[CERBUNG] HIKAYAT KADIROEN (27)

Day 3,226, 15:36 Published in Indonesia Colombia by kerikil

ow dunia fana(tik) yang sepi dan membosankan tanpa ada arahan dari eGOV, ini perang mau di gimanain, tau mau menikmati gelimangan bonus yang di tawarkan mama rika? entahlah..

daripada pusing mikirin aircraft training ground yang entah kapan akan muncul dan besaran biaya buat beli TG(yang jelas mungkin butuh banyak gold), lebih baek kita baca hikayat lama,

selamat membaca.

episode sebelumnya.

.....dua anak itu bisa bermain bersama-sama.

Sariman yang merasa kaya, bisa menyamai Tjitro karena masing-masing mempunyai lei dan grip, mereka lalu bermain-main. Tidak hanya bermain lei-leian dan cakar-cakaran ayam saja di lei itu. Tetapi Sariman saban hari bertanya pada Tjitro, apa saja yang tadi diajarkan di sekolah. Sehingga Tjitro menceritakan itu dan saban hari menirukan gurunya, sedang Sariman masih pura-pura diajar sebagai muridnya. Sebaliknya, kepura-puraan itu, oleh Sariman diingat betul, sehingga lalu saban sore ia bisa belajar dari Tjitro. Oleh karena itu, sewaktu Tjitro berumur tujuh tahun, maka kepandaiannya dalam hal tulis-menulis sama dengan Sariman.

Begitulah, maka saban sore Tjitro harus belajar lagi, sebab mesti menjadi gurunya Sariman. Maka Tjitro akhirnya menjadi murid yang terpandai, ia di kelasnya mendapat rangking satu. Hal yang demikian itu memberi pengertian pada Tjitro dan Sariman bahwa mereka harus bersahabat terus dan apa yang dahulunya hanya pura-pura, sekarang lalu ia kerjakan bersama-sama sebagai keinginan yang tetap. Sehingga lalu mereka saban sore belajar bersama-sama. Hal itu membuat senangnya orangtua Tjitro dan ibunya Sariman. Tetapi, mulai umur tujuh tahun itu, maka Sariman terpaksa harus membantu ibunya mencari makan. Sehingga ia saban pagi sampai jam satu siang harus menyabit rumput untuk dijualnya. Oleh karena Sariman bisa mencari uang, maka lalu ia juga bisa membeli buku, potlot, tinta dan sebagainya. Sehingga waktu Tjitro berumur sepuluh tahun, sudah tamat belajarnya di sekolahan klas 2 itu, maka Sariman juga bisa menyamai kepandaian Tjitro.

Semenjak tahun itu, maka Tjitro oleh ayahnya disuruh mencari kerja, dan lalu menjadi leerling letter Zetter di salah satu drukerij di Kota G tersebut. Adapun Tjitro mempunyai adik perempuan yang waktu itu berumur enam tahun, mulai disekolahkan juga mengganti Tjitro. Sebab meskipun ayah Tjitro hanya seorang tukang batu, tetapi ia ingin maju dan ingin melihat anak-anaknya, Tjitro dan Sarinem (adik Tjitro) menjadi pintar. Begitulah, orang yang maju, senang menyekolahkan anak perempuannya.

Ialah pada waktu itu maka Sariman sering menjual rumput pada priyayi yang anaknya sudah diceritakan di muka. Pada suatu hari, maka menurut pendapat anak priyayi tadi - yang sudah berumur sebelas tahun dan sekolah di EuropeescheLagereSchool - Sariman kurang menghormati dirinya. Sebab Sariman berani memanggil "mas" sedang si anak priyayi minta dipanggil "ndoro". Sehingga di antara dua anak tadi terjadi perselisihan yang ramai. Anak priyayi tadi memaki-maki pada Sariman:
"Kamu anaknya orang desa, bodoh, goblok!" dan sebagainya.
Hati Sariman menjadi amat marah dikatakan bodoh dan goblok. Sebab ia merasa meskipun ia tidak sekolah, tetapi dengan kehendaknya sendiri, sekarang ia sudah bisa menulis dan mempunyai kepintaran yang sama dengan anak yang di sekolahan. Sesudah ia menjadi sabar kembali maka ia ingat bahwa percuma kalau ia hanya marah belaka. Oleh karena itu, ia lalu berniat yang kuat untuk menambah kepintarannya, agar ia bisa melebihi anak priyayi yang oleh Sariman dianggap besar kepala itu.

Sariman memperbincangkan niatnya itu bersama sahabatnya Tjitro serta orangtua mereka. Karena Tjitro baru saja mengerti bahwa di sekolah H.I.S. di Kota G itu saban sore diajarkan bahasa Belanda dan lain-lain untuk menuntut ujian Kleinambtenaars-examen, maka mereka membikin keputusan untuk meneruskan belajar di situ. Tetapi untuk bisa membayar biayanya, maka saban pagi Sariman terpaksa bekerja lebih keras agar ia bisa memotong rumput yang lebih banyak dari biasanya. Dan saban hari Sariman menabung f.0,10 untuk ongkos sekolah itu. Adapun Tjitro mendapat bantuan dari ayahnya. Untuk keperluan sekolahnya itu terpaksa Tjitro berhenti merokok dan ibunya terpaksa berhenti menginang. Begitulah, dua anak desa tadi bisa belajar terus, dan saban malam sampai jam sepuluh, kita bisa melihat mereka sedang belajar, bersanding dengan lampu kecil. Mereka tidak memikirkan kesenangan seperti anak-anak lainnya tetapi hanya mencari kepintaran belaka.

