[Cerbung PKeI] botakodog - Kembali Pulang

Day 1,162, 08:51 Published in Indonesia Indonesia by botakodog

Memeriahkan lomba Cerbung PKeI, maka saya menulis cerita ini. Cerita sebelumnya dari Dion dapat di lihat di sini.

Selamat membaca




Hampir dua bulan aku meninggalkan gedung merah untuk bergabung dengan beberapa anggota Internationale menuju Pulau di Pasifik Selatan. Rencana awal begitu matang, namun di tengah jalan aku tertinggal oleh Internationale dan akhirnya aku tersesat. Sudah 3 hari aku tak tahu ada di mana. Hanya berbekal roti seadanya dan berjalan kaki kususuri padang rumput itu. Tak ada seorang pun yang aku temui di padang rumput nan hijau itu.

"Ah aku lelah", ujarku. Kusandarkan tubuhku yang lemah ini ke sebuah pohon oak yang cukup rindang. Aku sedih telah meninggalkan Gedung Merah, tempat di mana aku di didik dan bertemu eKeluargaku. Aku rindu suasana riuh gedung tua itu. Kendati aku bukan siapa-siapa di sana, tapi mereka menerimaku sebagai eKeluarga. Kami hidup sama rasa sama rata.

Rasa lelah ini akhirnya menguasaiku..aku terlelap...

Tiba-tiba kudengar suara wanita berbisik di telingaku. "Hey you, r you okay? what r you doin here ?', bisiknya. Seketika aku langsung berdiri, kuambil belati perak dari kantong bajuku dan ku acungkan ke wanita itu untuk menjaga diriku.Ia hanya tersenyum. Satu hal yang membuatku menurunkan belati perak ku adalah senyumnya. Senyumnya yang amat tulus. Ia menyodorkan sebuah botol air kepadaku. "Drink it, your body need it", katanya. Rasa haus di tenggorokanku membuat aku mengambil botol itu dan meminumnya. Kami akhirnya saling berbicara di bawah pohon oak itu.

Kuceritakan kisahku bagaimana aku bisa sampai di sini. Belakangan aku tahu kalau wanita itu bernama Angela, seorang penggembala yang sedang mencari rumput di sekitar situ untuk ternaknya. Sampai akhirnya dia menawarkan dirinya untuk mengantarku ke kota. Aku ragu menerima tawarannya. Namun, kupikir tak ada salahnya juga menerima tawaran itu, toh dulu aku juga pernah kenal dengan peternak yang sering datang ke Gedung Merah dengan nama calon_Rakyat_Jelata dan tidak terlalu buruk.

Singkat cerita akhirnya aku sampai ke kota dengan menumpang gerobak yang di tarik oleh seekor sapi. Kota itu adalah sebuah kota kecil. Namun di sana ada sebuah terminal kecil dengan bus untuk menuju ke Auckland, New Zealand. Dan akhirnya aku berpisah dengan Angela. Ku ucapkan terima kasihku kepadanya. Aku tahu bahwa ucapan terima kasih tidaklah cukup. Ku ambil sebuah emblem emas dengan lambang Internationale dari ransel-ku. Ku berikan kepadanya sebagai balas budiku.

Lambaian tangan Angela mengiringi keberangkatan mini bus yang aku tumpangi. Andai banyak orang sebaik dia, aku pikir tidak akan ada perang dimana-mana seperti ini. Sesampainya di Auckland, aku langsung menuju bandara. Aku bingung, apakah akan kembali ke markas Internationale atau kembali ke Gedung Merah. Di sudut bandara itu aku terduduk diam. Namun, ada satu hal yang menarik perhatianku, yaitu koran internasional yang di gantung di sebuah etalase toko. Sekilas kubaca tulisan PKeI. Aku dekati kios itu dan benar saja, di halaman pertama ada berita tentang Gedung Merah. Di beritakan bahwa beberapa kamerad Gedung Merah telah menghilang secara misterius. Korban yang terakhir adalah Strangers. Aku tahu ada yang tidak beres di Gedung Merah, ku putuskan untuk pulang. Pulang ke gedung tua yang kelam namun bersahabat itu.

