SEJARAH TENTARA GENIE PELAJAR (TGP) DI MALANG

Day 1,513, 19:47 Published in Indonesia Indonesia by uy76

A. Latar Belakang Terbentuknya Pelajar Pejuang
Sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia telah mencatat peranan para pemuda pelajar. Tampilnya para pelajar dalam perjuangan telah dimulai sejak awal pergerakan nasional, dimana tokoh-tokoh pemimpin yang mempelopori Pergerakan Nasional lahir dari pemuda pelajar. Yang disebut pelajar pejuang adalah para pemuda pelajar Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas sampai Mahasiswa. Di mana usia mereka rata-rata 15 hingga 20 tahun tetapi mempunyai kesadaran bahwa tenaganya diperlukan untuk perjuangan bangsa. Istilah Pelajar Pejuang menurut Prof. Dr. Nugroho Noto Susanto masa 1945 – 1949. Sesungguhnya dipakai untuk menyebutkan pelajar yang menolak anggapan bahwa tugas satu-satunya dari pelajar adalah belajar saja. Para pelajar menolak anggapan bahwa hanya dengan belajar saja mereka telah melakukan tugasnya untuk revolusi, membela rakyat dan negara .Pada masa tahun 1945 – 1949 tugas primer mereka adalah membela kemerdekaan itu. Baru setelah itu melanjutkan pelajarannya dengan tenang. Banyak pelajar dengan sadar meninggalkan status pelajarnya dan menjadi anggota tetap Angkatan perang. Tetapi bagi Pelajar Pejuang yang ingin belajar dan berjuang tentunya memikul konsekwensi yang berat, karena mereka harus membagi waktunya untuk tugas perjuangan dan tugas belajar disekolah.
B. Kesatuan-Kesatuan Pelajar pejuang
1. Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP)
2. Tentara Pelajar (TP)
3. Tentara Genie Pelajar (TGP)
4. Corps Mahasiswa (CM)

Di samping kesatuan-kesatuan tersebut masih ada kesatuan pelajar yang tumbuh sebagai organisasi perjuangan. Sejarah terbentuknya diawali ketika pada akhir bulan september 1945 di Surabaya, para pemuda melakukan gerakan melucuti senjata angkatan perang Jepang yang berakhir dengan menyerahnya 1 Brigade dan 1 Armada Jepang kepada Pemuda Indonesia tanggal 2 Oktober 1945. Para pelajar SMP, ST, SMT, SMTT Surabaya ikut aktif dalam gerakan tersebut dan sejak saat itu mereka membentuk pasukan pelajar yang mereka sebut “Staf” atau kelompok. Pada masa itu di Surabaya ada 4 kelompok kesatuan pelajar antara lain :
1. Staf I kelompok pelajar SMT Darmo yang dipimpin Isman.
2. Staf II kelompok pelajar SMTT dan ST pimpinan Sunarto
3. Staf III kelompok SMP Praban dan SMP Ketabang
4. Staf IV kelompok pelajar lainnya yang bermarkas di Heren Straat.
Pada tanggal 25 Oktober 1945 kelompok-kelompok pelajar tersebut oleh Sungkono dimasukkan dalam BKR (Badan Keamanan Rakyat) dengan nama BKR Pelajar. Selama pertempuran Surabaya berkobar yang terjadi pada tanggal 28 Oktober dan 10 Nopember 1945 para pelajar ikut aktif bertempur bersama BKR dan laskar bersenjata lainnya. Para pelajar SMTT dan ST yang tergabung pada BKR pelajar Staff II dalam perkembangannya kemudian menjelma menjadi TKR. Pelajar Dinas Genie Pertahanan Surabaya dan terakhir pada tanggal 2 Pebruari 1947 menjelma menjadi Tentara Genie Pelajar (TGP) mula-mula dipimpin oleh Sunarto dan sejak tahun 1948 dipimpin oleh Hartawan. Di tiap kota yang ada Sekolah tehniknya di Jawa Timur dan Jawa Tengah kemudian berdiri TGP yaitu di Malang, Blitar, Pare, Madiun, Kediri, Bojonegoro, Pati, Solo, Yogya, Magelang dan Kebumen.
