Jurnalis Mission 3 : Menuju Garis Finish

Day 4,913, 20:26 Published in Indonesia Indonesia by TMOHS

Artikel ini diterbitkan sebagai penuntas misi Endorse sekaligus Jurnalis yang ketiga.

Saat ini Day 4913 misi Erepublik masih berlangsung dan tinggal beberapa jam lagi sebelum even ini berakhir. Masih banyak orang yang berlomba-lomba untuk menyelesaikan misi masing masing. kemungkinan untuk orang yang sangat aktif ada yang sudah hampir menyelesaikan misi nya masing-masing. ternyata untuk menuntaskan misi ini susah susah gampang. Ada yang mudah ada yang gampang. Tapi semua membutuhkan MODAL baik waktu maupun IDR yang harus di bakar juga.

e-gaji pegawai mulai bervariasi... sudah mulai anjlok lagi... paling tinggi kisaran 2600an ... ada yang sudah mulai mamasang offer seperti biasa lagi.

Misi trayek angkot cukup banyak menyita duit... untuk bolak balik... antara gulf of mexico dan Java misalnya.. sekali jalan dapat 17150km... tapi kita harus membayar 1715 IDR sekali jalan. misi cepat selesai tapi duit cepat amblas juga.

tolong di endorse dan di komen ya ...

terimakasih



bonus : Cerita Trio Detektif Part 3

===============================================================

Trio Detektif
Misteri Cakar Perunggu

BAB XI
BIARKAN DIA HIDUP
Setelah mengambil sepeda tua dari rumah Paman Atticus, Bob bergegas pergi ke pameran Seruling Belanda. Ketika tiba di tempat parkir sepeda, ia melihat bahwa tidak ada terlalu banyak turis hari ini. Sebuah papan yang tergantung di haluan kapal itu mengumumkan bahwa pameran itu akan menuju Kanada besok.

Bob memandang berkeliling, mencari tempat yang tepat untuk mengawasi Seruling Belanda dan kedua perahu motor pengunjuk rasa yang berada di teluk.

Anak bertubuh kecil itu tersenyum ketika pandangannya jatuh pada sebuah toko memancing di dekat situ. Ia berjalan ke sana dan merogoh saku celananya, mencari uang. "Siapa bilang mengintai pastilah membosankan?" katanya kepada dirinya sendiri, meletakkan selembar sepuluh dolar di kasir. Seorang gadis cantik mengenakan atasan bikini berwarna merah muda cerah mengambil tempat di belakang mesin kasir. "Ada yang bisa kubantu?"

"Aku ingin menyewa kail dan umpan," Bob tersenyum, merasa yakin Jupe tidak akan setuju akan metode pengintaiannya. Bob tertawa membayangkan dirinya pulang membawa ikan besar selagi menangani kasus. Itulah yang akan didapat Jupiter Jones yang berani-beraninya menemukan suatu misteri tatkala sedang berlibur!

Gadis itu menyiapkan peralatan di atas meja sambil tersenyum manis dan berkata semoga Bob sukses. Bob tersipu-sipu dan keluar ke dermaga, memilih tempat yang tidak membuat pandangannya ke arah Seruling Belanda terhalang.

Setelah dengan teliti memasang umpan di kailnya, anak itu melecutkan jorannya dengan sempurna. Ia mulai memainkan kail perlahan-lahan dan menggulungnya dengan lembut, seperti yang telah diajarkan ayahnya beberapa musim panas yang lalu.

Sambil memancing Bob dapat melihat Oscar Cutter di geladak Seruling Belanda, menjelaskan metode penyelamannya dan menceritakan sejarah kapal megah itu. Pria itu nampak sangat bosan dan sedikit kesal terhadap para turis. Bob melihat bahwa para pengunjuk rasa di kedua perahu pun nampak bosan dan jelas sekali kehilangan antusiasme yang mereka tunjukkan kemarin.

Beberapa jam berlalu dan Bob menduga sepertinya ia akan sama beruntungnya dalam memancing dengan dalam mengintai. Kemudian ia merasa ada yang membuat tali pancingnya bergetar. Tiba-tiba talinya terulur dan jorannya melengkung oleh tarikan seekor ikan besar! Penuh semangat, Bob menarik tongkat pancingnya dengan kedua tangan. Dua puluh meter di depannya, Bob melihat cipratan air ketika seekor ikan besar melompat keluar, bergerak-gerak dengan liar di udara, sebelum akhirnya masuk kembali ke air. Jantung Bob berdebar kencang. Menangkap ikan yang besarnya setengah kali ikan ini pun ia belum pernah. Jupe dan Pete pasti akan ternganga! Ia sedang menimbang-nimbang untuk memakan ikan itu atau mengawetkannya ketika suatu gerakan di atas Seruling Belanda membuat hatinya menciut.

Oscar Cutter hendak pergi! Bob mengerutkan kening dan menggulung talinya sekuat-kuatnya, berusaha mengamati si ikan dan Cutter pada saat yang bersamaan. Peneliti itu sedang menyerahkan suatu catatan kepada seorang mahasiswa dan nampak memberikan instruksi. Ia lalu menepuk punggung mahasiswa itu, menuruni kapal, dan menuju ke jalan tepat ketika Bob menarik ikan raksasa itu keluar dari air ke atas dermaga!

Bob dengan cekatan melepaskan mata kail bagaikan seorang pemancing ulung dan menjulurkan kepala untuk melihat arah yang diambil Cutter. Pandangannya terhalang oleh kapal yang besar itu! Tahu bahwa ia tidak mungkin membuntuti Cutter sambil membawa-bawa ikan, hati Bob semakin ciut. Tepat pada saat itu gadis cantik berbikini merah muda yang tadi menyewakan kail kepada Bob muncul sambil membawa kamera.

"Hebat sekali!" katanya. "Mau kuambil gambarmu? Hanya satu dolar."

"Tentu saja," Bob mendesah, memegang ikan itu di hadapannya. "Paling tidak kini aku punya bukti."

