Kampung Pocong

Day 4,442, 05:21 Published in Indonesia Russia by Totem Wolf

Jangan pernah membaca cerita di sini sendirian, kadang 'mereka' gak hanya sekadar hadir dalam cerita..


Diambil dari cerita brii

Banyak pengalaman seram yang pernah gw alami sejak kecil sampai detik ini. Semuanya memberikan hikmah yang gak ternilai.

Pengalaman yang cukup membuat gw menghargai perbedaan dari setiap "sisi" dimensi.

Salah satunya akan gw ceritakan malam ini, di #briistories.
"Beneran Brii, gw udah sering denger kalo daerah itu super angker. Banyak kejadian seram, apa lagi ada satu rumah yang katanya gak berpenghuni. Kita harus ke sana, aman kok, tenang aja, gw udah kenal sama pak RT dan hansipnya, tinggal dateng aja."

Sambil terus memainkan rambut gondrong acak-acakannya, bang kopral sangat bersemangat menjelaskan perihal satu daerah yang katanya sangat angker.

Waktu itu sekitaran tahun 2008, di meja makan #rumahteteh, gw duduk bertiga bareng Nando dan Bang Kopral, membahas satu topik yang cukup bisa menimbulkan penasaran gw.

"Masih di sekitaran Cimahi, Leuwi Gajah, tapi udah agak ke selatan, ke arah Batu Jajar. Kampung kecil, masih sepi banget, baru ada satu komplek besar yang berdiri. Nah, kampung ini ada di belakang komplek itu."

Sebagian besar warganya udah sering lihat hal yang di luar nalar, banyak kejadian seram gila. Ngeri pokoknya."

Begitu kata Bang Kopral.

Beliau ini om nya Rudi, teman kuliah yang tinggalnya persis di depan #rumahteteh. Tapi walaupun statusnya "Om", bang kopral belum terlalu tua, waktu itu umurnya masih awal 30an.

·

Kerja di Jakarta, rumah ortu di Bandung, beberapa kali dalam satu bulan dia pulang, dan kalau di Bandung lebih banyak menghabiskan waktu dengan nongkrong bareng anak-anak kost #rumahteteh.


Cukup lama kami diam berdiri di depan pintu, memperhatikan isi rumah ketika pintu sudah terbuka penuh, hembusan udara dari dalam yang mengalir keluar membawa aroma pengap berdebu.

Pertama yang kami lihat sepertinya ruang tamu, kosong tanpa perabotan, hanya gelap yang ada.

Di ujung kanan ada pintu dalam keadaan terbuka, sepertinya merupakan akses ruang tamu menuju ruang keluarga atau ruang tengah.

Perlahan kami memasuki rumah, dengan lampu senter di tangan masing-masing, lampu senter yang memang sudah dipersiapkan sejak berangkat tadi.

Langkah sepatu menginjak lantai penuh debu menimbulkan bunyi khas, hanya itu saja suara yang terdengar.

Ketika sudah sampai di pintu kedua, pintu menuju ruang tengah, sekali lagi kami berhenti, karena lagi-lagi terdengar suara pintu terbuka, suara yang sepertinya bersumber dari lantai atas.

“Bang, kayaknya cukup deh, ini rumah ngerinya gak asik.” Sekali lagi gw coba untuk menggoyahkan pendirian Bang Kopral, tapi sekali lagi juga hanya ucapan “Sebentar lagi Brii..” yang keluar dari mulutnya.

Lanjut melangkah, sekarang kami sudah berada beberapa meter di dalam ruang tamu.

Cahaya lampu senter menyisir setiap sudut ruangan, menyentuh seluruh bagian yang berselimut gelap, debu-debu kecil terlihat beterbangan, menambah cekam suasana.

Di sebelah kiri, gw melihat tangga, tangga yang di tengahnya berbelok ke kanan, menuju lantai dua.

Dari ketebalan debu yang gw lihat di setiap anak tangga, sepertinya sudah sangat lama gak ada orang yang melangkah menginjaknya untuk ke atas.

Kemudian kami lanjut ke belakang.

