[Chapter 2] Feherlute Noir Army

Day 1,628, 12:13 Published in Indonesia Indonesia by Nurmillaty A.M

Last chapter :
Entah dipasang siapa.
Entah untuk siapa.
Yang jelas bom itu meledak saat aku berada tak jauh darinya, dan mendadak sekeliling terasa gelap...



They call themselves : SOLDIER
Kau tahu rasanya dihempas ke atas dan melesat jatuh di antara batuan tajam? Tidak? Baiklah, aku juga tidak tahu. Yang aku tahu adalah sekarang ini aku tidak bisa merasakan kaki kananku dan sekujur tubuhku sakit. Sangat sakit.

"Ngghh ..."

Sinar-sinar terang berebut menyapaku saat aku baru membuka mata. Butuh beberapa kerjap agar mozaik-mozaik abstrak itu lalu membentuk suatu citra yang cukup jelas. Satu wajah. Wajah lelaki berambut cepak, bermata elang, memandang tajam ke arahku.

"Sudah sadar rupanya."

Kaget, tanpa sadar aku menahan nafas.
Selusup nyeri mendera kaki kananku lagi. Aku rasa dia menyadari sebuah kerutan di dahiku karena dia lalu melongok ke arah kakiku. Kuikuti arah pandangannya.

"Oh, maaf maaf," sambil menampakkan cengiran rasa bersalah ia bangkit dari kakiku yang sedari tadi ia duduki. Ia lalu duduk di tonjolan akar sebuah pohon di dekat tempatku berbaring, "Kau tak sadarkan diri selama 1 hari, tidak terlalu buruk untuk seseorang yang tak punya pengalaman militer."

"Kau... yang menyelamatkanku?" ucapku kacau setelah agak lama melongo tanpa bisa berkata apapun.

"Bukan, aku yang memukul tengkukmu sampai kau pingsan dan buru-buru menyeretmu menjauh kemari saat bom itu meledak. Bom itu salah satu sisa peperangan sebelumnya yang lupa dijinakkan dan aku bertugas memastikan bahwa saat meledak keadaan di sekitarnya aman. Jadi secara teknis kau adalah korban, dan omong-omong namaku Arfandi Danang Arif Rahman Muhammad Ali Bagus Kurniawan Putra Sejati."

"Kau tentara?" Sial. Otakku pasti cukup kacau karena dua kali bertanya yang tidak ada hubungannya dengan obrolan. Apa selama tak sadar aku mengalami benturan?

"Sayangnya iya." jawabnya setelah berpikir-pikir sejenak. Aku manggut-manggut, sebelum akhirnya berusaha untuk duduk. Tidak sesulit dugaanku, yang membuatku sadar bahwa kadang pikiranku ini agak overlebay.

"Tadi... namamu siapa?" tanyaku pelan.

"Oh, panggil saja Nang." Ia mengulurkan tangan sambil tersenyum ramah, pandangan yang sama sekali berbeda dari tatapan tajam di awal tadi. "Aku Arcelven." Kami berjabat tangan, dua ayunan tegas. Khas tentara yang kukenal di Bumi, lugas dan tangkas.

"Kau bilang kau tentara, bukan? Aku baru sekali ini melihat tentara di sini." ucapku pelan. Alis Nang terangkat dan ia pun bertanya heran, "Astaga, kau ini baru lahir atau apa?"

"Aku berasal dari Bumi. Terdampar di planet ini- Erepublik, maksudku, sebulan yang lalu. Mengapa?"

"Oh, pantas kau belum ada pengalaman militer. Dengar, aku juga dari Bumi, setahun yang lalu aku kemari. Hampir semua orang di sini berasal dari Bumi. Beberapa dari kami ada di sini karena terkena sial sepertimu, setengah yang lain karena mendapat informasi dari temannya yang terlebih dahulu terkena sial."

"Jadi, semua yang ada di sini sial?"

"Tepat."

Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. Sudah lama aku tak percaya pada keberuntunganku sendiri, demi apa yang membuatku berani memberangkatkan pesawatku meninggalkan Bumi? Benar-benar sial.

"Kau tak tertarik menyelami dunia militer?"

Aku menoleh. Nang hanya mengangkat bahu sambil berkata, "asal kau tahu, ya, militer itu poros utama di planet ini. Tiap hari selalu ada perang. Kejadian seperti yang baru kau alami ini tak sekali-dua kali saja, tetapi sering."

"Kalau kau mau, masuk saja ke Military Unitku. Ada logistik weapon dan food untuk berperang tiap hari dan bimbingan militer. Jadi tentara di sini lebi dari sekedar memanggul senjata. Kau juga ikut bermain strategi dan manage waktu turun, plus mempelajari peta dan statistik kemampuan musuh. MU ini cuma MU sederhana, tapi aku jamin kau akan kerasan."

Kepalaku agak pusing mendengar jabaran Nang, tapi tak dapat kusangkal bahwa aku tertarik. Sebulan hanya bekerja dan mengurung diri di kamar tentu bukan rutinitas yang menyehatkan, salah-salah aku bisa mengalami penuaan dini. Ini namanya kesempatan bagus, tak dicari tapi datang sendiri. Daripada terjebak tanpa tahu apapun di situasi seperti tadi lagi? Sebaiknya kucoba saja, apa salahnya.

"Baiklah, aku mau."

Senyum ramah itu tampak lagi di wajah Nang. Ia mengambil tas hijaunya dan bangkit, menatapku sejenak lalu menunjuk ke arah utara.

"Ayo, ikut aku ke markas."


Feherlute Noir Army
"Selamat datang di markas Feherlute Noir Army," ujar Nang riang saat kami sampai di depan sebuah tanah lapang. Aku mengernyit. Markas? Ini? Tidak ada apapun di sini 😑 Transparankah?

Aku diam saja selagi Nang mondar-mandir di sekitar tanah lapang itu. Sedetik kemudian ia berjongkok, seperti mencari-cari sesuatu. Lalu ia bangkit dan menghentakkan kaki kirinya di satu titik.

Berikutnya aku melongo.
Nang melakukan beberapa gerakan aneh yang hampir-hampir membuat tawaku meledak. Andai tanah tidak tiba-tiba bergoncang, tentu sudah tersembur segala tawa yang kutahan-tahan. Sebuah lingkaran berdiameter 3m terbentuk, lorong bersambung di bawahnya. Nang mengajakku masuk. Aku menurut.


BERSAMBUNG

Apa Feherlute Noir Army sebenarnya ? Apakah itu semua hanya alibi Nang untuk meng-apa-apa-kan Arcelven? Apa yang ada di ujung lorong itu? PENASARAN?!

Nantikan kelanjutannya di Chapter 3! XD

Best Regards,



Nurmillaty A.M
Chapter 1 : Intermezzo