Sejalan dengan terbentuknya kesatuan-kesatuan pelajar di Jawa Timur, di Jawa Tengah juga terbentuk kesatuan pelajar yang bernama Tentara Pelajar (TP). Sejak pelucutan senjata tentara Jepang di Kota Baru tanggal 6 Oktober 1945. Mereka bersatu padu menggabungkan diri dalam
badan perjuangan bersenjata seperti; Laskar Rakyat, Tentara Rakyat Mataram, BKR dan sebagainya. Sejak tahun 1947 kesatuan pelajar di Jawa Tengah dibentuk menjadi kompi-kompi Tentara Pelajar yang tergabung dalam Batalyon TP 300 pimpinan Martono. Markas besar Tentara Pelajar di Jawa Tengah disebut Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) Pusat yang berkedudukan di Yogya di bawah pimpinan Suwarto. Di Solo bulan Oktober 1945 terbentuk kesatuankesatuan perjuangan bersenjata seperti Laskar Garuda, Laskar Pendawa dan Laskar Satria.
Setelah tercapainya perjanjian Renville 1948 segala kesatuan pelajar secara organisatoris disatukan dalam kesatuan Reserve Umum “W” (KRU “W”). Menjelang Agresi Belanda ke-2 KRU “W” dibentuk menjadi Brigade XVII TNI. Selama perang kemerdekaan para pelajar pejuang telah menunjukkan pengabdian dan pengorbanan di berbagai front dan medan pertempuran. Keberanian mereka dalam bertempur bukan saja dikagumi oleh rakyat tetapi juga diakui oleh tentara Belanda. Inilah anak-anak sebagai proses awal berdirinya Kesatuan pelajar
Pejuang termasuk Tentara Genie Pelajar (TGP) yang banyak mewarisi semangat bekerja keras dan belajar demi mempertahankan kemerdekaan.
CIKAL BAKAL LAHIRNYA TENTARA GENIE PELAJAR (TGP)
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kalah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom oleh Amerika serikat di kota Nagasaki dan Hirosima. Waktu itu anggota TGP masih berstatus sebagai pelajar STN / SMTT di Surabaya. Disusul pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang dipelopori oleh Soekarno dan Hatta. Melalui sidang PPKI pada tanggal 22 Agustus1945, Mayor Oerip Soemoharjo mantan anggota KNIL mengusulkan akan perlunya angkatan perang bagi berdirinya suatu negara. Beliau pernah mengatakan bahwa,
“……..Aneh suatu negara zonder tentara”.
Karena perlunya tentara tersebut maka di Surabaya terbentuklah BKR (Badan Keamanan Rakyat), PRI (Pemuda Republik Indonesia), AMI (Angkatan Muda Indonesia), BPRI (Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia) dan lain sebagainya, yang semuanya itu bertujuan untuk membela dan mempertahankan Republik Indonesia. Tepat tanggal 1 Oktober 1945, 20 orang siswa STN / SMTT mengikuti jejak Bapak-bapak guru mereka diantaranya Bapak Hasanudin dan Bapak Kaswadi masuk menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Tehnik bermarkas di bekas Tentara Jepang Don Bosco Jalan Tidar Surabaya. Selama masa perebutan kekuasaan, pasukan pelajar/ BKR Pelajar aktif menyertai perebutan senjata, antara lain penyerbuan terhadap tangsi Don Bosco dan tempat lain yang memungkinkan pasukan menambah jumlah persenjataannya. Sesudah Jepang tidak melakukan perlawanan terhadap gerakan rakyat Surabaya, maka tantangan berikutnya datang dari Sekutu, yaitu Pasukan Inggris dan Gurkha (India) yang tergabung dalam pasukan Brigade ke-49 Divisi India ke-23. Mereka mendarat di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945 dengan persetujuan dari pemerintah Pusat Jakarta dan pemerintah daerah Surabaya.
