[CERPEN] MATINYA TOEKANG KRITIK!!

Day 936, 08:40 Published in Indonesia Indonesia by Stephanus N
Cerita ini adalah hasil saduran dari monolognya pak butet dan disalahgunakan oleh saya sendiri, jadi kalian boleh memaki-maki saya atas contekan ini.

“Eeeh, malah memaki! Saya kutuk jadi Presiden eIndonesia, mampus kamu!” Denmas seperti tiba-tiba sadar,kaget dengan apa yang baru saja diucapkannya. Ia mencoba menjelaskan, ke arah pembaca. “Lho iya kan? Jadi Presiden eIndonesia itu seperti dapat kutukan kok! Apa sih enaknya jadi Presiden eIndonesia, coba? Di eIndonesia, profesi presiden itu profesi yang sama sekali tidak menarik. Dari dulu kerjanya ya gitu-gituuuu melulu: selalu nyusahin rakyat. Makanya, kalau kalian termasuk golongan orang kreatif, tolong deh, nggak usah punya cita-cita jadi Presiden eIndonesia. Malah nanti kelihatan bodonya… Jadi Presiden eIndonesia itu sama sekali tidak menarik!”

Ekspresi Denmas terlihat sinis mencibir.

“Tugas, kewajiban dan tanggung jawab Presiden eIndonesia itu monoton kok. Dari bulan ke bulan, siapa pun yang jadi presiden, ya tugasnya tetap sama: meningkatkan angka… inflasi; menambah jumlah sapi; mencari diplomasi ke luar negri, menyetor uang ke aliansi, mempermainkan tax naik turun… Sama sekali nggak kreatif, kan? Mbosenin… "

Raden Mas Stephanus yang kecapaian karena terus-terusan bercerita, segera duduk di kursi. Menikmati minuman. Tapi kaget tersedak, menyemburkan minuman dari mulutnya, dan ngomel, “Astaga… Bambang (pembantunya)! Ini kan teh dua hari lalu.”
Ia tersedak seperti mencoba mengeluarkan sesuatu dari kerongkongannya.

“Ya, Ampum sampai ada cicak… Bambanggg!!! Bambanggg…”

Sepi. Tak ada jawaban.

“Bener-bener punya bakat jadi presiden dia: kagak dengar meski sudah diteriakin… Alias budeg! Kata orang, budeg itu memang penyakit permanen presiden.”

“Saya ‘kan sudah bilang, semua mesti rapi. Biar saya tidak bingung begini. Dibilangin dari dulu, eh tetap nggak didengerin. Apa sih susahnya ndengerin. Dibilangin baik-baik, eh malah ngata-ngatain, ‘Dasar Tukang Kritik sirik!’ Saya ngritik bukan karna sirik. Saya ngritik karena saya ingin semuanya baik. Hingga hidup bertambah baik. ‘Kan enak kalau semua kelihatan baik. Saya nggak seneng kalau kamu jorok. Baju kotor. Jangan kayak saya yang seniman: celana dalem, lima hari sekali baru ganti.”

“Dikritik memang sakit… Itu tak seberapa. Sebab orang yang suka mengritik itu justru lebih merasa sakit, bila kritiknya nggak didengerin.” Behenti, menarik nafas dalam, kemudian mendengus. “Untung saya cukup sabar sebagai Tukang Kritik. Saya nggak pernah marah, meski disepelekan. Buat apa marah? Nggak ada gunanya…”

“Yaah, barangkali memang beginilah resiko jadi orang yang sudah terlanjur dicap sebagai Tukang Kritik. Saya cuma dianggap kutu pengganggu. Tapi saya menerima dengan lapang dada semua perlakuan itu. Saya sabar, sabaarrr… saya sabar…” tapi kata ‘sabar’ itu diucapkan dengan intonasi mengeram tajam. “Meski kalian terus menyepelekan orang macam aku. Orang yang kalian cibir sebagai Tukang Kritik!! Kalian hendak menghapusku dari ingatan zaman. Kalian menatapku dengan mata penuh penghinaan…”

Raden Mas Stephanus terisak, terhuyung-huyung menuju kursi goyangnya. Ia duduk di kursi goyang itu dengan tubuh gemetar. Meraih selimut dan segera menutupi tubuhnya yang gemetaran. Suaranya terdengar seperti menghiba, seperti suara orang yang bersikeras mempertahankan harga dirinya, “Apa salah saya? Saya selalu tulus mengritik kalian dengan tulus… Tapi kenapa kalian memperlakukan saya begini?”

