[JAS MERAH PAHLAWAN] : KINI BERNAMA IRONI

Day 1,819, 10:49 Published in Indonesia Indonesia by Bagus Prahutdi

Tulisan ini dibuat sebagai media partisipan dalam perlombaan Jas Merah Pahlawan yang diselenggarakan oleh Kemendagri (credit to ayiiph). Tokoh pahlawan yang saya angkat bukanlah mereka yang terkenal : diambil dari suatu film baru-baru ini. Tanpa maksud mengurangi maksud dan tujuan, semoga tulisan ini bisa bermanfaat bukan hanya di eRepublik eIndonesia namun juga dalam kehidupan nyata kita. Mohon maaf jika ada kekurangan maupun kesalahan.

Artikel terkait juga bisa anda temui di http://sastrasipilindonesia.wordpress.com/

**

Baru saja selesai menonton sebuah film Indonesia yang sangat bagus menurut pandangan saya. Setidaknya sebuah pelepas dahaga, kita sebagai orang Indonesia, di tengah keserabutan perfilman Indonesia yang kita tahu saat ini : film-film yang berorientasi pada profit, mengesampingkan moral bangsa, sebagian menakut-nakuti, dan sebagian lagi mengajarkan kebebasan yang keblabasan. Sungguh bukanlah budaya bangsa kita yang mengusung adat ketimuran.

Namun, kita patut tersenyum. Film-film jenis itu – yang menguasai pasar perfilman Indonesia beberapa tahun lalu, mulai berkurang. Ditandai dengan munculnya sebuah film fenomenal “Laskar Pelangi”. Lalu muncul pula film-film berkualitas lainnya : “Alangkah lucunya negeri ini”, "Trilogi Merah Putih", “The Raid : Redemption”, “Sang Pemimpi”, “Sang Pencerah”, “Perempuan Berkalung Sorban”, “Kita Vs Korupsi”, dan lain sebagainya.



Tanah Surga, Katanya”, adalah film yang barusan saya tonton. Berkisah tentang seorang kakek mantan relawan perang tahun ’65 saat Operasi Dwikora. Salman , seorang anak laki-laki yang hidup dengan sang kakek – piatu yang ditinggal ayah dan adik perempuannya mengadu nasib di Malaisya. Anwar, julukannya dokter intel yang pindah karena tidak laku di kota besar. Astuti, guru yang tidak sengaja dipindahkan, dan berbagai peran lainnya.

Latarnya adalah sebuah kampung terpencil di perbatasan Indonesia-Malaisya. Kita juga telah sama-sama tahu kehidupan seperti apa yang ada di perbatasan. Kekuarangan tenaga pendidik, medis, penerangan. Ironisnya mata uang yang mereka pakai adalah ringgit Malaisya, bukan rupiah – yang bahkan mereka tidak tahu bahwa rupiah punya pecahan lima puluh ribu.

Tulisan ini juga saya buat dalam rangka Hari Pahlawan. Persamaan dalam kedua hal ini adalah masalah nasionalisme pada diri kita sebagai bangsa Indonesia. Bagaimanapun saya merasa berkewajiban mengubah negeri ini walau hanya lewat tulisan. Syukur-syukur bisa mengubah paradigma kita dan bisa membangun kampung-kampung di perbatasan.

“...right or wrong my country, lebih-lebih kita tahu, Negara kita dalam keadaan bobrok, maka justru saat itu pula kita wajib memperbaikinya.”, -Prof. R. Soeharso-

Benar kawan, negeri kita sedang bobrok. Dan kita menyadari. Tetapi kita tak menyadari dengan seluruh. Sekarang kita cenderung membayangkan, Bung Tomo misalnya, dengan muka yang sangar, nada bicara berapi-api dan cerita yang sebagian orang direspon dengan keramat. Ada rasa luhur pada diri kita, tapi sebenarnya tak cukup. Bahwa kita selalu terpikat pada kisah kepahlawanan secara tak utuh.


