18 April 2013

Day 1,975, 19:29 Published in Indonesia Romania by M.A.D 88


Aku pernah, aku sedang, dan aku ingin, tetapi aku hanyalah keturunan seorang manusia yang telah diusir oleh Rabb-nya dari rumahnya, lalu menjadi musafir di dunia. Dan tidaklah ada tujuan seorang musafir, melainkan kembali ke rumahnya…

Dia terus berjalan, mencari, berlari, dan melangkah. Namun, terkadang musafir merasa lelah sehingga harus beristirahat. Maka singgahlah dia di sebuah perkampungan, di mana di sana dia bertemu dengan orang-orang baru. Bertemu dalam keadaan tidak saling kenal, bahkan mungkin saling mencurigai. Namun, seiring berjalannya waktu mereka mulai saling menegur, melempar senyum, berbicara, bercanda, sampai pada level yang membuat si musafir lupa bahwa dia adalah musafir. Terlena dengan tempat singgahnya yang sementara, yang fana…

Beruntung, pada suatu hari si musafir bertemu dengan musafir lainnya. Maka teringatlah dia dengan siapa dirinya, dengan rumahnya, dan tentunya dengan Rabb nya. Kembali dia membuka tasnya, mengeluarkan kumpulan surat dari Rabb nya, membaca, merenung, dan menangis. Maka bangkitlah dia untuk kembali melanjutkan perjelanannya. Ketika perbekalan telah disiapkan, ketika kaki telah siap melangkah, maka mulailah syubhat (keraguan) dan syahwat (hawa nafsu) menghalangi. Kenikmatan tempat singgah yang telah melemahkan semangat kembali teringat. Maka terjadilah perang dalam diri sendiri, dengan musuh yang tak tampak, dan dengan musuh yang tampak. Entah sampai kapan…

Dia akhirnya memaksa kakinya melangkah, padahal masih banyak kebingungan dan kebimbangan dalam hatinya, bahkan dia tak tahu jalan mana yang harus dia tempuh. Terus dia berjalan, dalam keadaan meraba-raba. Sampai akhirnya dia tertegun karena di hadapannya ada kabut tebal yang menutupi jalannya. Bodoh, dia memilih melangkah, merasa cukup berilmu untuk berjalan di tengah kebingungan, memaksa diri terhadap sesuatu di luar kemampuannya, sampai…

Langkahnya hilang, dia gagal menapakkan kakinya ke bumi karena ternyata dia berjalan ke jurang, dia berguling dan terus berguling sampai tubuhnya terhenti di dasar jurang. Maka dia berusaha untuk naik, tapi jurang itu terlalu terjal, sementara dirinya sangat lemah, ditambah kabut tebal yang ternyata belum hilang di atas sana. Dia kebingungan, tidak tahu harus berbuat apa…

Di saat dia termenung di dasar jurang, tiba-tiba dia teringat dengan perkataan hikmah:

“…seperti kaum yang meniti jalan kebenaran yang mereka kenal. Sedang asyik mereka dalam keadaan demikian, tiba-tiba mereka diterpa awan dan kegelapan. Mereka pun oleng ke kiri dan ke kanan, sehingga keliru mengambil jalan. Kita pun berhenti di mana terhenti, sampai Allah memberikan titik terang buat kita, sehingga kita bisa melihat jalan kita kembali, kita mengenalnya, dan kembali mengambil jalan itu…”

Maka dia berkata pada dirinya, “Wahai diriku, engkau telah memaksakan dirimu untuk berjalan dalam kegelapan dan inilah jadinya. Namun, sepertinya belum telat untuk kembali berjalan setelah kabut itu hilang.” Maka dia terus menanti sampai kabut itu hilang. Bersamaan dengan itu dia pun berlatih agar menjadi cukup kuat. Bila suatu saat kabut itu hilang, dia berharap sudah cukup kuat untuk mendaki jurang yang terjal itu…

Seberkas cahaya yang menyilaukan membuatnya terbangun setelah tertidur karena kelelahan berlatih. Cahaya? Ternyata kabut itu telah hilang, maka bergegas dia mengemasi barang-barangnya lalu mulai mencengkram dinding jurang. Mendaki dan mendaki, keringat mengucur dari seluruh tubuhnya, darah mengalir dari kedua telapak tangannya, dan air mata pun mengalir menahan rasa perih. Saat tenaga hampir habis maka dia pun terdiam sejenak sambil berkata pada dirinya, “Naik, naik, sedikit lagi, sabarlah, meskipun ini tidak semudah membalik telapak tangan, tetapi ini juga tidak sesulit menguras air di lautan.” Maka mulailah dia mendaki lagi, lagi dan lagi, dan selesai…

Ditatapnya cahaya itu, dan sekarang dia menatap dengan mata ketiganya sambil berkata, “Sekarang mata ketiga telah digunakan, jagalah, juga jaga dua yang lainnya. Sesungguhnya melihat yang diharamkan hanya akan menambah kesedihan dan luka di hati, sedangkan orang yang bahagia adalah yang menjaga pandangannya karena takut kepada Rabb nya…”