Tetapi kemudian pasukan asing ini melakukan aksi-aksi provokatif menduduki beberapa obyek strategis, melakukan pemeriksaan secara paksa terhadap penduduk dan kendaraan yang melewati gedung yang mereka duduki. Keadaan ini menumbuhkan kemarahan pada kalangan pemuda sehingga insiden antara pasukan Inggris–Gurka dan Pemuda Indonesia. Pertempuran besar dan meluas hampir seluruh kota Surabaya meledak tanggal 28 Oktober sampai dengan 30 Oktober 1945. Lebih dari 140.000 orang terlibat dalam pertempuran tersebut, yang terdiri dari 20.000 pasukan terlatih, yaitu mantan angota Heiho dan Peta yang sudah dibubarkan ditambah 120.000
pasukan rakyat yang terbentuk secara spontan. Pertempuran ini baru bias dihentikan untuk sementara waktu dengan campur tangan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta. Belum sempat dilaksanakan penghentian tembak menembak sepenuhnya, telah terjadi insiden “Internatio” yaitu terbunuhnya komandan Brigade 49 Brigadir Inggris Jenderal AWS Mallaby di depan gedung Internatio. Keadaan ini membuat berang Panglima Sekutu di Jakarta dan berniat untuk menertibkan dan “menghukum” masyarakat Surabaya. Untuk itu dilakukan perkuatan
pasukan Sekutu di Surabaya dengan mendatangkan beribu pasukan Infanteri, pasukan meriam dan tank, pesawat udara tempur lengkap (+12.000 orang). Sesudah kekuatan ini tersedia dan siap di Surabaya, pada 9 Nopember 1945 Sekutu menyebar pamflet ultimatum agar rakyat Surabaya menyerah dan menyerahkan segenap persenjataannya kepada Sekutu, dan bila tidak bersedia maka Surabaya akan digempur dengan segenap kekuatan militer darat, udara dan laut yang dimiliki pasukan Sekutu. Pada 9 Nopember 1945 sekitar pukul 23.00, dalam siaran radio RRI
Surabaya dengan tegas Rakyat Surabaya di bawah pimpinan Gubernur Jawa Timur Soerjo dan tokoh-tokoh masyarakat antara lain Cak Doel Arnowo, dr. Mustopo, Soengkono dan Bung Tomo, menolak permintaan dan ancaman panglima Sekutu. Dalam pidatonya di radio pada tanggal 9 Nopember 1945 Gubernur Soerjo antara lain mengatakan :
…….“Semua usaha kita untuk berunding senantiasa gagal. Untuk
mempertahankan kedaulatan negara kita, maka kita harus menegakkan
dan meneguhkan tekad yang satu, yaitu berani mengahadapi segala
kemungkinan. Berulang-ulang telah kita kemukakan bahwa sikap kita
ialah: lebih baik hancur dari pada dijajah kembali. Juga sekarang dalam
menghadapi ultimatum pihak Inggris kita akan memegang teguh sikap
ini. Kita tetap menolak ultimatum itu.”……………………………………..

Pernyataan ini juga diperkuat oleh tindakan Bung Tomo salah seorang pemimpin perjuangan rakyat Surabaya. Dengan suaranya yang menggeledek Bung Tomo membakar semangat para pejuang Surabaya, “ Kita Lebih Baik Hancur Daripada di jajah Kembali, Maju terus pantang
mundur ! Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akabar “
Pagi dini hari 10 Nopember 1945 pasukan Inggris-Gurka bergerak dengan perlindungan pesawat udara tempur dan penembakan artileri dari meriam darat dan meriam kapal perang. Pertempuran mati-matian berkecamuk antara dua kekuatan berhadapan, pasukan pertahanan Surabaya meskipun dengan peralatan yang lebih sederhana tetapi dengan semangat perjuangan yang tinggi melawan dengan gigih, mempertahankan tanah tumpah darah. Kemajuan gerakan pasukan Inggris-Gurka menjadi tersendat-sendat karena tidak semua wilayah yang mereka kuasai kosong dari pasukan Indonesia, yang ditakutkan dapat menimbulkan kerugian di bagian belakang gerakan pasukan Inggris-Gurka. Korban berjatuhan tidak terkira, karena pasukan dan pemuda Surabaya yakin mereka dapat memenangkan pertempuran pertempuran seperti yang telah dialami dalam pertempuran 28 – 30 Oktober yang lalu. Pasukan Sekutu dengan persenjataan yang sangat canggih dan unggul diatas kemampuan tempur pasukan Indonesia memerlukan waktu selama 21 hari untuk menduduki kota Surabaya, itu merupakan peristiwa heroik anak bangsa Indonesia dalam membela kemerdekaan dan kedaulatan negaranya yang kemudian kita peringati sebagai Hari Pahlawan 10 Nopember 1945.