Gadis itu mengambil gambarnya. "Apa maksudmu, 'bukti'?" tanyanya, memberikan foto kepada Bob dan menerima satu dolar sebagai gantinya.

Bob patah hati ketika ia melemparkan ikan raksasa itu ke air dan menyaksikannya berenang pergi di balik ombak. "Biarkan dia hidup, begitulah," ia mengangkat bahu, terpukul.

Bob berlari kecil meninggalkan dermaga untuk mengejar Cutter. "Terima kasih atas fotonya!" serunya.

Ketika Bob mencapai Seruling Belanda, ia berdiri di atas tiang pendek yang membatasi tepi dermaga untuk memandang di atas kepala orang-orang yang antri untuk naik ke kapal. Bob semakin kesal ketika melihat bahwa Oscar Cutter sebenarnya tidak pergi ke mana-mana. Pria itu hanya berjalan tidak jauh dari kapal ke dermaga sebelah tempat tertambatnya sebuah perahu kecil yang digunakan tim penelitinya untuk pergi ke tempat penelitian lima puluh meter ke tengah laut. Bob merasa ingin menangis! Ia telah melepaskan tangkapan terhebatnya seumur hidup dengan percuma!

Anak itu menatap dengan sebal pelaut tampan itu mengemudikan perahu motor ke kapalnya yang kosong. Kedua perahu pengunjuk rasa tidak bergeming, sepertinya memutuskan untuk tetap tinggal di sekitar Seruling Belanda.

Bob menduga-duga apa yang dilakukan Cutter di kapal penelitinya sendirian saja, jaraknya terlalu jauh untuk melihat dengan jelas. Mungkin hanya memeriksa keadaan, memastikan peralatan sonarnya yang peka tidak dijamah oleh para Perompak Baru, pikir Bob.

Dalam usahanya untuk mengalihkan pikirannya dari ikan raksasa kembali ke kasus itu, Bob berlari-lari kecil ke toko pancing kecil tempat ia menyewa kail tadi.

"Mau mencoba lagi?" gadis berbikini itu tertawa. "Tak perlu membayar lagi kalau kau ingin menggunakan kail yang sama."

Bob tersenyum berterima kasih. "Tidak, terima kasih. Aku hanya ingin minta tolong."

"Silakan," gadis cantik itu mengangguk.

"Apakah kau punya teropong yang bisa kupinjam sebentar? Penting sekali -- aku hanya akan pergi ke dermaga di dekat pameran Seruling Belanda."

Gadis itu setuju dan mencari-cari di bawah meja kasir, lalu menyerahkan sebuah teropong kepada Bob. "Jangan sampai hilang," katanya memperingatkan. "Itu milik atasanku. Aku bisa dipecat kalau ia tahu aku meminjamkan teropongnya yang bagus kepada seorang asing. Apakah kau dari sekitar sini?"

Bob menyeringai dan menggelengkan kepala. "Tidak, aku dan teman-teman hanya berlibur di sini. Terima kasih atas teropongnya. Aku berjanji akan mengembalikannya."

Bob meletakkan teropong di depan matanya begitu tiba di dermaga, tepat di depan tempat penelitian Cutter. Ia terkejut melihat Cutter mengenakan pakaian menyelam. Bob ingat bahwa salah satu pelajaran dasar yang diterima Trio Detektif di sekolah menyelam di Rocky Beach adalah tidak menyelam sendirian.

Setelah memasang tabung udara dan kacamata selam, peneliti itu memandang sekilas ke arah perahu-perahu Perompak Baru, kemudian menceburkan diri ke air.

Bob menurunkan teropongnya. Apakah yang demikian pentingnya sehingga tidak dapat menunggu sampai Seruling Belanda berlayar besok? Bob tidak sempat memikirkan jawaban atas pertanyaannya sendiri. Beberapa menit kemudian pria itu muncul di permukaan dan mulai memanjat tangga di samping kapalnya.

Bob dapat melihat bahwa Cutter menggenggam suatu benda kecil di tangannya. Benda itu terlihat seperti sebuah pistol. Mungkin salah satu dari blunder-apalah yang disebut-sebutnya di rumah Paman Atticus. Lempengan kuningan di laras dan gagang kayunya berkilau ditimpa matahari.

Bob menyingkir dari dermaga ketika ia melihat Cutter menanggalkan pakaian selamnya dan menyimpannya. Ia hendak kembali ke pantai -- dan ia membawa pistol itu! Bob kembali ke toko pancing dan mengembalikan teropong kepada sang gadis.

"Datanglah lagi jika kau ingin memancing," kata gadis itu. "Dan ajak teman-temanmu. Kami menyewakan kail termurah di teluk ini!"

Bob melambai sambil berlari ke dermaga Oscar Cutter. Penyelam itu baru saja menambatkan perahu motornya. Bob membaur dengan para turis yang mengantri, lalu berlari mendapatkan sepedanya ketika Cutter melemparkan pistol antik itu ke tempat duduk penumpang di mobil kecilnya dan mulai bergerak.

Bob membuat tanda tanya besar dengan kapur hijaunya di trotoar lapangan parkir dan mulai membuntuti dari jarak yang aman.

Bob Andrews merasa semakin lama ia mengayuh, semakin banyak pertanyaan yang muncul di benaknya. Seperti, ke manakah Cutter membawa pistol itu? Dan mengapa para pengunjuk rasa dari Perompak Baru tidak berusaha mencegahnya?

BAB XII
MENGHUBUNGI ROCKY BEACH!
Menjelang makan malam Jupiter dan Pete tiba kembali di rumah Atticus Jones. Anak-anak dapat mencium harumnya masakan lobster yang menerbitkan air liur mereka ketika mereka baru setengah jalan menuju pintu.

Pada saat mereka masuk, mereka hanya dapat meringis mendengar suara sumbang Titus dan Atticus yang menyanyikan salah satu lagu pelaut kegemaran mereka sambil sibuk di dapur. Bibi Mathilda tidak sabar dan berusaha membantu-bantu namun setiap kali diusir keluar oleh Atticus.

