Analisis Keadaan Ekonomi Makro eIndonesia (November 2019)

Day 4,380, 01:19 Published in Indonesia Indonesia by S O E D I R M A N

Hai eIndonesia.

Setelah perang yang cukup melelahkan dengan China, Pemerintah Indonesia bulan-bulan terakhir ini sedang memutuskan untuk berbenah dan memulihkan diri lagi. Pemulihan diri tersebut dilakukan baik secara mikro, yaitu oleh tiap pemain, dan secara makro, yaitu oleh Pemerintah eIndonesia itu sendiri.

Berkenaan dengan pemulihan yang dilakukan oleh Pemerintah, yang terjadi adalah anggaran negara bukannya bertambah tapi malah selalu defisit. Artikel ini tidak akan mempermasalahkan pengeluaran yang dilakukan pemerintah, melainkan menyoroti pemasukan negara yang didapatkan terutama dari pajak. Saya coba untuk menganalisis keadaan ekonomi Indonesia sehingga kita bisa mendapat gambaran umumnya dan mengetahui kekurangan dan potensi yang mungkin timbul.



Metode


Untuk mengetahui keadaan ekonomi Indonesia, saya mengambil data GDP dan penerimaan pajak negara sejak Januari 2019. Data GDP diambil untuk mengukur produksi dalam negeri, terutama produksi food. Produksi food menjadi sorotan karena produk unggulan Indonesia adalah food, dimana Indonesia memiliki natural resources food +25% di Java, juga ditambah fokus pemerintah untuk bekerja keras mencari konsesi food hingga akhirnya didapat dari Belarus +20%.

Data penerimaan pajak negara tentunya diambil untuk mengetahui secara riil berapa dana yang masuk ke treasury negara. Pajak-pajak yang dijadikan perhitungan berupa pajak Work as Manager (WaM), pajak VAT/PPN, pajak gaji karyawan, dan pajak impor. Pajak dari medali (FF, Mercenary, dan TP) tidak dimasukkan karena jumlahnya terlalu bergejolak, pemasukan dari donasi juga tidak dimasukkan karena tidak selalu ada.

Data yang akan ditampilkan di artikel ini bukanlah data mentah setiap harinya, melainkan gambaran umum saja. Untuk memberi perspektif, saya membuat perbandingan pemasukan Indonesia dengan negara lain, yaitu Turki. Turki saya pilih karena saat data diambil merupakan negara dengan GDP food terbesar di eDunia, sehingga bisa dibandingkan dengan Indonesia yang sedang fokus pada pengembangan bonus food. Saya memilih membandingkan Indo dengan GDP food terbesar di dunia agar supaya kita bisa punya gambaran kekurangan kita dan semoga pemerintah makin termotivasi untuk mencari konsesi lagi.

Karena data di halaman ekonomi negara eRepublik hanya menunjukkan data 2 bulan terakhir, maka saya menggunakan erepbox untuk mengetahui data GDP dan Penerimaan Pajak untuk keseluruhan tahun 2019.



GDP


Dalam eRepublik, GDP (Gross Domestic Product) adalah ukuran yang menunjukkan total hasil produksi suatu negara. Produksi yang dihitung berupa barang jadi, yaitu food, weapon, house, dan aircraft weapon. Cara menghitungnya adalah:

GDP = Jumlah barang yang diproduksi * harga rata-rata

Apakah Indo termasuk negara kaya? Secara sumber daya alami (food), kita cuma punya +25% bonus food di Java, sisanya konsesi sebesar +20%. Sedangkan Turki sumber daya food yang dimiliki di Southeastern Anatolia saja sudah +70%, bila ditambah bonus dari konsesi maka bonus produksi food Turki sudah +100%.

Lalu apabila perbedaan tersebut diterjemahkan ke dalam sebuah grafik, maka kita bisa melihat sebagai berikut:




Grafiknya susah dibaca karena skalanya tidak sama. Kalau dilihat sekilas sepertinya Indonesia memiliki GDP lebih tinggi, tapi sebenarnya justru sebaliknya.

Daripada pembahasannya terlalu panjang, kita akan coba fokus pada GDP food saja. Kalau dilihat pola grafik di atas, terlihat bahwa GDP food Indonesia dan Turki memiliki tren peningkatan yang sama sejak kisaran bulan Oktober. Jadi untuk perbandingan kita coba ambil sampel random sebelum bulan Oktober di 17 Juni dan Setelah bulan Oktober di 3 November.