Kemudian Raden Mas Stephanus memegangi dadanya. Ia dihantam nyeri yang sangat. Kemudian berteriak serak dengan sisa-sia tenaganya. Teriakan itu terdengar tertahan di kerongkoannya, “Bambaaaannggg…. Obat saya… Obat saya… Tolong… Air… Bam-banggg… Bammmmbaaannggg….”



Suara Raden Mas Stephanus makin lama makin pelan, makin terdengar sebagai rerancauan. Cahaya di kursi goyang itu menggelap, ketika Raden Mas Stephanus sudah menutupi seluruh tubuhnya. Kursi itu hilang dalam gelap. Hanya terdengar suara Raden Mas Stephanus yang terus memanggili pembantunya:

“Bambaaang…. Bambaaang… Baaammmbaanngg…”

Sampai kemudian teriakan-teriakan dan reracauan itu menghilang. Senyap mengendap. Kursi goyang itu masih bergoyang-goyang gelisah…

MUNCUL Bambang, membawa sapu lidi, tergopoh-gopoh mendekati kursi goyang. “Iya, Tuan…. Ada apa, Tuan…. Maaf…… Ya, Tuan…”

Bambang bingung dan gugup memandangi kursi goyang itu, melihat majikannya yang meracau memanggil-manggil namanya, “Bambang… Baammbbaaangg…” Sampai kemudian suara itu meredup lemah. Raden Mas Stephanus tertidur lelap. Diam. Tak ada suara.

Bambang membetulkan selimut, seakan-akan menyelimuti majikannya agar lebih tenang tidurnya, dan mendesah. “Kasihan Tuan…”

Bambang pun mulai bercerita.

“Tuan saya orangnya eksentrik. Kerjanya nyalahin orang. Ada ajah yang diomelin. Inilah, itulah. Saya dikatain ginilah, gitulah. Tiap hari kerjanya ngritiiiiikkkk melulu. Apa saja dikritiknya… Kalau Anda pakai kaos hijau, dan dia ngelihat, pasti langsung ngritik, ‘Ih hijau mirip tai sapi…pantes di hijau banyak sapinya’ Nanti kalau Anda ganti pakai kaos biru, tetep saja dikritik, ‘Ih, apa hebatnya kaos biru! Menang ajah nggaya… Padahal tetep stuck di tempat nih negara’ Ya, begitulah tabiat Tuan saya…”

Bambang terlihat antusias bercerita. “Dia itu terkenal banget sebagai Tukang Kritik nomor wahid. Banyak versi cerita seputar sosoknya. Kisah kelahirannya saja ada lebih 1.501 versi. Ada yang mengisahkan ia lahir dari bonggol pisang. Ada yang bilang ia muncul begitu saja dari kabut waktu. Tapi ada juga bilang: dia itu anak hasil kawin silang manusia dan genderuwo.”

Bambang menenggok ke arah kursi goyang, agak ketakutan. Takut kedengeran…

“Sejak saya di sini, Beliau ya begitu-gitu terus. Nggak tua-tua. Seperti nggak bisa mati. Dulu Kakek saya pernah bilang, ‘Tukang Kritik sejati seperti dia nggak bakalan mati! Dia itu legenda setiap zaman. Tahu tidak, di zaman Yunani... dia mengubah namanya jadi Socrates.’

Seperti takut dituduh membual, Bambang cepat-cepat melanjutkan, “Itu kata Kakek saya lho ya. Saya sih percaya-pecaya saja. Lagi pula, kalau dirunut secara etimologi ilmu gotak gatuk, ada benernya juga kok: Socrates… ‘Sok-krates’… asal katanya ‘Sok’ dan ‘protes’. Sok-protes. Nah, Raden Mas Stephanus ini kan juga seneng protes. Jadi antara Socrates dan Stephanus, bisa jadi emang orang yang sama… Yah, minimal namanya sama-sama berawalan S. Menurut sahibul hikayat, Raden Mas Stephanus ini memang dikenal memiliki banyak nama. Dia pernah dikenal sebagai Gallileo. Di Perancis dia dipanggil Voltaire. Tapi begitu di Jawa dipanggil Empu Gandring. Lalu jadi Gandhi waktu di India. Kata Kakek saya lagi, ‘Mereka memang berbeda nama… Tapi lihat, apa yang mereka lakukan… Mereka semua sesungguhnya orang yang sama.” Ia berhenti, ragu. Raut wajahnya terlihat bingung menimbang-nimbang apa yang barusan dikatakannya. Lalu seolah bicara pada dirinya sendiri, “Iya juga sih… Tapi gimana nalarnya ya: dari Gandring kok jadi Gandhi? Aneh kan kalau nanti di tulis: Gandhi bin Gandring…”

Ia jadi terlihat sedikit malu, karena merasa semua itu hanya bualan.