"Selamat datang kembali, Pelaut!" seru Atticus ketika anak-anak masuk ke dapur. "Meja untuk tiga orang? Kebetulan kami ada satu meja kosong dengan pemandangan menghadap ke teluk!"

"Masakan istimewa malam ini adalah udang karang panggang mentega, salad yang lezat, dan kue keju nikmat yang akan menggelitik selera Anda!" Titus menirukan pelayan rumah makan mewah.

Jupiter memandang berkeliling dapur, tersadar bahwa anggota ketiga biro mereka belum kembali. "Bob belum pulang juga?"

"Tidak kelihatan sepanjang hari!" Titus bernyanyi, memotong bonggol selada. "Kami kira ia bersama kalian."

"Kami berpencar," jawab Pete. "Kami sepakat untuk berkumpul lagi di sini saat makan malam."

"Ah," Atticus mengedipkan mata, "dan bagaimana dengan pengusutan kalian? Ada perkembangan baru yang menjanjikan?"

"Mungkin," jawab Jupiter, memikirkan Gaspar dan Pria Berpakaian Hitam. "Bolehkah kami mengadakan hubungan interlokal dengan telepon Paman, Paman Atticus? Aku berjanji kami akan mengganti ongkosnya."

"Ongkos apa? Hubungi siapa saja yang kau mau, Nak -- asal jangan sampai kalian terlambat makan saja," tukas pamannya.

Kedua detektif itu pergi ke ruang kerja Atticus yang berantakan. Jupiter menemukan pesawat telepon tua yang nomornya harus diputar dan menghubungi nomor langsung Chief Samuel Reynolds di Kepolisian Rocky Beach. Trio Detektif pernah bekerja sama dengan kepala polisi itu dalam beberapa kasus yang telah lewat. Meskipun kepala polisi itu menghargai mereka sebagai detektif sesungguhnya, seringkali ia merasa anak-anak, terutama Jupiter Jones, terlalu sering mencampuri urusan pihak berwajib. Chief Reynolds selalu beranggapan hanya ada garis tipis yang memisahkan pengabdi masyarakat dan pengganggu!

Pete memandang sekilas ke arah jam yang juga berfungsi sebagai barometer di dinding dan nampak cemas. "Wah, Jupe, sudah pukul enam lewat. Chief Reynolds mungkin telah pulang."

Namun kecemasan Pete tidaklah beralasan ketika kepala polisi itu mengangkat telepon pada deringan ketiga. Ia menjawab dengan tegas, "Reynolds."

"Selamat petang, sir. Ini Jupiter Jones. Bolehkah saya mengganggu Anda sebentar?"

Terdengar desahan enggan di ujung saluran. "Aku tidak punya waktu, Jones," tukas kepala polisi itu. "Ada perampokan tadi di pompa bensin Save-U-More -- kini aku harus bekerja lembur untuk menyelesaikan laporan!"

"Perampokan?" secara naluriah Jupiter ingin tahu lebih lanjut. "Save-U-More yang di bagian timur atau barat?"

"Sudahlah, Jones," geram kepala polisi itu. "Dengar. Mengapa kau tidak mencari kepala polisi lain untuk kau ganggu -- di Meksiko, misalnya."

Jupiter menutupi gagang telepon dengan telapak tangannya dan berbisik kepada Pete, "Ia sedang kesal. Aku harus cepat-cepat." Remaja gempal itu mengembalikan gagang telepon ke telinganya. "Sir, saya mengerti Anda sangat sibuk namun hal ini hanya perlu waktu sebentar." Ia menahan nafas, menunggu jawaban kepala polisi di ujung saluran. Akhirnya Chief Reynolds menyerah.

"Baiklah, Jones, apa maumu?"

"Terima kasih, sir."

"Ya, ya, kembali," tukas kepala polisi itu, "jangan lama-lama. Dan jangan gunakan kata-kata sukar!"

"Ada nomor polisi yang perlu Anda usut, sir. Nomor Oregon DLH 555. Mobilnya sebuah Ford hitam. Menurut saya, sedan model baru dengan empat pintu. Nama pemiliknya mungkin adalah 'H. KANE'," Jupiter juga menyebutkan alamat apartemen kecil itu. "Sudah? Hanya itu?" sindir kepala polisi itu. "Tidak sukakah kalian akan kegiatan anak-anak normal, seperti bermain bisbol? Atau berselancar? Dan apa yang kalian lakukan di Oregon?"

"Ceritanya panjang, sir," Jupiter meyakinkan.

"Pasti. Baiklah. Perlu waktu satu atau dua hari untuk memperoleh data dari Departemen Transportasi Oregon. Bisa diterima, Jones? Apakah setelah ini aku perlu menelepon Presiden Amerika Serikat untukmu?"

"Tidak, sir," Jupiter menyeringai. "Itu sudah cukup baik, sir."

Ia memberitahukan nomor telepon pamannya kepada Chief Reynolds dan memutuskan hubungan. "Wah, nyaris."

"Berapa lama?" tanya Pete.

"Katanya satu atau dua hari. Mulai besok kita punya satu minggu lagi, mudah-mudahan cukup untuk memecahkan kasus ini."

Bibi Mathilda memanggil dari dapur. "Jupiter! Pete! Bob! Ayo cuci tangan, waktunya makan!"

Mendengar nama Bob disebut, kedua anak itu teringat bahwa rekan mereka belum kembali juga. Mereka sedang melewati gudang belakang tempat Paman Atticus menyimpan pakaian selam antiknya dan peti Cakar Perunggu ketika Jupiter tiba-tiba berhenti dan meletakkan kedua belah telapak tangan di kepala.

"Benda itu hilang!"

"Maksudmu anak itu hilang," Pete membetulkan. "Di mana menurutmu Bob berada?"

Jupiter berdiri dengan kedua tangan di kening dan menggeleng-geleng tanpa daya. "Bukan -- memang maksudku benda itu hilang! Lihatlah!" Ia menunjuk ke arah peti. Peti yang telah dipasangi gembok istimewa oleh Atticus. Peti yang pernah menyimpan Cakar Perunggu, yang kemudian dicuri dan dikembalikan lagi. Peti itu kini kosong, tutupnya pecah seolah-olah dihantam sebuah kapak dengan keras!