Untuk mengurangi jumlah korban lagi, maka Pasukan Republik Indonesia ditarik mundur menuju Gunungsari, Sepanjang, Karangpilang. Di Karangpilang inilah Bapak Hasanudin (Komandan TKR tehnik) terkena ledakan pasangannya sendiri. Beberapa hari kemudian pasukan ditarik mundur lagi ke Pabrik Gula Krian, Mojokerto, Jombang terus menetap di Pabrik Gula Cukir Jombang. Pada tahun 1946, dalam suasana “Jeda Perang” dan “Statusquo” atas desakan Panglima tentara Sekutu dirintis upaya perundingan RI-Belanda yang menghasilkan perjanjian Linggarjati dan selama itu diberlakukan suatu keadaan “genjatan senjata”, (“cease fire”)dari kedua belah pihak. Dengan tidak adanya lagi tugas-tugas operasional Pembelaan Negara, maka para pelajar pejuang bersenjata menarik diri dari “front” untuk kembali berusaha meningkatkan harkat dan martabat dirinya dengan belajar kembali menekuni pendidikan di sekolah. Disusul ada pengumuman dari sekolah bahwa STN / SMTT akan dibuka kembali di Lawang, Malang, Blitar dan Kediri.
Khususnya bagi murid kelas III STN/ SMTT akan dibuka di Lawang dan diasramakan di Jalan Sumberwaras Lawang. Di Lawang kurang lebih 5 bulan ada kenaikan kelas, kemudian sekolah dipindah lagi ke kota Malang yang untuk sementara waktu masih menumpang di gedung Katholik Coryesu . (Sekarang ada di depan Rumah Sakit Umum Celaket , Malang). Tidak berapa lama sekolah di pindah lagi ke SMP Kristen Jalan Semeru No. 42 Malang dan disinilah tempat kelahiran Kesatuan Tentara Genie Pelajar (TGP) di bawah pimpinan Soenarto terbentuk, tepatnya pada tanggal 2 Pebruari 1947.Dengan semboyan “ Berjuang Sambil Belajar”.Gambar …. Gedung SPG Kristen Tempat Lahirnya TGP. Ide mendirikan TGP oleh sekelompok pelajar pejuang SMTT sebenarnya sudah ada sejak di asrama Sumberwaras Lawang sampai di Mes jalan Ringgit Malang.Peristiwa ini sekaligus juga dimanfaatkan untuk pendaftaran mereka yang berminat menjadi anggota pasukan pelajar pejuang yang baru, Tentara Genie pelajar. Pembentukan satuan baru ini diawali dengan acara pendidikan dan latihan, baik dalam Dasar-dasar Militer sekaligus juga spesialisasi tugas Genie, diselenggarakan selama dua minggu di Ksatrian Rampal Malang. Bersamaan dengan itu juga dilakukan aksi “kampanye” anjuran untuk membentuk satuan TGP dan bergabung dengan TGP Malang. Sedangkan latihan dasar kemiliteran dilatih oleh para pelatih dari Sekolah Kadet Angkatan Laut Malang. Batalyon TGP terbagi menjadi 4 Kompi :
- Kompi I berada di Malang, Blitar dan Pare (Kediri)
- Kompi II berada di Madiun, Bojonegoro dan Pati
- Kompi III berada di Solo
- Kompi IV berada di Yogyakarta.
Peranan Tentara Genie Pelajar Dalam Mempertahankan
Kemerdekaan Republik Indonesia.
Belum genap enam bulan usia TGP sudah menghadapi ujian pertama yang berat, yaitu pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melancarkan operasinya yang lebih dikenal dengan Perang Kemerdekaan I. Pada pukul 16.00 terdengar siaran dari unit-unit penerangan melalui pengeras suara dengan kata-kata “ Ibu Pertiwi dalam bahaya “, yang merupakan kata-kata sandi bahwa mulai mengadakan serangan. Malam hari pukul 19.00 semua perwira staf dan komandan kesatuan Divisi VII berkumpul di Markas Divisi, termasuk Komandan TGP. Pada apel tersebut dikeluarkan perintah harian Panglima, bahwa pasukan baru meninggalkan kota Malang setelah kota tersebut menjadi lautan api.
Dengan bekal instruksi atau perintah tersebut, maka malam itu juga di Markas TGP Jalan Ringgit 5 diadakan rapat staf dan komandan seksi, untuk menentukan langkah-langkah yang harus diambil :
1. Mengirimkan beberapa regu untuk mengadakan aksi-aksi penghambatan sepanjang jalan
Pandaan Lawang
2. Beberapa regu ditugaskan untuk bumi hangus kota Malang, termasuk
lapangan terbang Bugis.
