Day 4244. Keputusan

Day 4,246, 09:37 Published in Indonesia Indonesia by BlueEvening

"Nona Eve! Nona Eve!" Riz berlari menuju ruang tengah setelah mengambil surat kabar di teras depan.

"Ada apa, Riz?" Evening bertanya dengan lembut tanpa mengalihkan pandangan dari reruntuhan bangunan kuno, tak jauh dari pagar sebelah utara..

Riz menunjukkan halaman depan surat kabar dengan wajah kesal. "Lihat ini! Nona Blue sudah keterlaluan! Tertulis, dia mengajukan Anda sebagai calon CP. Apa dia tidak tahu kondisi Anda?"

"Oh, itu," Evening menanggapi dengan tenang. "Kau boleh tidak menyukai Kak Blue tapi jangan dulu berburuk sangka padanya. Masalah pencalonan itu, aku sendiri yang mengajukan diri. Aku mencatut namanya."

"Apa? Anda tidak sedang bercanda, kan, Nona?"

Evening menoleh dan memamerkan senyum kekanakannya. "Aku tidak bercanda. Coba perhatikan, Riz, sepertinya kata-kata Kak Blue benar kalau para ksatria eBangsa ini selangkah lagi akan jadi Lovebird yang berlatih setiap hari hanya untuk perlombaan, bahagia dengan trofi dan sertifikat murahan.

"Sedangkan aku ...." Evening melemparkan pandangan ke halaman sejenak. "Kau tahu aku tidak bisa mengingat masa laluku, tidak peduli seberapa besar keinginanku untuk mengingatnya. Tapi ... aku masih bisa merasakan kesenangan waktu itu dan aku ingin merasakannya lagi."

Riz terdiam. Ingatan tentang masa lalu bergerak seperti film layar lebar yang dipercepat. Berbeda dengan Evening, Ia tidak bisa lupa. Dengan suara gemetar, ia memberanikan diri untuk bertanya, "Kalau begitu ... apakah Anda punya ... program kerja?"

Evening tertawa seperti anak-anak yang sedang asyik bermain -seperti Evening yang biasanya, polos dan tanpa prasangka. "Tidak ada, Riz. Tidak ada."

"Tidak ada?"

"Tidak ada."

"Sama sekali?"

"Sama sekali."

"Kenapa Nona---"

"Bagaimana jika saat-saat terakhir dan tak diduga, muncul calon tunggal yang punya niat tidak baik dan ... dia tidak sendirian?"

"Bagaimana pun juga, program---"

"Riz, jangan kau tanya tentang itu. Kau akan menghilangkan bagian yang paling menarik. Percayalah ada satu dua hal yang ingin kulakukan dan aku mampu melakukannya." Evening membaca pikiran Riz.

"Bukannya Anda malah akan membuat---"

"Dilema itu bagus untuk kesehatan otak."

Riz akhirnya menyerah dan berhenti bertanya. Ia menunduk, menatap halaman depan surat kabar yang masih ada di tangannya. Benaknya bekerja keras untuk memahami apa yang sedang terjadi.

"Jangan percaya pada Evening." Kata-kata Blue terngiang di telinga Riz dan membuat ia semakin tenggelam dalam pusaran pertanyaan dan ketakutan, sampai-sampai tidak menyadari Evening sudah tidak ada di depannya.





Aku baru saja menutup pintu kamar ketika Riz tiba-tiba muncul dari sudut selasar sambil berlari dan hampir menabrakku. Saat berusaha menghindar, ia terjatuh. Itu bagus selama bukan aku yang jatuh.

"Nona Blue!" Riz terkejut melihatku.

Aku bertanya dengan nada datar, "Kenapa kamu?"

"Maafkan saya, Nona, tapi sepertinya Anda harus membaca ini." Riz memberiku surat kabar yang tergeletak di sampingnya. "Nona Eve mengajukan diri sebagai ...."