"Ada yang mencurinya lagi!" Pete tersentak.

"Aku tidak dapat mengerti," Jupe bergumam sambil memeriksa peti rusak itu. "Mengapa mencurinya, hanya untuk mengembalikannya, dan kemudian mencurinya lagi? Sama sekali tidak rasional." Ia berdiri dan berjalan ke pintu belakang, mendorongnya. Pintu itu terbuka dengan mudahnya.

"Kunci pintu ini telah dirusak juga," katanya muram. "Ada yang bersusah-payah hanya untuk mengambil cakar itu."

"Lagi," kata Pete mengingatkan. "Mungkin ada hubungannya dengan Bob yang tidak muncul untuk makan malam. Pasti ada sesuatu yang sungguh penting jika Data sampai melewatkan lobster dan kue keju!"

Jupiter mengangguk dan mencubiti bibirnya. "Sebaiknya kita lapor Paman Atticus," putusnya. "Lalu mulai mencari Bob, mungkin ia berada dalam bahaya."

Anak-anak dengan murung kembali ke dapur. Mereka benci untuk melewatkan makan malam istimewa itu namun Bob perlu bantuan. Jupiter melaporkan bahwa rumah telah dibobol sekali lagi dan Cakar Perunggu telah dicuri lagi. Suasana ceria di sekitar meja segera berubah.

"Di-dicuri," Paman Atticus tergagap-gagap.

"Lagi?" Ia bangkit dari tempat duduknya dan menyerbu ke gudang. Ketika yang lain tiba di sana, Atticus Jones sedang berdiri di depan peti rusak itu sambil menariki kumis besarnya dan mengumpat-umpat ke arah langit-langit.

Bibi Mathilda tidak tahan lagi. Wanita itu masuk ke kamarnya, membuka koper, dan mulai berkemas-kemas, bibirnya terkatup rapat. "Tempat ini tidak aman lagi!" jeritnya. "Aku mau kalian anak-anak berkemas dan mengambil kantung tidur kalian dari kapal! Aku takkan tinggal di sebuah rumah yang dimasuki pencuri sesuka hati mereka! Rumah ini tidak aman, dengar itu!"

Jupiter dan Paman Titus berusaha menenangkan wanita itu namun tatapan marah Bibi Mathilda membuat mereka menutup mulut sebelum sempat bersuara.

Atticus menunduk dengan muram. "Kurasa bibimu benar," katanya. "Terlalu berbahaya bagi kita untuk tinggal di sini sebelum orang gila ini tertangkap!"

Jupiter menggamit Paman Titus.

"Kurasa Paman sebaiknya membawa Bibi Mathilda ke penginapan terdekat."

"Dan apa rencanamu, Nak?" kata pamannya dengan bijak. "Permainan ini sudah terlalu berbahaya. Menurutku sudah saatnya polisi mengambil alih sekarang."

"Kami cemas akan Bob," Jupiter menjelaskan. "Ia belum kembali dari pengintaiannya di Seruling Belanda. Aku hendak meminta tolong Paman Atticus mengantarkan kami mencari anak itu. Jika kami tidak dapat menemukannya, maka tidak ada pilihan lagi selain menghubungi polisi."

Paman Titus menimbang-nimbang sesaat, kemudian menyetujuinya dan membantu istrinya memasukkan barang-barang mereka ke bak belakang truk. Sekali lagi ia memperingatkan Jupe agar benar-benar berhati-hati. "Sepertinya ada orang tidak waras di luar sana. Aku tidak ingin kalian anak-anak pergi sendirian!"

Jupiter berjanji bahwa ia dan Pete akan berusaha untuk tetap bersama Paman Atticus sepanjang waktu sementara mereka semua naik ke truk.

"Ke pameran Seruling Belanda," Jupiter memberi aba-aba. "Dan buka mata terhadap tanda tanya yang dibuat dengan kapur hijau!"

BAB XIII
HANTU SI JANGGUT HITAM
Kaki Bob gemetar sementara ia berusaha mengimbangi mobil putih Oscar Cutter yang melaju menuju kota. Untuk kesepuluh kalinya anak itu berpikir, seandainya ia mengendarai sepeda gunungnya yang bergigi lima, yang diperolehnya sebagai hadiah Natal tahun lalu, membuntuti tersangka jauh lebih mudah dengannya. Paling tidak di Rocky Beach Trio Detektif bisa memanfaatkan layanan Worthington!

Worthington adalah supir berkebangsaan Inggris yang mengemudikan Rolls Royce mewah, yang dimenangkan Jupiter dalam sebuah kontes. Berkat kebaikan hati seorang klien yang sangat berterima kasih, Trio Detektif bisa menggunakan mobil mewah itu tanpa batas dan Worthington telah menjadi seorang sahabat sekaligus 'Penyelidik Keempat tidak resmi.'

Namun hari ini Worthington berada ratusan mil jauhnya dan Bob sendirian, mengayuh sepeda antik Atticus Jones!

Remaja berambut pirang itu menghembuskan nafas lega dan mulai memperlambat kayuhannya ketika melihat mobil kecil Cutter berbelok masuk ke jalan raya. Berhati-hati, Bob menjaga jarak satu blok di belakang peneliti itu. Ia terheran-heran melihat Cutter membelokkan mobil ke dalam sebuah lorong sempit di belakang deretan toko yang pernah dimasukinya dan Pete ketika melarikan diri. Bob memarkir sepeda tuanya di tempat parkir terdekat dan mengintip di sudut jalan.

Cutter sedang berdiri di depan pintu belakang markas Perompak Baru dari Barat -- dan ia menggenggam pistol yang belum lama diambilnya dari dasar laut! Bob mengamati dan kemudian mengendap-endap mendekat untuk dapat melihat lebih jelas. Apa yang dilakukan seorang peneliti kapal karam di tempat orang-orang yang memprotes dan mengancamnya? Bob sempat berpikir bahwa penyelam itu mungkin hendak menjual pistol itu kepada Perompak Baru sebagai tambahan koleksi museum mereka. Namun kemudian ia teringat akan perkataan Jupe bahwa semua yang dipamerkan adalah imitasi belaka -- lagipula, segala sesuatu yang ditemukan Cutter tentu menjadi milik universitas yang membiayai penelitiannya.