GDP food 17 Juni:
Indo: 112.086
Turk: 693.740

GDP food 3 November:
Indo: 164.481
Turk: 2.545.160

Indonesia memiliki GDP yang meningkat sejak bulan Oktober dikarenakan konsesi baru dengan Belarus sebesar +20%. Semenjak konsesi tersebut GDP Indonesia naik kurang lebih 46%.
Sedangkan Turki juga memiliki GDP yang meningkat pesat sejak direbut nya kembali region Central Anatolia yang memiliki bonus +20%. Sejak itu GDP Turki meningkat pesat kurang lebih 266%.

Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa Indonesia kurang bisa memanfaatkan penambahan bonus tersebut sebagaimana Turki yang mampu melipatgandakan GDP nya dengan penambahan bonus yang sama.

Kenapa bisa seperti itu? Ada berbagai faktor yang bisa diduga menjadi penyebabnya:
1. Biaya relokasi yang mahal. Kemungkinan banyak pengusaha food yang enggan memindahkan pabrik foodnya karena biaya yang mahal. Mungkin mereka mau kalau pemerintah bisa menjamin kestabilan.
2. Kestabilan konsesi yang kurang. Pemerintah belum bisa menjamin apakah perjanjian konsesi itu masih bisa berjalan dalam beberapa bulan/tahun kedepan. Hal tersebut tentu membuat pengusaha urung untuk memindahkan kompeninya.
3. Bonus yang belum maksimal. Turki bisa memiliki peningkatan produksi food yang tinggi karena mereka juga mempunyai total bonus 100%, jadi orang non Turki pun juga pasti mau memindahkan produksinya ke Turki. Kemungkinan kalau Indonesia bisa meningkatkan bonus hingga 100% maka peningkatan produksi food akan meningkat drastis juga.
4. Indo tidak punya banyak produsen food. Ini juga bisa jadi kemungkinan. Dengan 4000 lebih penduduk kemungkinan yang benar-benar aktif dan benar-benar manusia hanyalah sekian ratus saja. Sebagian besar tidak WaM di pabrik food sehingga penyumbang GDP hanyalah sekian ratus orang itu saja dari 4000 orang lebih.



Penerimaan Pajak


Setelah mengetahui gambaran GDP Indonesia, kita akan melihat penerimaan riil negara yang masuk ke treasury. Data yang ditampilkan adalah penerimaan dari pajak WaM, VAT, Impor, dan Pajak Karyawan. Walaupun pembahasan GDP di atas kita hanya membahas food, di bagian ini penerimaan yang dibahas adalah penerimaan secara keseluruhan dari semua produk.

Langsung saja kita bandingkan penerimaan pajak dari WaM:




Pendapatan Indonesia dari WaM cukup naik turun, tapi kalau dilihat rata-rata dalam tahun 2019 ini pendapatan pajak dari WaM berada di kisaran 30.000-50.000 IDR per harinya. Sayangnya, setelah Indonesia mendapat konsesi baru pendapatan justru masih di bawah 40.000 IDR, belum mencapai level bulan Juli-Agustus di kisaran 40.000-50.000 IDR.

Pendapatan Turki dari WaM cukup stabil di kisaran 150.000-250.000 TRY per hari, dengan beberapa pengecualian di hari-hari tertentu. Setelah Turki mendapatkan kembali Central Anatolia, terjadi peningkatan pendapatan pajak WaM sedikit hingga bisa mencapai kisaran 200.000-300.000 TRY.

Dengan besar pajak yang sama di 1%, terdapat fakta yang menarik jika data di atas dibandingkan dengan data GDP yang sudah dibahas. GDP food Indonesia per November hanya berada di kisaran 6,5% dari GDP food Turki, tapi pendapatan pajak WaM Indonesia ada di kisaran 13% dari pendapatan pajak WaM Turki. Walaupun sekilas kelihatannya hanya selisih sedikit, tapi seharusnya selisihnya tidak sebesar itu. Padahal, kita belum memasukkan perbandingan GDP weapon yang seharusnya membuat selisih pendapatan pajak lebih banyak.

Hanya satu hal yang dapat menyebabkan hal tersebut, yaitu Indonesia tidak kekurangan pengusaha WaM, melainkan Indo punya banyak sekali pengusaha WaM. Hanya saja sebagian besar dari mereka meletakkan pabriknya di luar negeri. Perlu diketahui bahwa penerimaan pajak WaM 80% masuk ke negara lokasi pabrik dan 20% masuk ke negara asal.

Jadi, yang menjadi dugaan saya adalah sebagian besar pendapatan pajak Indo dari WaM berasal dari 20% itu. Bisa dibayangkan kalau mayoritas pengusaha tersebut memindahkan pabriknya kembali ke Indonesia, pendapaatan pajak dari WaM bisa meningkat hingga 2-3 kali lipat atau bahkan lebih.

