[CereP - Thread] CAHAYA CINTA

Day 2,378, 21:16 Published in Indonesia Indonesia by Karlina Alkhatiri

CAHAYA CINTA
Kuharap nanti waktu yang akan menemukanmu....




“Assalamu’alaikum” ku ucapkan salam kepada kedua adikku.
“Wa’alaikum salam” sahut mereka serempak.
Senyum kuberikan kepada mereka yang menyambutku dengan riang. Segera kukeluarkan 3 potong roti yang baru saja kudapatkan dari pembagian laskar. Tak lupa wadah air yang ku isi penuh tadi di markas laskar, kukeluarkan pula dihadapan mereka. Sisa 3 potong roti yang lain kuletakkan di sudut dinding.
“Alhamdulillah” Syifa, adik terkecilku mengucapkan syukur.
“Jangan lupa baca do’a dulu sebelum makan dan minum” ku ingatkan Syifa.
“Baik kak” Syifa menyahut.
“Aku berangkat kak” adikku Farouq segera ingin beranjak pergi.
“Ini makanlah dulu” ku sodorkan sepotong roti padanya.
Farouq mengambil roti yang kusodorkan. Farouq kemudian membelahnya menjadi dua. Yang sebagian ia berikan kepada Syifa. Farouq melakukannya karena 2 hari yang lalu ia memergoki diriku di markas laskar tidak memakan apapun. Selama ini aku selalu mengatakan bahwa aku telah makan sepotong roti di markas laskar, setelah itu barulah aku pulang membawa roti pembagian laskar. Sejak 2 hari yang lalu Farouq tahu bahwa aku sering berbohong agar ia dan Syifa mendapat bagian roti lebih.

Awalnya Farouq sempat marah karena itu berarti aku sering berpuasa untuk mereka berdua. Tapi setelah aku menjelaskan sedikit demi sedikit dengan sabar, akhirnya Farouq mengerti.
“Makanlah yang banyak” Farouq berkata penuh kasih sayang.
“Kak Farouq mau ikut laskar lagi?” Syifa bertanya penuh cemas.
“Allah bersama kita” Farouq tersenyum sembari mengusap lembut kerudung adiknya.

Farouq segera bangkit berdiri. Sejenak ia memeriksa ketapelnya. Setelah yakin dengan senjatanya tersebut barulah ia mengalungkannya di lehernya lagi.
“Assalamu’alaikum” Farouq berangkat. Di dekat pintu keluar terlihat Farouq memunguti beberapa batu kecil sebelum ia tergesa menghilang di dinding dekat tikungan sana.

“Kak Fatimah tidak makan?” Syifa menyadarkanku dari memandang jalan berdebu yang baru saja dilalui Farouq. Ku ambil sepotong roti yang tersisa dan kuletakkan dihadapan Syifa. Setelah itu barulah ku ambil roti yang tadi Farouq sisakan.
“Kak Fatimah makan yang ini saja, tadi kakak sudah makan roti juga di markas. Syifa makannya pelan-pelan ya.”
“Iya kak”
Ku potong lagi roti yang hanya setengah tersebut. Saat Syifa tak memperhatikan, ku sembunyikan yang sepotong lagi di lengan bajuku yang panjang, agar nanti dapat ku makan setelah malam tiba. Sisa 3 potong roti didekat dinding memang kusengajakan untuk dimakan nanti oleh kedua adikku.

Namaku Fatimah. Umurku 15 tahun. Aku mempunyai dua orang adik, Farouq berumur 10 tahun. Syifa adik perempuan terkecilku berumur 6 tahun. 3 tahun yang lalu binatang terkutuk eisrael menginjakkan kaki kotor mereka di desaku. Hari itu adalah hari yang terhitam untukku. Ayahku yang seorang anggota laskar ditembak mati dihadapanku. Saat aku menangisi jasad ayahku, kulihat pula para binantang terkutuk itu menyeret ibuku. Ibuku meronta hingga terlepas kerudungnya. Aku ingat benar itu adalah pertama kalinya aku melihat rambut ibuku yang panjang terurai. Saat kusadar ayah hanya terdiam saja, segera aku berlari menghampiri ibu yang diseret binatang terkutuk itu.

Belum juga aku berhasil menggapai tangan ibu yang terbuka, salah satu binatang terkutuk menjamah tubuhku yang kecil. Tanpa daya tubuhku segera dilemparkan jauh kebelakang. Sambil menahan sakit ditubuhku, segera ku coba untuk bangkit lagi. Tapi ternyata binatang terkutuk itu telah menaiki truk dan segera berlari pergi meninggalkan desaku.

Ku coba untuk terus mengejar dengan sepasang kakiku yang kecil yang tertatih menahan sakit ditubuhku. Tapi apalah daya seorang gadis kecil sepertiku? Akhirnya aku hanya dapat meraung marah dijalanan berdebu melihat kepergian ibuku dibawa binatang terkutuk itu.

Setelah habis air mataku meratapi nasibku hari itu segera kubalikkan tubuhku ke rumah. Rumah yang hanya berdinding setengah yang kutinggali sejak kecil itupun kini bertambah terbuka. Binatang terkutuk telah menghancurkan bagian depannya. Pintu pun sudah tak berbentuk pula. Dinding yang hanya separuh pun tambah hancur pula.

Segera ku berlari kebagian belakang dimana tadi aku sempat bersembunyi dengan kedua adikku. Alhamdullilah mereka masih berada disana dalam keadaan bernafas. Segera kurangkul kedua adikku. Mereka pun memelukku erat menumpahkan airmata mereka. Aku yang sudah menghabiskan airmataku tadi sudah tak ingin lagi menangis. Semenjak itu aku hanya berusaha untuk bertahan hidup untuk kedua adikku.

Hari-hari berikutnya hanya kuhabiskan untuk menjaga kehidupan kami saja. Beruntung masih ada beberapa anggota laskar yang selamat di desa kami. Mereka kembali mengontak anggota laskar yang lain untuk membangun kembali markas. Dari merekalah kami mendapat bantuan untuk bertahan hidup.


Farouq pun walau kini baru berumur 10 tahun tapi ia telah sering mengikuti laskar. Terkadang Farouq pergi bersama teman-teman sebayanya ke beberapa pos eisrael untuk “berperang” menggunakan ketapel dan batu saja. Tentu saja binatang terkutuk eisrael tak berani “berperang” langsung dengan laskar bocah-bocah kecil ini. Binatang terkutuk itu paling hanya berani berteriak-teriak mengusir laskar kecil kami. Sesekali binatang terkutuk itu menembakkan senjata laknatnya ke udara untuk menakuti laskar kecil kami.

Aku selalu ingat nasihat ibu sehari sebelum ibu pergi diseret binatang terkutuk itu, ibu berkata “Allah mendengar setiap do’a, tapi terkadang jawaban untuk do’a kita adalah ‘Tidak’. Dan Allah memberikan apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan”.