Tak lama kemudian pintu terbuka dan Cutter tanpa bersuara disilakan masuk ke dalam pos pemadam kebakaran yang gelap. Bob menggigiti kukunya dengan gelisah. Apa yang harus dilakukannya? Anak yang bertanggung jawab akan Catatan dan Riset tidak ingin terpisah dari teman-temannya jika ia memutuskan untuk membuntuti Cutter ke dalam. Pete melakukan hal itu dalam kasus sebelumnya di Inggris, Misteri Warisan Hitchcock, dan hasilnya ia terkurung di ruang penyimpan anggur sepanjang hari! Bob tidak ingin mengulangi kesalahan temannya.

Dengan muram Bob memikirkan segala alat yang dirancang Jupiter untuk menangani kasus seperti ini. Sungguh akan berguna alat-alat itu baginya sekarang! Ia sedikit kesal terhadap Jupe yang hanya membawa kapur khusus mereka namun sadar bahwa ia sendiri patut disalahkan. Ia seharusnya tahu bahwa suatu liburan pun dapat berubah menjadi bahaya jika ada Jupiter Jones!

Bob memutuskan bahwa ia harus puas dengan kapur untuk saat ini. Ia membuat sebuah tanda tanya besar berwarna hijau di dinding dan beberapa lagi sementara ia mendekati pintu belakang markas Perompak Baru. Ketika ia telah mencapai pintu yang tadi dimasuki Cutter, ia berlutut dan menggambar satu lagi tanda tanya dan tanda panah di lantai. Sambil menarik nafas panjang dan mengumpulkan segenap keberaniannya, Bob memasuki bagian dalam yang gelap.

Hidungnya segera mencium bau cat basah dan serbuk gergaji. Ruangan lembab itu hanya diterangi oleh cahaya matahari yang masuk melalui jendela kaca berwarna yang menghadap jalan raya. Bob membiarkan matanya terbiasa dengan keremangan ruangan itu selama beberapa saat, lalu berjingkat-jingkat maju.

Brak! Ia menabrak sebuah kuda-kuda gergaji dengan gergaji di atasnya. Bunyi yang ditimbulkan terasa sungguh kencang memecah kesunyian bangunan besar itu. Bob mengumpat tertahan, mengatupkan gigi, dan mendengarkan. Setelah beberapa menit di dalam kesunyian, yakin akan tertangkap basah dengan senter yang disorotkan ke arahnya, Bob melanjutkan langkahnya ke bagian depan ruangan.

Melihat turis-turis di luar jendela besar itu membuat perasaan Bob sedikit lebih baik. Ia tahu kalau ada bahaya, paling tidak ia akan dapat menggedor kaca jendela dan berteriak minta tolong -- bahkan memecahkannya kalau terpaksa!

Ia mengendap-endap di lantai bawah, mencari petunjuk, dan ketika merasa lebih percaya diri, mulai menaiki tangga menuju ke lantai dua. Cutter pastilah ada di sana!

Setelah tiba di atas kepercayaan diri Bob luntur. Hanya ada beberapa jendela kecil di ruangan besar itu dan secercah cahaya matahari yang masuk hanya menimbulkan bayang-bayang menyeramkan. Ia menggambar satu lagi tanda tanya di anak tangga teratas.

Bob menelan ludah dan kembali maju dengan tangan terentang ke depan bagaikan antena, berjaga-jaga kalau-kalau ada lagi kuda-kuda gergaji di depannya. Tiba-tiba tangannya menyentuh sesuatu yang membuatnya tersentak penuh keringat dingin. Rasanya seperti tangan manusia -- namun dingin, bagaikan tangan mayat!

Bob berteriak tertahan dan menarik tangannya penuh kengerian. Lalu, berkat cahaya lemah yang menerobos masuk, ia melihat benda yang disentuhnya.

Itu hanyalah patung lilin William Evans -- yang lebih dikenal oleh Bob sebagai Perompak Ungu. Dengan matanya yang mulai terbiasa dengan cahaya remang-remang Bob dapat melihat bahwa ada beberapa patung lilin yang tersebar di ruangan besar itu. Hal ini tidak membuatnya merasa lebih baik. Matanya menatap patung-patung itu satu per satu -- begitu ia mengalihkan tatapan ke patung yang lain, patung yang sebelumnya seolah-olah bergerak sedikit. Begitu ia menatap yang lain lagi, patung yang pertama seolah-olah siap menghantamnya.

Sambil menggigiti kuku-kukunya lagi Bob memaksa diri meneruskan pencariannya terhadap Kapten Cutter. Ketika penyelidik bertubuh kecil itu telah tiba di dinding seberang museum itu tanpa menemukan tanda-tanda si penyelam, ia menghembuskan nafas lega. Ia nyaris gembira karena tidak menemukannya. Satu-satunya yang ingin ia lakukan adalah kabur dari ruangan seram ini! Bob memutuskan bahwa cukup sudah penyelidikan yang dilakukannya untuk hari itu dan ia ingin pulang dan berpesta lobster untuk makan malam.

Setelah mengambil keputusan itu, Bob mulai berjalan dengan cepat namun tanpa suara, melintasi ruangan, menuju ke tangga.

"Aaaahhhhhhhhhh!"



Sekonyong-konyong ketakutan terbesarnya menjadi kenyataan. Ketika ia berjalan melewati patung William Teach, lebih terkenal sebagai Si Janggut Hitam, sosok tinggi itu menggeram marah dan melompat turun dari landasan tempatnya berdiri!

Anak bertubuh kecil itu menjerit kencang penuh ketakutan dan terhuyung ke belakang, menimpa sebuah benda pameran, dan menjatuhkannya ke lantai dengan suara keras! Bob berlari melintasi ruangan sambil dilanda kengerian, otaknya berusaha memerintahkan kakinya agar bergerak -- dan bergerak dengan cepat!