Tokoh Perang Surabaya 10 November 1945 - Bung Tomo

Sayangnya, menurut Goenawan Mohamad, walaupun kita selalu kepingin mendengarnya kembali. Orang terkadang ingin menghentikannya tanpa tahu apa yang dilakukannya : orang tak sadar bahwa pahlawan mati untuk kedua kalinya – dan tak akan hidup lagi.

Kemarin sempat mengobrol dengan dosen. Berdiskusi terkait sebuah buku yang baru saja keluar dari Ikatan Alumni ITB. Buku yang beratnya kira-kira 1 kilogram itu, katanya didedikasikan untuk Alm. Widjajono (mantan Wakil Menteri ESDM yang meninggal di gunung Tambora). Ada ucapan menarik dari dosen saya.

Kedaulatan Energi Indonesia sudah tidak ada.”,

Sumber Daya Alam Indonesia dikeruk habis-habisan. Mungkin sebagian orang tidak sependapat dengan hal ini. Pertama, mereka adalah orang-orang pribumi yang punya kepentingan dalam menjalankan produksi. Kedua, orang-orang yang tidak ada hubungannya dengan hal ini, mereka sudah mapan dan selama zona aman mereka tidak diganggu, mereka tidak peduli. Ketiga, orang-orang yang sama dengan golongan kedua, namun mereka hidup pas-pasan sehingga mereka memilih tak ambil pusing.

Padahal kewajiban kitalah meneruskan cita-cita pahlawan. Tertuang pula pada Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”. Kita bisa mempertanyakan kekayaan alam negeri ini yang dikeruk habis-habisan oleh pihak asing. Negeri kita hanya diberi sedikit loyalti, tanpa (kebanyakan kasus) memperhatikan kemakmuran dan kesejahteraan warga asli dan – jika boleh saya tambahkan, kampung-kampung di perbatasan.

Kau nak, paling sedikit harus bisa berteriak. Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapapun?. Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari.”, -Anak Semua Bangsa-

Masalahnya, kita selalu menunggu orang lain untuk jadi pahlawan. Karena mungkin zona aman kita belum terganggu atau kita terlalu pengecut untuk bersuara lantang.

“..bahwa tokoh sejarah dan pahlawan sejati harus kita temukan kembali di antara kaum rakyat biasa yang sehari-hari, yang barangkali dalam harta maupun kuasa, namun besar dalam kesetiaannya demi kehidupan.”, -Y.B. Mangunwijaya-

Agaknya saya tidak salah mengangkat kepahlawanan sang kakek dalam film "Tanah Surga, Katanya". Sekali lagi, kita terlalu mudah berbicara.

**



Malaisya itu negeri yang makmur, Yah...”,

Negeri kita lebih makmur, Haris!”,

Jakarta yang makmur.”,

Bukan di sini. Kita ini di pelosok Kalimantan. Siapa yang peduli?.”,

Haris! Mengatur negeri ini tidaklah mudah, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tahu kau!”,

Tapi apa yang ayah harapkan dari pemerintah?. Mereka tidak pernah memberikan apa-apa untuk ayah yang pernah berjuang di perbatasan.”,

Aku mengabdi bukan untuk pemerintah. Tapi untuk negeri ini, bangsaku sendiri!”,

*petikan percakapan dalam film “Tanah Surga, Katanya”*

**

Sebab mencintai tanah air, nak, adalah merasa jadi bagian dari sebuah negeri, merasa terpaut dengan sebuah komunitas, merasa bahwa diri, identitas, nasib, terajut rapat dengan sesuatu yang disebut Indonesia, atau Jepang, atau Amerika. Mencintai sebuah tanah air adalah merasakan, mungkin menyadari bahwa tak ada negeri lain, tak ada bangsa lain, selain dari yang satu itu, yang bisa sebegitu rupa menggerakkan hati untuk hidup, bekerja dan terutama untuk mati...” –Goenawan Mohamad-

Selamat hari pahlawan!