Meski belum mengerti semuanya, yang dia tahu terbaik yang dapat dilakukannya saat ini, itulah yang dia perbuat, untuk menyelesaikan misinya di dunia, satu hari, satu minggu, satu bulan, satu, sepuluh, seratus tahun, sampai dia kembali kepada Rabb nya. Dia tumbuh menjadi tunas baru, yang dulu bibitnya telah disemai, disiram sejuknya air hujan dan dihangatkan kilau mentari. Dua telah berselang dan tunas ketiga mulai tumbuh, berharap kelak akarnya menjadi yang terkokoh, daunnya menjadi yang terhijau, dan batangnya menjadi penopang kuat, karena kelak bunga-bunga yang indah juga yang akan bertahta di atasnya, insya Allah…

Sang musafir kembali berjalan, dengan keadaan yang lebih baik dari sebelumnya, karena dengan ketiga matanya kali ini dia bisa melihat jalan dengan jelas, alhamdulillah. Juga dengan hasil berlatihnya selama di dasar jurang membuatnya lebih kuat memegang ketiga pedangnya…
Dia terus berjalan, hingga sayup-sayup terdengar suara deburan ombak lautan. Laut? Saatnya berlayar, dengan kapal yang sangat sederhana, dan berbekal tiga pedang yang siap terhunus bersama. Mulai berlayar, menantang ujian di depan sana…

Dua telah diuji, dan yang ketiga dengan gelas-gelas kaca. Meski telah datang peringatan dari pembawa ancaman dan kabar gembira, tentang bahayanya fitnah gelas-gelas kaca, namun dia merasa bisa tegar dengan ketiga pedangnya, karena demikianlah dia telah terbiasa di dunia mereka sejak masa kecilnya, tanpa mempertimbangkan bahwa mereka pun punya rasa, sementara fitrahmu adalah lemah dengan tekanan perasaan berdosa, meskipun niatmu bukanlah seperti yang mereka duga, dan semoga ini bukanlah sekedar buruk sangka, hanya saja aku mendengar suara-suara sumbang di luar sana…

Dan yang terjadi, jika hanya empat pedang menyerang, niscaya akan dapat dipatahkan dengan tiga pedangnya. Namun begitu empat tertekan, maka puluhan bahkan ratusan ikut menyerang, dan demikianlah hukum alam, ikut campur atas nama persaudaraan, sebuah kebaikan yang kadang menyebalkan ketika melewati batasan, sampai…

Ah, kapalnya karam setelah rusak parah, ketiga pedangnya pun retak-retak hampir patah, sementara dia tenggelam lalu pingsan. Dan, dalam pingsannya pikirannya melayang ke alam bawah sadar, pada peristiwa di dasar jurang, lantas jiwanya berbisik lirih padanya…

“Wahai pemilik jiwa, meski di tempat yang berbeda, jatuhmu ini bukanlah untuk yang pertama, karena memang ujian untukmu akan tetap ada sepanjang nafasmu masih ada, maka bangkitlah wahai raga. Tak peduli berapa kali engkau jatuh, yang penting bagimu adalah bangkit dan bangit lagi! Ingatlah tentang latihan keras yang pernah dan hendaknya terus engkau lakukan, akankah semuanya sia-sia terkubur di dasar lautan? Bangun wahai pemilik jiwa! Bangun!”

Terlintas pula dalam pikirannya, tentang sebuah perdebatan panjang di antara ketiganya. Sudah, cukup! Andaikan engkau ungkapkan seribu alasan, niscaya akan aku datangkan seribu satu bantahannya, dan ini tidak akan berhenti. Dan, biarlah mereka berkata apa, karena mereka hanya sekedar komentar tanpa benar-benar peduli. Adapun yang terpenting bagi kita, tak bisakah kita berdamai, lagi???

Sampai akhirnya, matanya kembali silau dengan cahaya. Cahaya? Mana mungkin ada matahari di dasar laut seperti ini. Dan ketika dia benar-benar membuka matanya, terlihatlah sebuah mutiara putih yang sangat berkilauan yang ternyata cahayanyalah yang membangunkannya. Ingin tangannya mengambil mutiara itu, namun ketersedian udara membuat terbatasnya kekuatan, sementara insting bertahan hidupnya berkata lain, meski dia tak pandai berenang namun refleks ototnya bekerja, mendorong tubuhnya ke permukaan, menjauhi mutiara itu, mencari udara. Dan akhirnya untuk kedua kalinya dia berhasil bangkit, dari dasar laut, setelah dari dasar jurang sebelumnya…

Sejenak dia tertegun di tepi pantai, memikirkan apa yang telah, sedang, dan akan dilakukan. Cuti panjang ternyata bukan jawaban. Hingga diputuskan dia kembali ke daratan, untuk kembali mengumpulkan kekuatan, menyiapkan perbekalan, mencari teman, menempa ketiga pedang, dan merancang kapal yang lebih tahan hantam, kapal perang!

Bersambung, entah sampai kapan…



Terimakasih untuk karakter M D M (Semoga Allah menjagamu nak), bagaimanapun lebih nyaman dengan karakter asli 😃