Si Janggut Hitam mendesis sambil mendekati Bob, sepatu larsnya berdencing di lantai sementara ia semakin mendekat. Salah satu matanya tertutup kain dan yang lain menatap dengan tidak waras. Janggut Hitam mencabut sebilah belati panjang dari sabuknya. "Ini yang kami lakukan terhadap para pencuri!" ia meringis bengis, menggerakkan jari seolah-olah memotong lehernya.

Bob menelan ludah dan menghambur ke tangga. Baru dua anak tangga dilewatinya ketika sebuah jala nelayan yang besar menyelubunginya dan membuatnya terjatuh ke lantai. Ia menendang-nendang jala itu dengan liar namun hal itu hanya membuatnya semakin erat terjerat.

Si Janggut Hitam berdiri di depannya dan mengejek. "Mungkin aku harus membiarkanmu hidup sebagai umpan! Aku ingin tahu apa yang bisa kutangkap dengan anak yang suka ikut campur sebagai umpan di kailku!" Perompak itu mencibir, meraih ujung-ujung jala, dan menyeret Bob di lantai.

"Mudah-mudahan kau telah memberi ciuman selamat tinggal kepada ibu dan ayahmu, Teman," katanya bengis, "karena yang akan kau temui berikutnya adalah Setan Laut! Ha ha ha!"

BAB XIV
BOB DALAM BAHAYA!
Setelah Jupiter dan Pete memanjat naik ke dalam kabin truk Paman Atticus, Jupe meminta pamannya pergi ke pameran Seruling Belanda.

"Di sanalah Data seharusnya berada. Jika ia mendapat kesulitan, mungkin ia meninggalkan petunjuk bagi kita di sana."

Matahari mulai menghilang di bawah kaki langit dan langit berona campuran biru, jingga, dan ungu. Sementara pamannya mengemudikan kendaraan tua itu sepanjang jalan pantai, Jupiter menyaksikan kabut bergumpal-gumpal di atas ombak yang memecah di pantai. Ia mencubiti bibirnya, cemas akan bahaya yang mungkin mengancam Bob.

***
Ketika Bob Andrews diseret menuruni tangga di bekas pos pemadam kebakaran, ia berhasil mengeluarkan kapur hijau dari saku depan celananya. Dalam kegelapan yang mencekam Si Janggut Hitam tidak dapat melihat garis hijau panjang yang ditinggalkan Bob di lantai sementara ia diseret ke pintu belakang yang beberapa saat lalu dimasuki Cutter.

Bajak laut itu menoleh dan menatap Bob dengan matanya yang tidak tertutup sambil mengikat pergelangan tangan dan kaki anak itu dengan pita perekat barang. "Kau harus tutup mulut kalau kau ingin tetap sehat. Siapa tahu aku akan menjadikanmu budak dan tidak melemparkanmu ke ikan-ikan hiu!"

Bob menelan ludah dan mengangguk ke arah bajak laut itu. Ketika potongan pita perekat yang tebal direkatkan di mulutnya, anak bertubuh kecil itu tiba-tiba menyadari bahwa dalam dua kesempatan Trio Detektif melihat Connie Bly, orang itu selalu mengenakan penutup mata. Dugaan Bob tentang identitas asli perompak itu terbukti benar ketika Si Janggut Hitam mengangkat Bob dalam jalanya dan melemparkannya ke bagian belakang sebuah mobil kecil berwarna putih, menutupkan selimut tebal di atasnya. Jadi Connie Bly ada di balik semua ini!

Tidak sulit bagi Bob untuk membayangkan perompak itu terlibat dalam suatu kejahatan. Ia menduga Bly adalah seorang pencuri profesional yang disewa oleh seseorang yang berminat akan bajak laut atau kapal karam.

Sementara mobil kecil itu berjalan, Bob meraba-raba lantai di sekitarnya dengan jari-jarinya, mencari-cari sesuatu yang dapat digunakan untuk memotong pita perekat di pergelangan tangan dan kakinya. Jemarinya menyentuh sesuatu yang keras dan dingin. Setelah meraba-raba permukaan yang kasar dengan jarinya, Bob tiba-tiba menyadari benda yang disentuhnya -- Cakar Perunggu! Hatinya melonjak namun hanya untuk sesaat. Cakar itu tidak berguna untuk membebaskan tangan dan kakinya. Ia melanjutkan mencari-cari. Tangannya meraba beberapa lembar kertas dan secara naluriah memasukkannya ke dalam saku, bisa jadi kertas-kertas itu berisi nama atau alamat orang yang mempekerjakan Bly!

Ketika pencariannya sia-sia, Bob menggambar sebuah tanda tanya kasar di lantai dengan kapurnya, lalu menyibukkan diri dengan berusaha menyingkirkan selimut di atasnya, cukup untuk memungkinkannya melihat keluar melalui kaca belakang.

Baru saja ia berhasil, mobil itu berhenti. Melalui kaca yang gelap Bob dapat melihat tiang layar kapal yang menjulang tinggi dengan matahari terbenam di latar belakangnya. Bly telah membawahnya ke Seruling Belanda! Tapi mengapa?

Kemudian Bob mendengar pintu mobil ditutup dan kesunyian yang cukup lama. Sepuluh menit berlalu. Ia mulai berpikir bahwa Bly telah meninggalkannya ketika bajak laut besar itu kembali dan membuka pintu belakang.

Bajak laut itu mendesis tajam di telinga Bob. "Jangan bergerak sedikit pun -- jangan bersuara atau kau akan menjadi umpan ikan hiu! Anggukkan kepalamu jika mengerti."

Bob mengangguk.

"Bagus. Ingat, jangan bersuara sedikit pun."

Perompak itu membungkus Bob dengan selimut, mengangkatnya, dan memanggulnya. Kini Bob dapat mencium bau air laut yang asin dan mendengar deburan ombak. Ia terlonjak-lonjak sementara Bly berjalan cepat menuju pintu masuk kapal. Bob berusaha mengingat-ingat tata letak kapal besar itu dan segera menduga bahwa ia sedang dibawa ke bawah geladak.