Empat tahun lagi, maka mereka sudah bisa berbahasa Belanda, ilmu hitung dan sebagainya. Mereka sudah cukup kepandaiannya untuk menuntut ujian Kleinambtenaars-examen.

Oleh karena itu, pada suatu hari Sariman dan Tjitro menempuh examen tersebut bersama-sama anak priyayi yang besar kepala tadi. Mereka berdua bisa lulus menempuh ujian itu dan mendapatkan zeer-goed, sehingga menjadikan senangnya hati orangtua Sariman dan Tjitro. Adapun anak priyayi yang besar kepala tadi - orang yang besar kepala selamanya bodoh - malah tidak bisa menempuh ujian. Dan sewaktu Sariman menjadi HoofdRedacteur Sinar Ra’jat dan terkenal cerdik dan pintar pun, si anak priyayi masih, menjadi hulp-schrijver di kantor salah seorang Asisten Wedono. Seandainya priyayi tadi bijaksana tentu anaknya akan dididik supaya menjadi pintar dan ia tentu tidak menjadi congkak; masih anak-anak sudah minta dihormati. Lain halnya dengan anak priyayi yang bijaksana; mereka malahan menghormati serta mencintai dan berbelas kasihan kepada semua orang desa atau orang kecil. Priyayi yang bijaksana tentunya membantu rakyat dan tidak menghina.

Sariman dan Tjitro sekarang bisa merasakan sendiri, bahwa anak orang desa bisa lebih pintar daripada anaknya priyayi yang congkak. Kalau anak orang desa itu mempunyai niat dan dijalankan dengan sungguh-sungguh, niscaya bisa mendapat waktu serta tempat belajar. Sebaliknya, lantas ia juga semakin mengerti kesusahan golongan mereka, orang kecil, serta tidak habis heran, mengapa H.I.S. dan sekolah yang baik-baik hanya disediakan untuk anak-anak priyayi saja. Hal itu jelas membedakan hak sesama manusia. Hal itu menimbulkan niat dalam hati Tjitro dan Sariman untuk terus berusaha membantu si kecil, yaitu "kaum kromo" atau rakyat supaya golongan ini bisa dipandang sebagai manusia juga.

Tetapi, mereka juga mengerti bahwa untuk membantu rakyat maka mereka harus mempunyai alat atau modal yang kuat, yaitu pandangan yang luas dan ilmu pengetahuan yang lebar. Sebab inilah sumber kekuatan dan kekuasaan manusia. Itulah sebabnya sesudah mereka lulus ujian Kleinambtenaars-examen, maka mereka lalu bekerja di salah satu kantor yang buka sampai jam 2 siang. Di situ mereka menjadi klerk dan masing-masing mendapat gaji f.25,- per bulan. Mereka bekerja itu tidak untuk mencari uang buat plesir-plesir, namun hanya untuk modal menambah ilmu pengetahuan lagi. Begitulah saban sore hingga tengah malam, dua anak muda tadi belajar terus ilmu alam, ilmu bumi, ilmu pemerintahan negeri, ilmu hukum, ilmu agama, ilmu pertanian, ilmu yang mempelajari hal ihwal hewan dan lain-lain. Sudah barang tentu dalam berbagai jenis ilmu itu, mereka tidak bisa mendapatkan kepandaian seperti halnya seorang profesor. Akan tetapi, dengan belajar sungguh-sungguh, mereka lalu bisa tahu dan mengerti pasal semua ilmu sehingga dari macam-macam ilmu itu mereka bisa menarik faedah yang besar, yakni berpandangan luas dan berilmu pengetahuan yang lebar. Adapun mereka mempelajari hal-hal itu dari berbagai jenis buku berbahasa Belanda. Pada zaman itu buku yang berbahasa Melayu hanya sedikit sekali. Mereka membeli buku-buku itu saban bulan dari Toko V.D. Dan sebagai penuntun belajar, mereka membayar seseorang guru Belanda yang saban minggu mau memberikan pelajaran selama 2 jam lamanya. Waktu yang sedikit itu, oleh kedua pemuda tadi hanya dipergunakan untuk meminta keterangan-keterangan dalam hal-hal yang belum bisa mereka mengerti dari buku-bukunya.

Berbareng-bareng niatbesi mencari luasnya pandangan dan kepandaian itu, maka adik perempuan Tjitro juga ikut belajar dengan setia. Sehingga ia bisa memperoleh Kleinambtenaars-examen juga di waktu berumur 18 tahun.
Sudah tentu, ketiga muda-mudi tadi juga tidak bodoh dan mau membiarkan tubuhnya rusak. Oleh karena itu, mereka juga melakukan gymnastiek; Olahraga tidak mereka lupakan. Saban minggu mereka jalan-jalan dan sebagainya. Itu semua untuk obat mereka kalau sedang capai belajar. Tetapi semua yang mereka kerjakan, bukannya hanya mencari kesenangan untuk kepentingan diri sendiri secara lahiriah (badan) atau batin (pikiran dan hatinya). Hubungan tiga muda-mudi itu akhirnya membuahkan cinta kasih antara Sariman dan adik perempuan Tjitro. Sehingga sewaktu Sariman menjadi hoofd-redncteur-nya Sinar Ra’jat, ia lalu kawin dengan gadis tersebut. Perempuan itulah yang diceritakan dalam awal Bagian VI ini.

bersambung...

nantikan episode selanjutnya..
terimakasih.