“Yah, Anda kan tahu, yang namanya legenda, pasti banyak nggak masuk akalnya. Apalagi ini legenda menyangkut seorang tokoh. Tahu sendirilah, syndrome para tokoh: suka membesar-besarkan peran mereka dalam sejarah. Saya kira, majikan saya ini pun mengindap syndrom macam itu…”

Tampak kursi itu bergoyang-goyang kencang.

Buru-buru Bambang bergaya menyanjung majikannya itu, “Saya nggak menghinanya lho… Bagaimana pun saya hormat kok sama Beliau. Memang dia suka banget ngritik. Tapi pada dasarnya dia baik kok. Kalau dirasa-rasa, terasa betul kok kebenaran dalam kritik-kritiknya. Kritikannya tulus. Jujur.”

Perlahan kursi itu langsung menjadi tenang….

Bambang cekikikan tertahan. “Hihihi…begitu di puji langsung bobo lagi…”

Setelah yakin kalau majikannya sudah kembali lelap, Bambang pun kembali bicara, “Sebagai tukang kritik, majikan saya itu pada dasarnya ya memang baik kok. Soalnya orang yang suka mengritik itu kan banyak macamnya. Ada yang mengritik asal mengritik. Ada yang mengritik, supaya dianggap berani dan kritis.Ada yang ngritik cuman buat dijadikan bahan monolog… Ada yang selalu mengkritik, agar dapat perhatian. Ada yang terus-terusan mengkritik, karena sudah nggak sabar nunggu giliran duduk di kursi kekuasaan. Di luar pagar teriak-teriak, begitu udah di dalam malah tambah rusak…Tuan saya ini nggak silau kedudukan. Dari dulu ya di situ terus duduknya. Nggak pindah-pindah. Pernah Ditawari jadi Mentri juga nggak mau…”

Tiba-tiba terdengar suara erangan dari arah kursi goyang: “Bambaaangggg… Bambaanggg…. Jam berapa...”

Sambil terus pura-pura sibuk menyapu, Bambang menjawab, “Jam 11 malam… Tahun 2010…”

Sementara Raden Mas Stephanus terus mengigau memanggil nama “Bambang” sesekali-kali. Tapi Bambang tetap pura-pura sibuk menyapu. Sampai kemudian suara igauan Raden Mas Stephanus berhenti. Bambang melihat sebentar ke arah kursi goyang itu, lalu segera ke arah pembaca.

“Cukup segini dulu yah”



Ya… apa yang terjadi jika sudah tidak ada yang dapat dikritik lagi. alias semua berjalan sesuai dengan rencana. Sempurna. Tidak ada cacat sedikitpun. Sehingga tidak sedikit celahpun untuk dikritik???
Ya matilah si toekang kritik.. ya toh??? Kan sudah tidak ada gunanya lagi toh?
Dan kapan itu????

Si tukang kritik itu bernama raden mas stephanus. Dia merupakan symbol yang menggambarkan bahwa tukang kritik itu akan selalu ada di setiap masa. Dari waktu ke waktu. Ia ada di setiap sejarah, di tiap tempat, di tiap ruang dan waktu, dengan banyak nama.

Kritik itu selalu dibutuhkan oleh setiap zaman. Demi kemajuan zaman dan kebaikan bersama, dan seterusnya dan seterusnya, blab la bla.
Dengan kata lain, keberadaan kritik adalah mutlak sebagai bagian dari usaha mencapai idealisme itu sendiri.

Dan apakah artinya jika kemudian tukang kritik tidak diperlukan lagi dan oleh karena itu kemudian menjadi mati?
Pastilah karena dunia sudah begitu ideal, sehingga kritik sudah tidak diperlukan lagi. segalanya sudah baik baik saja.
Seharusnya dengan keadaan dunia yang sudah sangat ideal, tukang kritik harusnya seneng toh? Dan ia seharusnya kemudian hidup bahagia, karena kehidupan yang diinginkannya dapat terwujud. Semua berjalan harmonis, adil, makmur, tentrem, kerta raharjo. Dan lenyaplah para tukang kritik tersebut.

Namun, ternyata lenyapnya tukang kritik bukan merupakan indikasi yang bagus, sebaliknya, mungkin merupakan awal ketertindasan baru.

Ya… harmonis itu tidak selalu baik, karena dalam usaha untuk menciptakan suatu keharmonisan, bukan tidak mungkin ada suatu kelompok yang pasti tertindas.