3. Persiapan pemindahan Markas TGP ke sebelah barat Kali Kepanjen.
4. Sisanya tetap berada di Pos Komando yang pemindahannya disesuaikan dengan situasi
pertempuran.
Selagi anggota staf masih berkumpul di Markas Jalan Ringgit, pada tanggal 22 Juli jam 03.00 terdengar ledakan yang hebat disertai jatuhnya serpihan-serpihan plafon. Dengan perasaan mendongkol, karena peledakan tersebut dianggap belum waktunya dan bertentangan dengan perintah Panglima, maka Komandan TGP disertai beberapa orang meninggalkan markas menemui Panglima Divisi untuk memprotes kejadian tersebut, sambil meminta instruksi lebih lanjut dan melaporkan hasil rapat yang baru lalu.
Siang harinya, setelah terlihat gejala dikosongkannya kota Malang, maka diambil inisiatif untuk mengambil alih tanggunggjawab bumi hangus kota Malang. Tindakan pertama yang dilakukan adalah meminta pada Kepala-kepala Kantor seperti, kantor Tilpon, RRI, Perusahaan listrik dan
Station Malang. Kepada mereka diminta kesediaannya menerima pengawasan dan penghancuran mereka dan mulai mengungsikan alat penting mereka ke Ngebruk dan Sumberpucung. Pada kesempatan itu TGP juga meminta agar kendaraan, peralatan tilpon dan kabel listrik mereka
diserahkan pada TGP. Ada 1 bus, 1 sedan, 1 truk, 1 pick up yang diperoleh TGP dan kemudian berhasil diselamatkan ke luar kota sewaktu tentara Belanda masuk kota Malang.
Gambar …. Penghancuran Jembatan. Pada tanggal 23 Juli Markas TGP dipindahkan ke Sumberpucung.
Sedangkan Pos Komando dibagi, Posko depan tetap berada di jalan Ringgit dan Posko Utama di Bululawang. Posko depan bertugas sebagai tempat kumpul bagi anggota TGP yang masih berada didepan dan tempat koordinasi penghancuran kota Malang. Posko Utama bertugas sebagai tempat koordinasi aksi-aksi penghambatan jalan Malang – Kepanjen. Setelah mendapat berita, bahwa Belanda akan melanjutkan operasinya dari Lumajang ke Malang Selatan, maka dikirimkan 1 regu untuk menghancurkan jembatan Gambirsari (Pasirian). Jembatan tersebut berhasil diputuskan.
Pada tanggal 26 Juli jam 04.00 pagi terdengar berita, bahwa jembatan jembatan sebelah timur Kepanjen akan diledakan oleh Detasemen Genie Divisi VII. Karena sebagian besar pasukan masih banyak yang berada di sebelah Timur Kali Kepanjen lengkap dengan senjata beratnya, maka diputuskan untuk mengambil alih pengawasan dan penjagaan jembatan Malang-Kepanjen dan Dampit-Kepanjen. Dan pada hari-hari berikutnya diledakan juga studio RRI, setasion Kereta api Malang, Penghancuran landasan pangkalan udara Bugis, Gedung KNI, Kantor Karesidenan dan hotel Palaco. Kota Malang jatuh pada tanggal 31 Juli 31 Juli 1947.
Setelah Posko Utama TGP pindah ke Bululawang pada tanggal 24 Juli 1947 maka mulai dipersiapkan penghancuran Pabrik Percetakan Uang Negara Kendalpayak dan pabrik Gula Krebet. Setelah selesai mengungsikan mesin mesin cetak dan uang kertas sebanyak 5 gerbong Kereta Api, maka pabrik tersebut diledakkan, pada hari yang sama jembatan Kereta api yang melintasi Kali Brantas di Kendalpayak juga diledakkan sampai putus. Satu kilometer di selatan jembatan tersebut ada lagi jembatan kereta-api Sempal wadak juga diledakkan oleh TGP.
