," ujar Rara memecah lamunan Arga, "apa yang katamu ingin kau bicarakan?"

Arga berdeham sejenak. Sedetik, dua detik... aneh, tak satupun kata terlontar darinya setelah itu. Arga justru memandangi semburat mega merah yang muncul malu-malu, menggantikan Sang Surya yang sudah lelah bekerja.

Sepi mulai menyelimuti penjuru kota kecil itu, menelisik hingga ke taman tempat Arga dan Rara saling mematung di tempatnya. Kontras, barangkali, jika dibandingkan dengan degup jantung Arga yang berderak-derak keras tanpa ampun.

Ayolah, Ga, kau harus bicara, seru sebuah suara di otaknya, atau Rara akan mendengar degup jantungmu. Kau mau itu terjadi? Arga menggeleng kuat-kuat. Demi Tuhan --dia tahu! Arga tahu dia harus segera bicara jika tak ingin jerit hatinya mengambil alih suasana, cepat atau lambat. Kenapa suara di kepalanya secerewet ini, sih?

"Ga... sudah mau Maghrib. Cepat sedikit, dong. Ada apa memanggilku?" tegur Rara setelah beberapa kali melirik jam tangannya. Arga terkesiap, "E-eh, iya, Ra? Oh, itu iya, anuu..." ia mengacak rambutnya, tergeragap. Rara mengerutkan kening bingung.

"Apanya yang anu, Ga?"

"Itu, anu, anu itu anu banget di gini, jadi anu mau gini ke anu, kalau anu gitu-gitu..."

"Hah? Jangan pakai Bahasa Alien bisa, Ga? Aku belum ambil mata pelajaran itu."

Arga menghela nafas dalam-dalam. Sejujurnya ia juga tak paham apa yang baru saja ia ucapkan. Sepertinya dia harus mengurangi frekuensi berkunjung ke situs alay generator.

Rara mengayun tubuhnya sekali dua kali, lalu melirik jam tangannya lagi. Lalu ia ganti memandangi Arga yang masih terdiam.

"Ga, cepat, dong! Kalau kamu mau bercanda, sekarang bukan waktu yang tepat, tahu? Aku bisa dimarahi Bunda kalau pulang mepet-mepet Maghrib!" ujar Rara gusar. Ia bangkit dari ayunan, melipat tangannya di depan dada dan memicingkan mata. O-o, Arga, dia serius.

Dari tadi aku juga tahu dia serius, batin Arga gelisah, tapi grogiku ini tak pernah mau berkompromi! Aaaah!

Senja mulai mengajak jingga-nya berpamitan. Rara mendengus keras.

"Sudah, ya, Ga. Cukup! Kalau urusan yang kamu maksud adalah membuang-buang waktuku, selamat, kamu berhasil!" ujar Rara setengah membentak. "AKU PULANG!"

Menyadari bahwa Rara benar-benar berbalik dan berlari pergi, Arga panik. Suara-suara di kepalanya sudah hendak berdebat lagi --tapi ia tak peduli. Ia segera berlari menyusul Rara yang telah mencapai luar taman. Kepanikannya pasti telah menon-aktifkan grogi yang menggerogotinya, karena sambil berlari akhirnya mulutnya berbicara,

"TUNGGU, RA! TUNGGU! AKU CUMA MAU BILANG KALAU AKU..."

Hening.

Hening karena Rara menghentikan langkahnya dan menunggu. Hening karena Arga tak tahu bahwa Rara menunggu. Yang ia tahu, mendadak waktu seakan melambat. Derap kaki Arga menginjak kubangan lumpur yang menggenangi hampir separuh jalan setapak keluar taman.

Tuhan, Arga pasti terlalu kacau sampai-sampai ia lupa akan keberadaan lumpur sisa hujan tadi siang.

Tubuhnya terasa seperti terlontar ke atas dengan dua kata lanjutan yang masih menggantung di tenggorokannya. Mendadak adonan tanah dan air di hadapan Arga tampak lebih mengerikan daripada sebelumnya. Tentu, tentu. Arga tahu dan pasrah, karena ...

BLUPYUK!

Arga tersungkur dengan wajah mencium kubangan lumpur itu. Meski keterpelesetannya tidak mencegah Arga untuk melanjutkan ucapannya, "....nyinya mamu."

Semenit, dua menit, ia biarkan hening menggantung di udara sejenak. Berdoa Rara akan berbalik menghampirinya dengan binar mata yang diharapkannya.

Kemudian, Arga mengangkat wajahnya. Ia mengerjap sekali dua kali, berusaha menjernihkan pandangan. Sebuah usaha yang sia-sia, sayangnya.

Karena sedetik kemudian pandangannya kembali memburam oleh bayang pedih.

Rara pergi. Gadis itu tak peduli.

Senyum pedih terulas di wajah Arga yang sudah belepotan lumpur. Dibenamkannya muka, dalam-dalam, ke perpaduan air dan tanah itu. Dengan lirih ia mengulang-ulang, "Aku cuma mau bilang kalau aku cinta kamu..."

Hening merundung kembali seperti ingin menghargai luka Arga. Tanah dan air tersenyum senang, merasa Arga benar-benar mencintai mereka. Langit yang menuju petang mengamini dalam diam, mendoakan Arga agar menjadi putra bangsa yang cinta tanah dan air selamanya.

Pulang nanti, kau mesti cari lem khusus hati yang pecah karena terpeleset penolakan cinta, ujar satu suara di otak Arga. Arga bungkam, terus mengulang kata-kata itu dalam diam.

Dari kejauhan, seorang lelaki mengawasi Arga dengan tatapan prihatin. Raut duka tampak di air mukanya. Rupanya... kakakku masih belum berhasil mengatasi demam tamannya. Sudah kuduga, mestinya dia menyatakan cinta di pantai saja! Sosok itu pun berbalik dan meninggalkan tempat itu diam-diam.
Adzan Maghrib berkumandang, satu cinta lagi telah padam.



TAMAT


Kupersembahkan untuk dia yang menyulam luka tiap kali senja menyapa. Apa kabar, kawan lama?