Impian Sarkim dan Pardisun

Day 1,883, 06:56 Published in Indonesia Hungary by chestabudi

Sebatang rokok kretek menyelip di bibir Sarkim. Dihisap dalam-dalam rokok tersebut. Bara api terlihat meyala diantara himpitan abu, tembakau dan kertas. Tak lama berselang asap mengepul pelan. Bagi dia, tak ada yang lebih nikmat saat rehat membajak sawah sembari menikmati sebatang rokok dan kopi pahit dingin.

Matanya memandang hamparan sawah di depannya. Sawah itu sudah terbajak setengahnya, setengahnya lagi terlihat tanaman padi muda yang mulai membusuk. Yahh ini sudah tiga kali Sarkim membajak lahan miliknya pada musim tanam kali ini. Dua kali tanam sebelumnya ludes terserang banjir.

Dia memang memilih menggarap lahannya sendiri. Sebab lahannya tidak luas. Jika mempekerjakan orang lain belum tentu untungnya. Ongkos kerja sebagai buruh tani di tempatnya sebenarnya tidak tinggi-tinggi amat. Hanya sebesar Rp 15 ribu. Tapi sering kali saat panen harga jual padi anjlok, sehingga justru saat mempekerjakan orang bukannya untung malah rugi.

Jadi buruh tani juga bukan pilihan yang baik. Dengan gaji sebesar Rp 15 ribu untuk apa. Untuk beli beras, ikan asin, sayur genjer dan setengah bungkus rokok kretek sudah habis. Namun ia terima nasib itu dengan tetap tersenyum, meski kadang kala senyum getir.

“Byuk..pyak..” tiba-tiba percikan air mengenai wajahnya membuat lamunannya buyar. Dan di depannya berdiri Pardisun sambil tertawa terkekeh-kekeh dengan wajah tak berdosa.

“Ngapain kang melamun. Sampai abu rokoknya sepanjang ulet bulu ndak dibuang. Mikirin Mudrikah yach..,” ujar Pardisun. Mudrikah sendiri adalah janda beranak dua yang baru dicerai suaminya beberapa pekan lalu.

“Mudrikah..dengkulmu..gara-gara kamu rokokku basah ndak bisa di isep. Ini rokok tinggal satu-satunya. Ndak tahu cari duit susah!,” kata Sarkim dengan berang.

“Halah kang..ndak usah marah-marah gitu. Nanti tak beri rokok yang lebih bermoral. Mau pilih rokok mild atau filter, saya punya segudang,” sesumbar Pardisun.

Medengar ini Sarkim hanya tersenyum. Bukan karena bakal diberi rokok sama Parsidun, namun melihat tingkahnya Pardisun yang sok kaya padahal nasibnya tak jauh beda dengan dia. Yang membedakan hanya Pardisun belum nikah sehingga urusan rokok dan sedikit senang-senang tidak ada persoalan..

“Melamun apa sich kang..,” tanya Pardisun sambil menyodorkan sebungkos rokok Mild dengan merk tak terkenal dan pita cukai berwarna kusam.

“Ini... nasib kita kok ndak pernah berubah yach. Penghasilannya seret. Kerja gajinya murah, punya sawah kecil, diolahpun sulit untungnya. Kapan kayanya yah..?,' keluh Sarkim.

“Ohhh itu....Sebenarnya persoalan itu sudah aku pikirkan cukup lama. Hasil tanya sana-sini sama orang pinter..rahasianya kita harus kreatif. Kerja keras saja tidak cukup..tapi harus kerja cerdass,” jalas Pardisun dengan sangat meyakinkan , mirip motivator marketing di seminar-seminar.

“Kreatif gimana..yang jelas ngomongnya, jangan ngalor ngidul gitu,” kata Sarkim penasaran.

“Yaa kita harus kreatif. Tidak boleh mengandalkan satu usaha. Namun harus memadukan sumber penghasilan yang cocok dengan yang kita tekuni saat ini,” kata Pardisun semakin semangat.

“Contohnya..,” tanya Sarkim.

“Contoh yang tepat adalah beternak. Ya..beternak apa saja. Bisa ternak kambing atau ternak sapi,” jelas Pardisun dengan meyakinkan.

“Apa itu tidak semakin susah..dan menyita waktu kita,” kata Sarkim

“Sudah saya bilang...kunci sukses tidak cukup kerja keras namun harus kerja cerdas. Jika hanya beternak satu kambing atau satu sapi untungnya kecil..tenaga yang dikeluarkan juga sama. Ingat kata mas Siwo yang jadi petugas Penyuluh Lapang Pertanian, beternak bisa disebut menguntungkan bila minimal punya delapan kambing atau lima sapi,” jelas Pardisun meyakinkan.

“Sampeyan bayangkan,” lanjut Pardisun, “jika punya lima sapi..maka dalam setahun tiap sapi bisa beranak dua..penghasilan kita tidak kalah dengan pegawai negeri sipilis. Jika berpikir lebih cerdas lagi, hasil ternak sapi ini bisa di investasikan untuk membeli tanah yang lebih luas,” kata Pardisun mantap.