Sebelum kita bahas lebih lanjut, kita akan melihat pendapatan pajak dari VAT, impor, dan gaji karyawan.




Ada fakta mengejutkan lain dari data di atas. Ternyata pendapatan Indonesia dari pajak VAT, impor, dan gaji karyawan setara dan bahkan lebih besar dari Turki. Kita coba ambil sampel random di tanggal 6 Juli.

Indonesia
VAT: 23.727
Impor: 3.798
Gaji: 9.364

Turki
VAT: 13.388
Impor: 9.056
Gaji: 3.602

Dari data di atas, maka dapat disimpulkan bahwa jumlah penduduk Indonesia terbanyak di eDunia tidak sepenuhnya omong kosong. Mungkin memang sebagian besar bukan pemain aktif, tapi yang jelas memang kita mempunyai banyak pemain aktif dibandingkan negara lain. Karena data di atas menunjukkan bahwa walaupun ekonomi kita jauh lebih lemah dari Turki, tapi aktivitas ekonomi kita setara atau bahkan lebih hidup daripada Turki. Dapat disimpulkan bahwa ekonomi kita mempunyai potensi yang hampir atau bahkan setara dengan Turki.

Dari data tersebut kita bisa berandai-andai bahwa apabila sebagian besar pengusaha Indonesia yang ada di luar negeri mau memindahkan seluruh pabriknya kembali ke Indonesia, maka bukan tidak mungkin penerimaan pajak negara bisa setara dengan negara GDP food terbesar di eDunia.



Mencari Sumber Daya




Setelah pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Indonesia memiliki potensi pemasukan yang sangat besar. Cara untuk memanfaatkan dan memaksimalkan potensi tersebut yaitu dengan melengkapi resources yang ada. Ada dua cara, yaitu diplomasi dengan mencari konsesi atau cara militer dengan berperang.

Kita tahu bahwa jajaran pemerintah sudah berusaha dengan keras mencari konsesi, dan usaha mereka patut kita apresiasi. Sayangnya masih belum cukup, karena para pengusaha Indonesia masih enggan kembali ke tanah air. Kita bisa mempercayakan pada mereka untuk melewati labirin diplomasi demi mencapai kesepakatan yang menguntungkan kita, karena bagaimanapun mereka juga berusaha maksimal dan tidak tinggal diam. Atau kita bisa coba cara kedua.

Kita serbu region yang kaya sumber daya. Pertanyaannya apakah kita mampu? Perang terakhir dengan China saja kita berususah payah mempertahankan dan mengusir mereka. Tapi mungkin keadaan sekarang berbeda, yang jelas kita sekarang lebih kuat, tinggal komitmen para pemain saja yang menjadi penentu. Untuk mampu atau tidaknya harus dibuktikan di medan pertempuran.

Ingat, perang sumber daya ini hanya dengan merebut regionnya saja kita baru setengah jalan, kita masih harus mempertahankan region tersebut demi kestabilan ekonomi Indonesia.



Kesimpulan Akhir


Dari artikel di atas dapat disimpulkan beberapa poin, yaitu:

1. Indonesia belum bisa memaksimalkan penambahan bonus food dari konsesi. Kemungkinan karena bonus belum maksimal di 100%, jadi belum banyak yang mau dan berani membuka pabrik di Indonesia.

2. Aktivitas ekonomi Indonesia ternyata berjalan dengan cukup bagus. Bagi rakyat yang ingin ikut membantu pemerintah meningkatkan pemasukan bisa dimulai dengan hal-hal kecil dulu. Misal mengurangi atau menghilangkan transaksi black market, daripada jual beli barang lewat sistem donate lebih baik menjualnya di pasar dan pembeli diberi cashback, sehingga negara tetap mendapat VAT. Bisa juga juragan sapi menggaji sapinya dengan gaji yang lebih tinggi sehingga pemasukan negara dari gaji karyawan juga meningkat.

3. Indonesia punya potensi pendapatan pajak yang besar. Apabila pemerintah mampu memaksimalkan bonus dan menjamin kestabilannya, maka kemungkinan pengusaha Indo mau memindahkan pabriknya ke tanah air dan melipatgandakan pemasukan. Tinggal kita mau menunggu dengan cara diplomasi atau merebut dengan cara militer. Semua dengan resikonya masing-masing.




Sekian analisis saya mengenai keadaan ekonomi makro eIndonesia. Apabila ada kesalahan dan masukan silahkan diutarakan di bawah.

The great affair, we always find, is to get money. - Adam Smith

Terima Kasih,


Mr NN