BERHENTI MENGELUH ( SOLIDARITAS UNTUK KAWAN MERAH " YANG TIDAK MENYENANGKAN " )

Day 2,373, 01:20 Published in Indonesia Indonesia by Fitzgerald.13




Beberapa hari yg lalu ketika saya sedang berada di tanah Britania Raya ketika sedang melakukan sebuah misi kecil sebagai anggota eComintern, saya mendapatkan seekor merpati pos yang bertengger di atas sudut jendela kamar saya. Seketika saya cermati dengan seksama merpati pos itu ternyata ada kode palu arit pada kepala merpati itu. Lalu saya pun bergegas menghampiri merpati itu yang dengan santainya bertengger di jendela kamar persembunyianku di Leicester, rumah salah satu kawan merah terpercaya di Britania Sir Rex Fleddington. Dan ternyata merpati itu membawa sebuah pesan di kaki sebelah kirinya. lalu aku mengambil pesan itu dan kembali melepaskan merpati keluar melalui jendela kamarku.

Lalu aku pun membaca pesan yang dibawa merpati itu dengan duduk di kursi kayu tua di kamar persembunyianku sambil menghisap sebatang rokok dan mendengarkan lagu Partisan Song pada piringan hitam punya sir rex yang aku pinjam. Ternyata pesan ini datang dari Gedung Merah, tempat aku dibina dan dibesarkan di tanah kelahiranku. Dalam pesan itu tertulis pemimpin barisan merah saat ini yang memintaku kembali ke tanah air untuk kembali membantu pergerakan kelas pekerja disana. Saya pun mengambil keputusan untuk kembali ke tanah air karena saya rasa tugas saya sudah selesai di tanah britania ini. Saya berlekas mematikan rokok dan segera merapikan koper dan baju-baju saya yg didominasi warna merah dan hitam. Lalu saya pun menuju Kantor PCP untuk berpamitan kepada kawan-kawan merah britania dan mengucapkan terima kasih sambutan dan kehangatan yang mereka berikan selama saya di britania. Selepas dari kantor PCP saya pun diantar oleh dua orang kawan merah yang tergabung dengan saya di eComintern Sir Rex Fleddington dan Ayame Crocodile yang juga merupakan Presiden dari eUK saat ini. Dalam perjalanan pulang kembali ke tanah air saya mengisi waktu dengan membaca tulisan-tulisan ted sprague. Lalu saya pun mendapatkan inspirasi dalam banyak hal yang berkecamuk dalam pikiranku mengenai apa yang terjadi di gedung merah saat ini, lalu saya mengambil sebuah pena usang berkarat yang lama tak terpakai tapi selalu ada di dalam saku baju ku. Sebuah pena tua yang terdapat ukiran palu arit di pangkalnya yang saya ukir dengan sebuah paku ketika masa-masa saya sendiri menemani malam di sudut ruang rapat gedung merah yang sudah usang. Dan saya pun mengambil secarik kertas dan mulai mengukir dengan tinta hitam :

" Kejadian kriminalisasi kelas pekerja kaum proletar kawan-kawan merah di Indonesia yang dijegal dengan dakwaan " perbuatan tidak menyenangkan " oleh pemilik modal yang mengaku sebagai kaum reformis. Menimbulkan sebuah pertanyaan yang awalnya terasa tampak sepele tetapi kalau kita telaah lebih jauh ternyata cukup fundamental di dalam perjuangan buruh. Ini menyangkut masalah “senang” dan “tidak senang”.

Di dalam kehidupan manusia masalah senang atau tidak senang merupakan hal yang sudah lazim pada umumnya. Dari jaman purba hingga jaman modern, dari manusia tak berbaju hingga manusia berdasi. Tiap-tiap manusia selalu mengejar kesenangannya masing-masing dan tentu saja menjauhi semua ketidaksenangannya. Dan yang perlu di garisbawahi adalah kesenangan tersebut belum tentu sama bagi tiap-tiap individu. Ada yang senang melompat ada yang senang berdiri, ada yang senang berlari ada yang senang berjalan, ada yang senang bicara dan ada yang senang diam. Semua nya berbeda mengikuti kebutuhan dan tujuan dari masing-masing individu. Dari setiap jaman manusia selalu mengejar kesenangannya dengan segala upaya nya untuk baik itu untuk fisik maupun batin. Dan sekali lagi tentu saja menjauhi ketidaksenangannya.

Pursuit of happiness atau pengejaran kesenangan inilah, yang terus mendorong umat manusia dalam setiap jamannya secara keseluruhan untuk terus berkembang. Tetapi yang perlu diingat dengan seksama di dalam sejarah, masyarakat tidak bergerak dalam garis lurus, dimana seluruh lapisan masyarakat saling bahu-membahu mengejar kesenangan untuk kepentingan bersama. Sejak jaman perbudakan sepuluh ribu tahun yang lalu sampai sekarang, boleh dikatakan ada dua kelas di dalam masyarakat yang dalam pengejaran kesenangannya bertentangan secara tidak terdamaikan, yakni kelas yang berkuasa dan yang dikuasai: sang pemilik budak dan budak, tuan tanah dan petani, dan hari ini pemilik modal dan pekerja.