“Bener juga kata kamu..ndak tahu-tahunya otakmu cerdas kali ini,”kata Sarkim..”Tapi ngomong-ngomong dari mana modal untuk beli lima sapi,” lanjutnya.

“Ohhh itu gampang. Gade in sawah ke Bank..dapat modal trus untuk beli sapi..,” kata Pardisun.

Mendengar itu sarkim termenung. “Gadein ke bank...,” gumamnya. “Bentar-bentar...itu kalau usaha kita untung, lancar dan sapinya mau beranak. Bagaimana jika sapinya kena flu babi..trus mati..atau di colong maling...malah Blaik itu. Bukannya kita untung bisa-bisa buntung..ndak punya sapi malah ujung-ujungnya sawah pun ludes di sita bank,” kata sarkim.

“Lho di kasih saran malah ndak mau..setiap usaha ada resikonya..jangan mau enaknya. Untuk jadi orang besar..harus berfikir layaknya orang besar,” ujar Pardisun.

“Ya udah gini saja, kamu yang mencoba dulu..kalau kamu sukses aku ikutan..,” kata Sarkim.

“Owalah sampeyan ini orangnya aneh..sudah saya bantu ide..ngapain saya susah-susah praktekin diri untuk sampeyan..kalau ndak mau ya sudah,” kata Pardisun sewot.

“Wouw bocah gila..tetangganya sendiri di kasih ide racun...,” kata Sarkim tak kalah sewot. Ia lantas mengambil rokok mild yang tergeletak disampingnya dan menyalakannya dengan korek gas. Dihisapnya dalam-dalam rokok tersebut sambil melirik ke Pardisun. Terlihat Pardisun berjalan dan membuka bungkusan bekal yang dicantelkan di pohon ketapang tak jauh dari tempat mereka duduk.

Pardisun memasukan tangannya ke dalam bungkusan tersebut mencari sesuatu. Di raihnya sebuah benda berupa kotak tipis kecil. Bagian atasnya terdapat kaca bening. Tangannya kemudian menari di atas kaca itu. Sentuh sana-sentuh sini. Melihat hal tersebut Sarkim penasaran lantas bertanya dengan suara keras. “Apa itu Par..,”

“Ohh ini...Tablet,” kata Pardisun tanpa menoleh

“Hah..kopet...,” kata Sarkim sambil ternganga.
“Tablet..budeg....ini Personal Computer Tablet..dasar gaptek..ndeso..Bagi orang pinter seperti saya ya peganganya ini. Meski pekerjaan petani tapi soal informasi luar negeri tidak kalah. Tidak seperti sampeyan yang hanya tahunya Mudrikah...,” kata Pardisun

“Wooooo dasar gemagus...belagu..ke sawah saja sok-sokan,” kata Sarkim makin sewot. Enggan tambah dongkol dengan ulah Pardisun ia memilih duduk dan meneruskan rokoknya. Baru lima hisapan ia mendengar teriakan Pardisun.

“Gila Indonesia mau perang dengan Australia...!!” teriak Pardisun dengan tetap melihat PC tablet miliknya.

Mendengar hal ini, Sarkim penasaran. Ia pun mendekat pelan ke tempat Pardisun duduk..”Hah kau ngomong apa tadi?,” tanya Sarkim.

“Ini..Indonesia mau perang dengan Australia,” kata Pardisun dengan tetap memperhatikan kotak kecil ditangannya. “Kapan itu..?,” tanya Sarkim. “Ini barusan..,” jelas Pardisun tanpa menoleh ke Sarkim.

“Busyet kok saya ndak lihat beritanya di TV yach..,” kata Sarkim.

Dengan muka pucat ia lantas mengambil bekal miliknya dan hendak bergegas pulang. Meski hanya tamat SMP, bagi Sarkim yang tinggal di pantai selatan Jawa, paham betul bahwa desanya berbatasan langsung dengan Samudera Indonesia yang artinya berbatasan langsung dengan Australia. Jika terjadi perang sangat mudah pasukan Australia mendarat di tempatnya, bahkan dengan berenang. Jika terjadi perang tambah susah hidupnya.

Namun sebelum beranjak pergi tiba-tiba Pardisun menoleh sambil bertanya. “Lho mau kemana kang?,”.

“Mau pulang..katanya mau perang...jika..tentara Australia ke sini saya mau ngungsi,” jawab Sarkim

Mendengar hal ini..Pardisun melonggo tak berselang lama tertawa terpingkal-pingkal. Melihat hal ini Sarkim heran..”Lho kamu malah tertawa..tidak takut mati apa,” tanya Sarkim.

“Duduk dulu kang..santai..santai...ini perangnya di game....saya lagi main game,” kata pardisun sambil cengengesan.

Mendengar hal ini Sarkim tambah donggol..tiba-tiba BUK!! telapak kakinya mendarat di muka Pardisun...”Asu...” maki Sarkim...