Di ujung sebelah kanan ruang tengah, ada satu ruang lagi yang aksesnya tanpa pintu, sepertinya diperuntukkan sebagai ruang makan, karena di sebelah kirinya ada ruangan yang di dalamnya terlihat ada wastafel tua, sepertinya itu dapur.

Ruang makan dan dapur hanya dipisahkan oleh dinding berbentuk meja setinggi perut orang dewasa, membentuk seperti meja Bar panjang.

Sungguh benar ini merupakan rumah yang meyeramkan, hawanya sangat gak enak, di beberapa bagian kami merasakan udara yang hangat cenderung panas.

“Braakk..!!!”

Kaget, tiba-tiba terdengar ada suara pintu dibanting, di lantai atas. Jantung gw sejenak berhenti berdetak, terkejut, ketakutan.

“Cuekin aja Brii, kita lanjut ke belakang.” Ucap Bang Kopral.

Gak bisa apa-apa, gw hanya pasrah untuk terus ikut ke mana Bang kopral melangkah.


Di ujung belakang, sebelah dapur, kami berdiri di depan jendela kaca yang cukup besar. Jendela berdebu, dari situ kami dapat melihat halaman belakang.

Ketika sampai di luar, gak buang-buang waktu lagi, kami terus berjalan menuju mobil.

"Gila, seru abis, ada pocooong Briiii, dua!!"

Ucap bang kopral sambil suaranya menahan supaya gak teriak, setelah kami sudah berada di dalam mobil.

Begitulah beliau, selalu kelihatan senang kalau misinya berhasil. Sementara gw masih shock, kaget, nafas tertahan, memikiran kejadian yang baru aja terjadi.

Satu situasi yang menyeramkan dan mencekam, dalam hati gw berkata kalau gak akan melakukan kegiatan ini lagi, kapok.

"Kita pulang ya Bang."

"Yuk Brii."

Lalu gw coba untuk menyalakan mesin mobil, dan berhasil.

Setelah mesin hidup, gw menyalakan lampu, saat itulah mata gw tertarik untuk melihat kaca spion dalam.

Kembali gw terdiam, lagi-lagi nafas tertahan..

Ada pocong di belakang, tapi bukan di dalam mobil.

Dibantu penerangan lampu belakang, gw melihat pocong berdiri beberapa meter di belakang.

"Bang, di belakang ada pocong."

Sontak bang kopral menoleh ke belakang.

"Cepetan jalan brii.."

Dalam ketakutan gw injak pedal gas perlahan, meninggalkan tempat angker itu, meninggalkan rumah seram itu.

Belum selesai..

Dalam perjalanan menuju jalan besar, sekali lagi kami melihat pocong berdiri di pinggir jalan, hanya beberapa meter dari lintasan mobil. Dia terus diam sampai kami benar-benar melintas lewat di depannya.

Gw berdoa terus dalam hati, berharap cepat sampai di keramaian dengan selamat.

Beberapa menit kemudian, akhirnya kami sampai di jalan besar, daerah yang sudah gak seram lagi.

Berakhir juga malam yang mencekam itu.

***

Besoknya, bang kopral kembali datang ke rumah Pak Rt yang kami kunjungi malam sebelumnya, pergi sendirian, gw gak ikut. Mau bilang terima kasih, dan menceritakan hal-hal yang kami temui di malam semalam.

Menurut bang kopral, Pak RT malah ketawa setelah mendengar cerita dia.

"Iya, semalam saya lupa kasih tau, kalau memang di daerah ini sering ada penampakan pocong. Sudah banyak warga yang lihat penampakannya. Makanya, ada sebagian warga luar yang menyebut kampung ini dengan sebutan kampung pocong."

Begitu katanya.

Pantesan..

***

Jangan pernah nanya daerah mana persisnya, gw gak akan kasih tau di sini. 😉

Sekian cerita pengalaman gw malam ini, sampai jumpa minggu depan, tetap sehat supaya bisa terus merinding bareng.

Met bobo, semoga mimpi indah..

Salam
~Brii~