Selama di Bululawang, markas TGP menempati sebuah gedung Sekolah Dasar. Di sini pelajar Saleh mendapat cedera, tangan kirinya putus kena ledakan detonator. Pada masa persetujuan Renvile Bululawang menjadi daerah demarkasi. Pada tanggal 1 Agustus setelah mendengar bahwa Belanda menuju kearah Bululawang dengan pasukan Kavaleri, maka kekuatan utama TGP bergerak menuju Sumberpucung, kecuali kelompok komando yang masih akan menghancurkan penimbunan amunisi di Wajak dan jembatan Srigonggeng. Sambil mengundurkan diri pasukan utama menghancurkan pabrik Gula Krebet, sedangkan jembatan Srigonggeng baru dipasang dan diledakan pada malam hari, karena pasukan kavaleri Belanda menurut informasi para pengungsi (rakyat) berada tidak jauh dari jembatan tersebut di seberang sungai. Jembatan berhasil diledakan dengan 4 buah ranjau laut. Semua kekuatan TGP tiba dengan selamat di Sumberpucung tanggal 2 Agustus.
Pada September 1947, dari Sumberpucung TNI melakukan gerakan “Wingate” (menyusup jauh ke wilayah musuh) kedaerah pendudukan Belanda di ujung Jawa Timur. Ada 3 regu Khusus TGP yang ditugaskan ikut serta dalam gerakan Wingate itu sebagai kesatuan pioner Regu Lutfi
bersama Batalyon Syarif menuju Probolinggo, Regu Sisworo bersama Batalyon Sukertio menuju Lumajang sedang Kasbi bersama Batalyon Magenda menyusup ke daerah Jember. Di luar itu masih ada lagi satu regu khusus TGP pimpinan Chenot Santoso menyusup ke daerah Malang
Selatan.
Gerakan “Wingate” ini merupakan perjalanan yang berat, karena perjalanan dilakukan tidak melalui jalan raya, untuk menghindari perjumpaan dengan patroli pasukan Belanda, melainkan melalui jalan kampung, jalan setapak dan kadang-kadang bahkan menerobos hutan. Kelompok yang menuju Probolinggo ada yang menerobos melalui Gunung Bromo dan ada pula yang melewati lereng selatan G. Semeru. Mereka berbasis di Patayan di Selatan Probolinggo. Bersama Batalyon Abdul Syarief mereka melalukan serangan umum . Serangan itu dilakukan tepat menjelang ditandatanganinya Perjanjian Renville tanggal 17 Januari 1948. dalam serangan ini regu TGP mendapat tugas menghancurkan jembatan di desa Pasir, + 3 km dari Probolinggo, yaitu jembatan jalan raya Probolinggo – Pasuruan dan jembatan kereta api di dekatnya. Putusnya
jembatan tersebutr membawa akibat Jeep tentara Belanda bersama penumpangnya yang berjalan cepat terperosok masuk sungai. Disamping merusak jembatan tersebut mereka juga berhasil merusak jembatan kereta api di selatan Leces sehingga hubungan kereta api Surabaya – Jember untuk beberapa hari putus. Kelompok yang ke Lumajang melakukan Sabotase terhadap pembangkit tenaga listrik di daerah itu. Selesai dengan tugas Wingate tersebut kemudian mereka kembali lagi ke Sumberpucung. Dengan tercapainya persetujuan Renville kemudian terjadi genjatan senjata. Pada masa gencatan senjata ini, TGP kemudian memanfaatkan waktu luang itu untuk melakukan konsolidasi dengan pengembangan organisasi.
Tugas utama sesudah terkonsolidasi adalah mempersiapkan usaha perlawanan terhadap serangan musuh di daerah poros gerakan Kepanjen, Wlingi, Lodoyo – Blitar dengan penghancuran jembatan-jembatan dalam poros jalan tersebut dan berakhir dengan melaksanakan bumi hangus total kota Blitar. Yang kedua mempersiapkan bakal calon daerah yang dapat dikembangkan sebagai “basis” sekaligus “kantong RI” bagi kompi I di daerah kota Blitar apabila harus meninggalkan kota Blitar. Daerah Operasi gerilya kompi I, tidak terbatas di daerah sekitar Blitar dan Pare saja, melainkan juga sampai ke daerah Malang selatan. Salah satu kelompok kecil TGP yang bertugas di daerah Malang Selatan adalah kelompok Sunardi, terdiri dari empat orang anggota dari Peleton I. Mereka adalah Suwiadi, Sunarto, Kusbagyo dan Sunardi. Di desa Bodo, Ngebruk bersama pasukan TRIP pada tanggal 9 april 1949 mereka melakukan penghadangan terhadap konvoi Belanda. Ranjau darat yang mereka pasang berhasil merusak sebuah panser dan sebuah truck Belanda. Esoknya di desa Kebonsari, Ngebruk, bersama pasukan TRIP mereka terlibat pertempuran dengan satu kompi pasukan Belanda. Serangan Belanda yang gencar dengan Brengun, stengun dan Tekudan, menyebabkan kedua pasukan pelajar yang bertahan dibalik jalan kereta api jadi kewalahan. Dalam pertempuran ini, lima orang pemuda TRIP gugur.