Apa yang menyenangkan bagi buruh tidaklah menyenangkan bagi pemilik modal, apa yang menyenangkan bagi kaum revolusionis tdiaklah menyenangkan bagi kaum reformis. Buruh senang bergaji tinggi, kapitalis senang berlaba tinggi. Revolusionis senang cara-cara kasar dan keras, reformis senang lobi-lobi berkedok demokrasi. Skenario sama-sama senang bagi semua kelas hanyalah mimpi, utopia bagi dua kelas yang berseteru untuk bisa berjalan bersama berdampingan. Tidak jarang kita mendengar para politisi reformis dan komentator politik pintar mengatakan bahwa mungkin tercapai sebuah masyarakat dimana buruh dan pemilik modal bergandengan tangan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sekali lagi itu hanyalah ilusi semu dan utopia belaka.

Yang paling fundamental dalam kejatuhan PKeI adalah kebijakan dalam perjuangan kelas. Perjuangan kelas tidak mengenal belas kasihan, kediktaktoran proletar itu keras dan tanpa ampun. Jika kita kembali pada tesis lenin, bahwa negara pada analisa terakhir adalah badan khusus orang-orang bersenjata. Maka kumpulkan kekuatan dan senjata untuk melakukan revolusi sosialisme tanpa ampun dengan mencongkel pemilik modal dari tempat duduknya. Jangan bertindak seperti kaum reformis yanng berilusi dalam parlemen borjuis untuk bisa memegang kekuasaan negara. Revolusi sosialisme bukanlah revolusi borjuis demokratik. Revolusi sosialisme bukanlah dengan merebut banyak-banyak kursi parlemen borjuis sehingga kaum proletar menjadi mayoritas dan berkuasa. Revolusi sosialisme adalah membentuk kediktaktoran proletat dan kediktaktoran proletat bukanlah pemerintahan rakyat yang mengganti personil dalam setiap lini pemerintahan secara perlahan-lahan. Memang benar jika kaum borjuis lebih sadar kelas daripada kaum proletar, bahkan lebih sadar daripada para pemimpin proletar itu sendiri. Kembalilah kepada Lenin kawan, Lenin dan Partai Bolshevik memenangkan tentara ke pihaknya bukan dengan manuver-manuver dangkal dan picik seperti itu, tetapi dengan mengorganisir kelas buruh, mendidik mereka dengan doktrin bahwa negara adalah badan khusus orang-orang bersenjata dan bahwa kekuasaan negara harus direbut secara revolusioner, bahwa negara borjuis harus dihancurkan karena buruh tidak bisa menggunakan negara borjuis sebagai alatnya, dan bahwa buruh harus membentuk negara barunya sendiri. Persepektif keliru yang diamini oleh para kaum proletar karena hasil perspektif reformis dari golongan birokrasi stalin yang membuat jatuh banyak partai-partai komunis di eDunia. PCeE spanyol salah satu partai komunis terbesar di eDunia pada masa lampau yang turut terjatuh dari kekuasaannya karena perspektif yang keliru ini. Dimana memang anggotanya kebanyakan merupakan stalinis garis keras. Kaum birokrasi stalinis yang memformulasikan pemikiran reformis ini ke dalam teori sosialisme di satu negeri. Karena tentu saja sesuai dengan kepentingan kaum birokrasi tersebut. Dan seketika hancur berkeping-keping ketika dihantam oleh realitas perjuangan kelas pada momen penentuan.

Salah satu kenyataan pahit yang harus kita terima sebagai kader PKeI adalah kita terbebani oleh sejarah masa lampau yang dipenuhi dengan cerita-cerita kejayaan dan euforia masa lampau. Hingga demoralisasi banyak menghinggapi kawan-kawan kita. Akan tetapi demoralisasi dan pengkhianatan kerap berjalan berdampingan, dimana di satu sisi demoralisasi terdapat sisi lain pengkhianatan di dalamnya. Dalam pergerakan kita selama satu tahun belakangan ini kecenderungannnya adalah pasang surut, bahkan sudah terlihat tanda-tanda kemunduran dalam pergerakan kita. Inilah mengapa kita sebagai kaum proletar harus memiliki pemahaman mengenai proses dialektika dari gerakan buruh. Banyak sekali kawan-kawan kita atau mantan kawan kita yang hanya bersandar pada romantisme perjuangan tanpa memahami betul materialisme dialektis. Menyaksikan perjuangan kelas yang berapi-api yang ada di sekitar mereka, lantas mereka tergerak untuk ikut berjuang. Dengan berapi-api mereka menceburkan diri mereka ke dalam gerakan dan mengorbankan hal-hal duniawi demi membela kepentingan kelas pekerja. Namun ketika gerakan mengalami kemunduran atau pukulan besar, atau tampaknya hanya berjalan di tempat, secepat itu juga api perjuangan mereka redup. Entah mereka-mereka ini jatuh ke dalam apati, atau jatuh ke dalam oportunisme dalam usaha mereka untuk mencari jalan pintas kepada kesenangan mereka. Dalam rentetan sejarah yang telah kita lalui, tidak sedikit kawan-kawan dari barisan kita yang lalu meninggalkan perjuangan karena patah semangat, atau bahkan menyebrang ke sisi yang lain. Sekali lagi saya tekankan demoralisasi dan pengkhianatan kerap berjalan bersandingan.