Pesawatku akhirnya take-off. Di dalam pesawat, pikiranku dipenuhi oleh kemungkinan-kemungkinan apa yang terjadi di Gedung Merah itu. Menghilangnya nuge, sjahrir, serta tewasnya Strangers jelas bukanlah hal yang biasa. Setelah beberapa jam mengudara, akhirnya pesawat pun mendarat di Jakarta. Tak sabar ingin kulihat lagi Gedung Merah. Langsung saja aku naik taksi dan menuju ke sana. Di tengah jalan kusuruh supir taksi untuk ke sebuah toko senjata langgananku. Ku
isi ranselku dengan 2 pistol dan bebarapa peluru. Sedangkan satu pistol lagi kuselipkan di balik bajuku bersama dua granat tangan. Satu hal yang diucapkan pemilik toko itu hanyalah, "Jangan kembali ke Gedung Merah, berbahaya". Aku abaikan ucapannya dan membayar semua yang aku beli. Aku kembali ke taksi yang tadi. Aku sangat senang bisa kembali ke tempat itu. Namun tiba-tiba taksiku berhenti. Kami di hadang oleh tiga orang bersenjata dengan baju merah dan celana putih. "Pasti ada yang gak beres, biar saya saja yang turun pak", ucapku pada supir tersebut. Dua dari tiga orang tersebut langsung menginterogasiku. Mereka bertanya tentang siapa aku dan kemana tujuanku. Sedangkan seorang lagi berteriak kepada supir taksi untuk segera pergi dari sini sambil menodongkan senjatanya. Supir taksi yang aku tumpangi langsung memutar balik mobilnya dan pergi.

"Shit, sekarang aku harus meladeni 3 orang maho ga jelas ini", pikirku dalam hati. Aku tak tau sama sekali siapa ketiga orang ini.

"AYO JAWAB !!.. SIAPA NAMA LO DAN MAU KEMANA LO SAMPE LEWAT SINI ??!!", teriaknya. Aku hanya tersenyum. Hal itu membuat salah satu dari mereka marah. Dan menodongkan pistol 9mm ke arah dahiku.

Suasana hening. Aku berpikir aku pasti mati saat ini. Namun, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara baku tembak. Aku yakin sekali suara itu dari Gedung Merah. "Apa yang terjadi di sana ?", ucapku berusaha tetap tenang dan sopan. "Bukan urusanmu",ucap salah seorang dari mereka.
Aku ingat di ranselku ada sebuah bom dengan daya ledak yang lumayan untuk membunuh pemakainya. Bom itu kudapat dari Internationale untuk melakukan bunuh diri jika tertangkap musuh dan dimintai informasi rahasia. "Ok, ini data diri saya ada di dalam tas ini, semua yang ingin kalian ketahui ada di sini", ucapku sambil melepas tasku dan berusaha membukanya. Dengan cepat ku set bom tersebut agar menyala, tepat sebelum salah satu dari mereka mengambil secara paksa tas itu dari tanganku. Aku berpura-pura tidak memberikan tas itu. Temannya yang satu lagi ikut menarik tas itu dan akhirnya kulepas tanganku dari tas itu, hingga mereka berdua terhuyung ke belakang. Melihat itu seorang lagi langsung memukulkan pistolnya ke wajahku hingga aku terjatuh ke belakang. Darah mengalir dari dahiku. Tapi pistol itu masih tetap diarahkan ke wajahku.

Dua orang yang memeriksa tas ku mengambil sebuah passpor. Dan mereka tertawa. "Jadi lo botakodog hah? hhahha", ujarnya. Belum selesai tawa dari orang itu, meledaklah bom dari dalam tas ku..

DUUUAARR .

Aku melompat ke belakang dan sekilas kulihat orang yang menodongkan pistolnya terhuyung. Aku lari diiringi tembakan dari belakangku. Ku balas seadanya dengan pistolku. Aku berlari menuju pepohonan agar mereka sulit melihatku lantaran hari mulai gelap. Aku terus berlari sampai akhirnya aku tau mereka tidak mengejarku lagi. Di balik gelapnya malam karena sinar bulan tertutup oleh pepohonan, aku mengendap-endap menuju Gedung Merah. Suara tembakan-tembakan itu makin jelas terdengar dari Gedung Merah. Dan kini kulihat Gedung Merah. Gedung tua itu agak berbeda. Beberapa orang dengan pakaian sama dengan tiga orang yang tadi menghadangku terlihat menjaga gedung itu. Ku isi pistolku sampai penuh. Tujuh peluru dan 2 buah granat-tangan. Hanya itu yang aku punya untuk melumpuhkan sekitar 5 orang itu. Harus cukup pikirku.