Setelah peristiwa tersebut kelompok TGP pindah ke Desa Duren Klayatan, bermalam dirumah seorang penduduk. Pada tanggal 16 april 1949, tengah malam sekitar jam 22.30, tempat mereka menginap tiba-tiba disergap oleh tentara Belanda. Pasukan Belanda yang tiba-tiba saja telah berdiri dimuka pintu, langsung melepaskan tembakan terhadap Suwiadi dan Sunarto yang sedang beristirahat di bale-bale. Suwiadi seketika gugur, sedang Sunarto dan Sumardi menderita luka-luka tertawan dan terus dibawa ke Malang. Kusbagyo tidak hadir dalam peristiwa tersebut, karena siang harinya sedang dapat tugas ke Malang untuk mencari peluru. Sesungguhnya banyak catatan aksi-aksi penghadangan yang dilakukan TGP, baik dalam peristiwa tersebut ada yang memakan korban jiwa maupun tidak. Tindakan pembelaan negara yang dilakukan oleh kalangan anak muda seperti, para pelajar pejuang bersenjata yang rata-rata usianya belum mencapai 20 tahun berkembang pula rasa berkompetisi atau bersaing untuk berbuat lebih baik dari yang dilakukan oleh kelompok lain. Sikap berkompetisi ini seringmenimbulkan kesulitan pengendalian pada mereka yang dibebani tanggung jawab kepemimpinan regu dan peleton. Tetapi sesungguhnya itulah suasana pasukan Pelajar Pejuang yang kadang juga menggambarkan ciri khas anak muda yang pemberani dan “sedikit nekad”. Terlebih dalam kegiatan aksi penghadangan, selain ada resiko maut bila terjadi kecelakaan, tetapi juga ada keisengan yang bermuatan kegembiraan melepaskan diri sesaat dari kondisi ketertekanan batin dan keletihan kecamuk peperangan. Seperti diketahui patroli depan iringiringan Tentara Belanda, lazimnya kelompo Kavaleri berkendaraan panser atau bren, cukup sering menemukan pasangan bom tarik yang kawat penariknya diikatkan pada rintangan pohon sehingga bila ada upaya untuk menyingkirkan rintangan pohon tersebut maka bom akan meledak, oleh karena itu mereka harus berhati-hati. Untuk sedikit memberi nuansa humor dibuatlah oleh kelompok penghadangan suatu jebakan semacam itu tetapi suatu pasangan tipuan yaitu tanpa pasangan bom tarik, dan sebagai gantinya sibuat seonggok kotoran manusia ditutup dedaunan secara rapi. Ini sudah dapat dipastikan akan menimbulkan amarah dan kejengkelan pada serdadu Belanda, yang dengan sendirinya juga harus menyingkirkan rintangan yang beraroma aduhai itu. Apa yang ditunggu anak muda TNI, pelajar pejuang yang sedang iseng mencari kegembiraan sesaat, ialah menyaksikan dari tempat persembunyiannya yang cukup jauh, peluapan amarah Belanda yang
biasanya lalu menembak menghamburkan peluru kesembarang tempat sambil mencaci maki mereka juga menantang “untuk berani berhadapan secara ksatria, jangan dengan cara-cara curang mengganggu tugas kami” .. cara serupa juga sering dilakukan yaitu membuat onggokan kotoran sapi atau kerbau ditempat yang “menarik kewaspadaan patroli musuh“, sedangkan sesungguhnya onggokan itu kosong belaka, hanya suatu tipuan yang menjengkelkan serdadu Belanda. Selain itu “gangguan” ini juga berakibat melambankan gerak ofensif Tentara Belanda. Demikian anak-anak muda pelajar pejuang bersenjata merespons resiko tugas menghadapi maut dan serba kehidupan yang sulit sebagai pasukan gerilya, dengan lebih sering dicairkan dengan kegiatan yang lucu, tentu dalam ukuran para pelajar pejuang yang rata rata masih usia belia