Banyak kawan kawan kita yang menyerah dan bahkan menyeberang ke sisi lain. Mereka menyerah bukan karena karakter mereka yang cacat, tetapi karena mereka tidak dilengkapi dengan pemahaman politik revolusioner akan gerak dialektika perjuangan buruh. Gerakan tidaklah bergerak dalam garis lurus. Ia bukanlah sesuatu yang bisa diciptakan dengan semangat belaka. Ia merefleksikan kondisi objektif yang ada, ekonomi, politik, dan sosial. Kita harus tahu kapan harus mundur, dan bagaimana untuk mundur. Momentum gerakan pada periode sebelumnya terkadang membuat kita kesulitan menginjak rem ketika periode selanjutnya tidak lagi kondusif untuk penyerangan, seperti halnya batu besar yang menggelinding akan sulit dihentikan dari jatuh ke jurang.

Pelajaran revolusioner tidaklah lengkap kalau tidak disertai dengan pengetahuan bagaimana mundur secara teratur. Lenin mengatakan bahwa “buruh harus menyadari bahwa kemenangan itu mustahil kecuali kalau kita belajar bagaimana menyerang dan mundur secara teratur.” Revolusi bukan berarti pemberontakan bersenjata yang avonturis untuk mendorong terjadinya revolusi. Revolusi tidak bisa diciptakan secara artifisial. Ia adalah hasil dari pertentangan-pertentangan antar berbagai kekuatan di dalam masyarakat, yang mencapai titik didihnya dan meledak. Tugas kader-kader buruh revolusioner adalah menyiapkan diri untuk menyambut momen tersebut, agar bisa mengarahkan ledakan revolusi ini ke arah kemenangan revolusi sosialis. Yang seharusnya dilakukan oleh gerakan proletar pada saat ini adalah mundur secara teratur, menyelamatkan sebanyak mungkin pasukan yang ada untuk lalu maju menyerang kembali ketika situasinya sudah kondusif lagi. Ingat kawan satu langkah mundur, seribu langkah siap menggempur.



Barisan buruh harus diberi pendidikan ekonomi politik untuk bisa menelaah medan perjuangan yang ada baik itu nasional maupun internasional dan tentu saja kondisi kekuatan mereka sendiri. Ini bukan hanya masalah logistik dan administrasi, tetapi juga masalah politik. Karena gerakan buruh adalah gerakan politik. Buruh bisa tahu kapan waktunya mundur secara teratur guna merapikan barisan mereka, dan mereka juga bisa paham bahwa pergerakan itu tidak berjalan lurus dan dipenuhi dengan pasang naik dan pasang surut, sehingga mereka tidak lantas mengalami demoralisasi dan mengambil jalan pintas oportunisme.

Penempaan politik ini membutuhkan kerja keras, terutama kerja menghancurkan kebiasaan-kebiasaan lama dan membangun kebiasaan-kebiasaan baru. Kebiasaan lama super-aktivisme yakni kecenderungan yang hanya ingin aksi dan aksi tanpa menyempatkan diri belajar teori, bahkan kecenderungan mencibir teori harus dihancurkan. Kebiasaan baru untuk membaca serta mengorganisasi lingkaran-lingkaran diskusi dan kelas-kelas ekopol harus dibangun. Teori bukanlah ranah kaum intelektual dan akademisi saja, tetapi harus dikuasai oleh kaum buruh. Ketika para tetua Sosialisme Marx, Engels, Lenin, Trotsky, Luxemburg menulis puluhan hingga ratusan buku, ini bukan untuk dijadikan bahan bacaan di kelas-kelas pendidikan formal, tetapi untuk jadi bacaan kaum buruh. Dengan mengutip perkataan Leon Trotsky: “Teori pada kenyataannya terdiri dari total pengalaman umat manusia ... Teori tidak lain adalah praktek yang dipertimbangkan dan digeneralisasi dengan tepat. Teori tidak menyangkal praktek, tetapi teori menyangkal pendekatan praktek yang serampangan, empiris, dan kasar. ... Supaya bisa mengevaluasi dengan benar kondisi-kondisi perjuangan, termasuk situasi kelas kita sendiri. "

Hanya lewat kekalahan lah kaum proletar bisa belajar bagaimana untuk menang. Hanya lewat kejatuhan lah kaum proletar bisa belajar untuk bangkit berdiri. “Yang terpenting bukanlah mereka yang meninggalkan kita, tetapi mereka yang tetap berada bersama kita dan mereka yang akan bergabung dengan kita di kemudian hari.”



Best Regards,

F13
Sekutu Debu