Kulemparkan sebuah granat ke lima orang yang berjaga itu. Dua orang dari mereka langsung terpental. Tiga orang lagi langsung menembakan ak-47 nya ke pepohonan tempaku berada. Namun karen gelap, mereka tidak tahu posisiku. Ku tembak salah satu dari mereka tepat di dada kirinya. Langsung ku berpindah posisi. Karena mereka langsung memberondong tempatku tadi dengan peluru. Ku tembakan lagi peluruku, kemudian berpindah tempat lagi. Kini tinggal satu lawan satu. Ku berlari menuju Gedung itu dari balik pepohonan sambil ku tembakan pistolku ke arah penjaga itu. Aku berhenti sambil melihat penjaga itu terjatuh.

Namun, suara baku tembak masih terdengar dari dalam gedung. Pintu Gedung Merah yang klasik dan megah itu terbuka setengah. Ku lihat beberapa orang dengan seragam merah dan celana putih sedang baku tembak dengan orang yang masih aku kenali sebagai kamerad Gedung Merah, yaitu SetsunaX alias boncos. Tak sedikitpun kulihat rasa takut dari boncos menghadapi lima orang sekaligus. Ku ambil granat tangan yang masih tersisa, dan kulemparkan ke arah lima orang itu.

"AWAAASSSS !!", aku berteriak. DUARRR !! Granat itu meledak dan membuat lima orang itu berjatuhan. Dengan santai boncos menembaki lima orang tersebut. Dari ambang pintu kulihat di sudut lain masih ada baku tembak antara kamerad dan kameradewi melawan pasukan berbaju merah bercelana putih. Aku masuk ke dalam Gedung Merah. Dan membantu melawan sebisaku. Satu per satu tentara berbaju merah itu berjatuhan. Sampai akhirnya tinggal satu orang yang mencoba lari menuju pintu. Sutan, yang melihat itu langsung mengarahkan ak-47 ke tentara yang mencoba lari tersebut. Namun boncos melarangnya. "Biarkan cecurut itu pergi, biarkan dia beri tau itu mereka punya bos siapa kita sesungguhnya", ucap boncos pada sutan yang diiringi dengan turunnya senjata sutan.

Ruangan itu hancur. Ku lihat darah, mayat, dan serpihan bangunan ada di mana-mana. Meja dan kursi sudah tidak ada yang berada di posisi yang benar. Bukan dekorasi yang bagus untuk ku yang baru kembali pulang. Tapi aku tetap senang bisa kembali lagi ke tempat ini. Langsung ku bombardir kamerad yang ada dengan berbagai pertanyaan tentang apa yang terjadi. Namun bukan jawaban yang aku terima, mereka semua diam, mereka sama tidak mengertinya seperti aku. Kemudian Dion berbicara, "kemarin Dendi Uzumaki juga tewas". Aku makin bingung dengan apa yang terjadi.

Para kamerad dan kameradewi memberi ucapan selamat datang kembali kepadaku. Aku hanya bisa tersenyum. Kembali kurasakan kehangatan Gedung Merah di tengah kehancuran fisik bangunan ini. Di tengah-tengah obrolan kami, terdengar suara sepeda motor disusul langkah kaki yang agak berat dari luar gedung. Seketika itu juga para kamerad kembali berposisi siap tempur. Senjata mereka acungkan ke arah pintu utama. Dan munculah sosok itu. Sosok yang membuat kami semua kaget. Sosok gemuk dengan senyum khasnya. Sosok yang baru saja kudengar telah tewas.

Dendi_Uzumaki berdiri di pintu. Dengan beberapa balutan perban di tubuhnya.

Hantu kah? Jin kah? Atau mata-mata yang sedang menyamar?

"Dua hari yang panjang buatku", ujar Dendi. Kami semua masih tidak percaya apa yang kami lihat. Bagaimana bisa orang yang kemarin kami kuburkan kini berdiri di pintu Gedung Merah.

"StephanusN yang merencanakan ini semua",lanjut Dendi datar. Semua mata kini tertuju ke arah StephanusN. Kami semua penasaran apa yang dimaksud Dendi.

StephanusN tersenyum. Namun pandangan kami tak lepas dari dirinya. Sejuta pertanyaan ada di benak kami semua.




Salam hangat dari kiri


=botakodog=