Bly berhenti mendadak dan Bob mendengar sebuah pintu dibuka. Pencuri itu menjatuhkannya bagaikan sekantung kentang ke atas sebuah ranjang dan menyingkirkan selimut dan jala.

"Jangan macam-macam," geramnya. "Kau tahu apa yang akan terjadi..." ejeknya, menggerakkan jari di depan leher lagi.

Bob mengangguk sekali lagi, lalu, setelah Bly pergi, menggunakan jari-jarinya untuk melepaskan pita perekat di mulutnya, menimbulkan rasa nyeri. Pada saat itu Bob teringat akan pisaunya. Tentu saja! Ia ingin menendang dirinya sendiri! Ia tidak pernah pergi ke mana pun tanpa pisau lipatnya. Ia begitu panik sehingga melupakan pisau itu!

Bob menggerakkan tangannya yang terikat ke saku depannya. Ia bersyukur Bly tidak repot-repot menggeledahnya. Jari-jarinya menyentuh pisau kecil itu. Pisau itu terlepas dari tangannya yang berkeringat. Dengan berkonsentrasi penuh Bob meraih ke dalam sakunya dan akhirnya berhasil mengeluarkan pisau itu. Dengan ujung-ujung jarinya anak bertubuh kecil itu membuka mata pisau dan dengan hati-hati mulai memotong pita perekat yang mengikat tangannya.

Setelah beberapa menit tangannya bebas. Dengan cepat ia memotong ikatan pergelangan kakinya, lalu mengamati sekeliling. Ia dikurung di sebuah kabin penumpang di lantai bawah kapal. Hanya ada sebuah pintu dan tidak ada jendela kecuali jendela bundar di pintu.

Bob memeriksa pintu itu. Engsel-engselnya terlalu besar untuk dicongkel dengan pisau lipat kecilnya -- namun jendela bundarnya nampak cukup besar bagi seorang anak bertubuh kecil untuk menyusup keluar! Dengan menggunakan mata pisau petugas Catatan dan Riset mulai mencopoti baut-baut jendela.

Pekerjaan itu memakan waktu lama. Keringat menetes dari keningnya sementara ia dengan penuh semangat mulai membuka baut terakhir. Sekonyong-konyong ia mendengar suara! Siapa lawan bicara Bly? Oscar Cutter? Apakah mereka bekerja sama? Ataukah itu Pria Berpakaian Hitam -- atau Gaspar St. Vincent?

Bob menempelkan daun telinganya ke kaca, berusaha mendengar perkataan mereka. Tidak ada gunanya, mereka terlalu jauh. Kemudian ia mendengar langkah-langkah kaki mendekat. Bob melemparkan dirinya ke ranjang, menjatuhkan kapur dan pisaunya ke dalam saku, dan menempelkan potongan pita perekat kembali di mulut, tangan, dan kakinya.

Ia hanya dapat berharap Bly tidak menyadari bahwa baut-baut di jendela telah dicopot dan ikatannya telah dipotong! Perompak berwajah bengis itu masuk ke ruangan dan mengangkat Bob di bahunya. "Layanan kamar," ejeknya. "Saatnya memindahkanmu ke tempat baru. Tidak sebesar ini namun ingat, jika kau berkelakuan baik, kau mungkin bisa hidup cukup lama untuk bercerita tentang semua ini!"

BAB XV
JANGAN COBA-COBA!
"Lihat! Di atas kapal!" teriak Pete.

Jupiter dan Atticus memandang melalui kaca truk tua sementara Atticus menghentikannya di lapangan parkir kosong di depan Seruling Belanda.

"Aku tidak melihat apa-apa, Dua."

"Apa yang kau lihat, Nak?"

"Aku berani bersumpah aku tadi melihat seseorang di atas kapal!" Pete berseru seraya melompat keluar truk. "Ayo! Mungkin itu Bob!"

Atticus dan Jupiter segera mengikutinya. Ketika mereka tiba di kapal besar itu, Pete berkata tertahan, "Aku berani bersumpah..." Seruling Belanda menjulang dingin dan diam di kegelapan malam. Kabut yang beberapa saat lalu hanya sekitar 30 cm di atas permukaan laut kini mulai merambat naik dan menyelubungi kapal. Jembatan untuk naik ke kapal dinaikkan dan terdapat tanda di haluan kapal: "TUTUP." Dan di bawahnya terdapat tulisan: "Terima kasih, Anchor Bay! Seruling Belanda Akan Berlayar Pukul 8:30 Pagi."

Satu-satunya kegiatan yang terlihat hanyalah toko pancing kecil sekitar lima puluh meter dari mereka yang sedang ditutup. Sebuah mobil kecil berwarna putih terparkir di sampingnya. Seorang gadis mematikan lampu-lampu, mengunci pintu, dan kemudian pergi menaiki sepeda. Mereka kini sendirian.

Ombak memukul-mukul lambung kapal dan bunyi sosok kayu raksasa itu menimbulkan rasa seram tatkala digabungkan dengan kabut yang tebal. Pete memandang berkeliling dengan gelisah. "Mungkin aku hanya berkhayal," bisiknya. Ia tidak tahu mengapa ia berbisik, seolah-olah sudah sepantasnya dalam suasana menegangkan itu.

"Lihat ini," desis Jupiter. Pete dan Paman Atticus bergegas mendatangi tempat anak gempal itu berdiri. Ia menuding ke trotoar.

Terdapat sebuah tanda tanya besar yang digambar dengan kapur hijau di trotoar.

"Jadi Bob tadi ada di sini," Atticus mendesah. "Kita harus memeriksa kapal itu. Besok akan sudah terlambat seandainya ia disekap di dalamnya!"

Jupiter mengangguk dengan muram dan menatap Pete. "Kau tahu apa yang harus dilakukan, Dua."

Pete menelan ludah dan memandang ke atas ke arah kapal besar itu. Tambang setebal 10 cm menghubungkan sisi kapal dengan suatu gelang besi di dermaga. Pete meminta Jupe menjaga tali itu agar tidak bergoyang-goyang, lalu meludah ke kedua telapak tangannya.