Aku mengabaikan penjelasan Riz dan langsung sibuk dengan pikiranku sendiri. Evening, sama sepertiku, tidak ingin terjun ke ranah politik atau masuk ke kotak tertentu. Ia selalu menolak posisi di eGov dan lebih suka menghabiskan waktu bersama anak-anak, entah itu untuk mengajar atau sekedar bermain. Eve, apa yang terjadi?

Mendadak otakku ditusuk oleh rasa sakit yang luar biasa, berulang-ulang dan menjalar ke mata seperti ada yang sedang menarik-narik syaraf mataku. Pertanda satu ingatan menyelinap keluar dari ruang tersegel. Saat rasa sakit mereda, kubuka mata perlahan dan mengerjap. Semuanya berubah, aku tidak lagi berada di selasar dan Riz tidak berada di depanku. Sebagai gantinya, seseorang berjubah biru tua dengan rambut sebahu, berdiri memunggungi. Ia sedang bertanya pada seseorang yang ada di depannya tetapi aku tidak bisa melihat siapa lawan bicaranya. Aku mendekati dalam jarak aman dan bertanya, "Eve?"

Orang itu berbalik lalu tersenyum bahagia seperti gadis kecil yang mendapat hadiah berupa boneka impian. Namun, bukan boneka yang ada di tangannya melainkan kepala seorang ksatria muda yang telah terpenggal. "Hai, Kak Blue! Lihat ini! Katanya dia kuat ternyata benar-benar lemah. Membosankan! Oh iya, aku tadi pinjam senjata Kakak. Jangan marahi aku ya, Kak."

Aku membeku seakan melihat bayanganku yang mengerikan di cermin. Aku tidak tahu bagaimana Evening yang manis bisa mengucapkan kata-kata itu dengan senyum tanpa dosa sedangkan wajahnya penuh percikan darah. Kemudian, saat mataku mulai terbiasa dengan kegelapan, samar-samar kulihat banyak tubuh bergelimpangan dengan kondisi anggota tubuh tercerai-berai. Beberapa diantaranya adalah ksatria terkuat dari Aula Dewa. Sejak kebangkitan kedua, untuk pertama kalinya aku merasa takut.

"Nona Blue, Anda baik-baik saja?" Riz menepuk-nepuk punggungku.

"Aku tidak apa-apa. Bawakan aku kopi ke ruang tengah." Kulemparkan kembali surat kabar pada Riz dan berjalan cepat menuju ruang tengah meskipun kedua kakiku terasa tak bertenaga.

Tak lama, Riz datang dengan secangkir kopi dan meletakkannya di meja. "Kamerun, Nona, kesukaan Anda."

"Riz, cari tahu apakah ingatan Eve sudah kembali atau belum."

"Baik, Nona."

"Dan kamu temui Metafisis dan Maximus Sammito sekarang. Sampaikan pesanku, 'Jangan vote Evening'."

"Jangan vote?"

"Aku tidak tahu apa yang terjadi tapi ... seandainya ingatan Evening sudah pulih -semoga saja tidak, ia pasti akan berusaha menang supaya bisa membangkitkan 'dia'. Kamu tahu sendiri kerusakan seperti apa yang ditimbulkan 'dia' dulu, kan?"

"Saya ingat itu, Nona Blue, tapi ... apakah Nona Eve mampu mengembalikan 'dia' lagi?"

Aku berdiri dan memegang bahu Riz. "Sangat mampu. Kalau kamu berpikir ia lemah artinya kamu sudah masuk dalam permainannya. Jangan lupa ia punya kemampuan untuk memanipulasi pikiran orang lain. Kendalikan pikiranmu dan jangan percaya pada kata-katanya. Paham?" Aku pergi tanpa menunggu jawaban Riz tapi aku yakin, ia sedang memikirkan kata-kataku. Sayangnya, ia terlalu menyayangi Eve.