Bagaikan seorang pemain akrobat sirkus, remaja atletis itu meraih tali dan mengaitkan kedua kakinya di belakang. Tanpa suara Pete bergantung di tali raksasa itu dan beringsut maju hingga mencapai sisi geladak terbawah. Sambil bergantung dengan kedua tangannya Pete memeriksa geladak, berjaga-jaga akan gerakan yang mencurigakan. Merasa aman, ia mengayunkan kakinya ke atas dan memanjat.

Matahari benar-benar menghilang ke bawah kaki langit ketika Pete menurunkan jembatan kapal. Jupiter dan Atticus bergegas menaiki kapal. Lampu-lampu jalan di sepanjang dermaga mendengung dan satu per satu menyala, memberikan cahaya yang cukup bagi para pencari itu.

Ketika mereka telah memeriksa geladak, Atticus menyuruh Pete mengambil senter di truknya. "Aku tidak mau turun tanpa lampu," bisiknya gelisah. Setelah Pete kembali dengan senter, mereka menuruni anak tangga menuju ke lantai bawah. "Seandainya aku juga membawa pemukul bisbolku!" kata Atticus. "Sepertinya ini adalah..."

"Sebuah perangkap?" suatu suara kasar memotongnya. Mereka bertiga menudungi mata dengan tangan ketika cahaya kuat sebuah senter besar menerpa. "Aku punya pistol," kata suara itu, "jadi jangan coba-coba lari. Angkat tangan dan teruslah turun. Jangan coba-coba!"

"Lakukan perintahnya, Anak-anak," kata Atticus.

Mereka berbaris dalam kegelapan lantai bawah. "Kami tidak ingin masalah, kami hanya mencari seorang teman," kata Atticus.

"Diam!" bentak suara di belakang senter. "Masuk!"

Ketiganya didorong masuk ke dalam sebuah ruangan besar dengan langit-langit sangat rendah. Beberapa jendela bundar terdapat di dinding. Lampu-lampu jalan di luar memberikan cukup penerangan untuk saling melihat. Jupiter mengingat-ingat tur yang dipimpin Cutter dan menduga bahwa mereka sekarang berada di dalam ruangan kapten.

"Jupe! Lihat!" seru Pete.

Di sudut ruangan duduklah Oscar Cutter -- pergelangan tangan dan kakinya terikat oleh tali! Peneliti itu duduk dengan mata terbelalak dan penuh ketakutan. Mereka bertiga didorong ke tempat Cutter dan diperintahkan untuk duduk.

"Aku-aku hendak menelepon dan mem-memperingatkanmu," penyelam itu tergagap, "namun penjahat ini memukulku! Aku sungguh ketakutan!"

"Diam!" suara itu membentak. "Kecuali kalau kau ingin dipukul lagi!"

Dengan cahaya lampu-lampu jalanan yang masuk Jupiter dapat melihat bahwa suara di belakang senter itu adalah Connie Bly. Perompak itu mengambil beberapa utas tali. Ia melemparkan tali-tali itu kepada Jupiter.

"Ikat teman-temanmu. Jangan ada simpul pura-pura, Gendut -- aku akan mengikatmu terakhir dan memeriksa pekerjaanmu!"

Jupiter melakukan seperti yang disuruh dan kemudian membiarkan Bly mengikat tangan dan kakinya.

"Apa yang akan kau lakukan terhadap kami?" tanya Atticus. "Apa pun itu," gertaknya, "kau tidak akan dapat kabur. Polisi sedang menuju ke sini!"

Bly menatap Atticus dengan bengis, matanya yang sehat bersinar di dalam cahaya lampu. "Kuberi tahu apa yang akan kulakukan, Pak Tua. Aku akan menyuruh kalian berjalan di atas papan, seperti yang telah kulakukan dengan detektif kecil tadi! Sekarang diam. Ingat, aku punya pistol," ancamnya, kemudian keluar.

Ketika perompak itu telah lenyap, Pete menoleh ke arah Jupiter. "Kau dengar yang dikatakannya tentang Bob?" tanyanya.

"Aku yakin ia hanya menggertak," jawab Jupiter, berusaha terdengar percaya diri sementara ia mempelajari simpul yang mengikat pergelangan tangannya.

"Jupiter benar," Atticus setuju, "ia hanyalah pencuri kelas teri, bukan seorang pembunuh."

"Aku tidak terlalu yakin," erang Oscar Cutter. "Lebih baik kita ikuti kemauannya, sehingga kita tidak perlu tahu!"

Bahkan dengan tangan terikat Jupe masih dapat mencubiti bibir bawahnya dengan penuh konsentrasi. "Aku sedang berpikir..." Ia berhenti dengan tiba-tiba, raut wajahnya yang bulat berubah aneh, nampak puas. Di luar terdengar bunyi pintu mobil ditutup.

"Berpikir apa, Pertama?" Pete berteriak. "Tolong katakan bahwa kau punya rencana!"

Namun Jupiter tetap diam sementara suara langkah-langkah kaki terdengar mendekati ruangan kapten. Connie Bly masuk ke kabin dan menyeringai buas, matanya yang sehat berbinar-binar. Ia mendapati Jupiter dan menarik kemeja anak itu dengan kasar.

"Baiklah, Gendut, bagaimana jika kau dan aku berjalan-jalan -- di atas papan pendek yang menuju ke laut!" Ia tertawa terbahak-bahak dan mulai menyeret Jupiter di sepanjang lantai.

Sekonyong-konyong semua lampu menyala, selama beberapa saat membutakan semua orang di dalam ruangan.

"Jangan ada yang bergerak!" suatu suara tegas berseru dari ambang pintu.

Jupiter berlutut dan tersentak. Ia berpaling dengan cepat ke arah Pete dan Atticus, yang juga menatap ke arah pintu dan ternganga.

Pria Berpakaian Hitam! Dan ia menggenggam sepucuk pistol!


Bersambung aja ya....
Kepanjangan ntar artikel nya...

terima kasih sudah membaca...