[CERBUNG] HIKAYAT KADIROEN (26)

Day 3,190, 17:03 Published in Indonesia Colombia by kerikil

selamat pagi, siang, malam atau apalah itu waktu2. mungkin kawan2 sudah lupa akan cerita kadiroen atau yang dahulu sempat membaca ini cerita. maap jika terbitnya ini cerita tidak stabil. saya harap tak masalah bagi kawan-kawan semua kapan ini cerita akan terbit, yang penting "aircraft war" jalan terus. (naikin rank)

selamat menikmati..

siksaan dunia yang amat berat sekalipun...


Sudah dua hari Kadiroen bertamu di rumah Sariman, sambil menunggu keputusan vergadering yang akan menentukan apakah Kadiroen akan diterima menjadi mede-redacteur dalam surat kabar Sinar Ra’jat atau tidak. Pada sore hari kedua, sewaktu mereka ngobrol sambil minum teh, maka Sariman berkata kepada Kadiroen sambil menyatakan kesedihan hatinya:
"Saudara, memang susah nasib sahabat kita Tuan Weldoener. Ia menjadi hoofd-boekhouder di toko besar. Ia kerja di sini baru kira-kira dua tahun. Maka sebentar lagi tentu ia akan dipecat dari pekerjaannya. Tuan Weldoener memang paling baik akal budinya. Dan karena sebagai seorang sosialis sejati, ia membantu gerakan rakyat Hindia, maka ia dibenci oleh kaum yang bermodal. Sekarang kita mesti berusaha meringankan beban nasib Tuan Weldoener yang menjadi korban ini."

Mendengar hal itu, Kadiroen menjadi terkejut dan ikut merasakan kesedihannya. Ia menanyakan kabar itu asalnya dari mana. Tetapi Sariman menjawab degan pertanyaan pula:
"Apa Saudara tidak membaca tulisan pertama dalam surat kabar Belanda L hari kemarin?"

"Ya, saya juga sudah membacanya. Tulisan itu mencela keras Tuan Weldoener itu, sebab tuan ini dalam vergadering P.K. di Kota M, turut berbicara dan mengajak rakyat mengubah kapitalisme menjadi sosialisme. Dalam tulisan tersebut sama sekali tidak diutarakan bahwa Tuan Weldoener itu akan dipecat dari pekerjaannya," kata Kadiroen.

"Memang dalam tulisan itu tidak diutarakan, tetapi Saudara harus ingat, sampai dua kali tulisan tersebut menyebutkan pangkatnya Tuan Weldoener yang bunyinya begini: ‘Weldoener Hoofd-Boekhouder Toko F, Milik Kapitalis C’ sedang tulisan 'Hoofd-Boekhouder Toko F' ditulis dengan cetak miring. Dalam politik halus, maka maunya itu supaya Kapitalis C, memecat Tuan Weldoener dari jabatannya Hoofd-Boekhouder. Sebab semua orang sudah tahu bahwa watak Tuan Weldoener yang suka membantu gerakan rakyat Hindia itu sudah tidak bisa diubah lagi. Hal yang mana diterangkan juga dalam bagian penghabisan tulisan itu begini: 'Tuan Weldoener yang ada di negeri Belanda ternyata tidak mau mengubah keinginannya untuk melawan kapitalisme yang ada di Hindia. Ia tetap mau meneruskan tekad hatinya itu dengan teguh. Sungguh Tuan ini membikin masalah di Hindia'. Mengingat besarnya pengaruh surat kabar L, maka Tuan C tentu akan menuruti nasihat surat kabar itu untuk memecat Tuan Weldoener dari tokonya," baru saja Sariman menjelaskan begitu maka datang seorang jongos membawa surat. Surat itu dari Tuan Weldoener dan bunyinya begini:

Sahabat Sariman,
Tadi pagi saya diminta oleh saya punya pembesar, Tuan C, supaya saya melepaskan diri semua perhubungan dengan gerakan kaum kita socialisten dalam P.K. Adapun kalau saya tidak menurut dan tidak suka tunduk pada kemauan tuan C, maka mulai bulan di muka saya dapat lepas. Sudah tentu saya memilih dilepas ketimbang meninggalkan kaum kita. Supaya kaum kita mendapat tahu, bagaimana akalnya kaum bermodal mau menghalang-halangi gerakan P.K. dengan kelepasan saya ini, haraplah ini perkara sahabat suka membicarakan dalam Sinar Ra’jat.
Memujikan Selamat,
Weldoener


Surat yang pendek itu juga dibaca oleh Kadiroen. Jadi dugaan Sariman memang betul dan cocok. Kadiroen sekarang terpaksa mengakui bahwa Sariman adalah seorang Hoofd-Rectacteur yang amat tajam pikirannya. Memang sudah lama Sariman menunjukkan dalam tulisan-tulisannya bahwa ia seorang jurnalis yang amat bijaksana, luas pandangannya, cerdik serta tajam dugaannya.

Kadiroen mengakui, meski Sariman masih muda ketimbang dirinya maka wajib ia menjadikan Sariman sebagai gurunya. Sebab Sariman melebihi kebiasaan dalam semua hal. Kelebihan dari kebiasaan itu pun bisa Kadiroen ketahui selama dua hari hubungannya itu. Oleh karena itu, Kadiroen bertanya kepada Sariman dan istrinya:
"Saudara, kalau saya jadi ditetapkan menjadi mede-redakcteur, apa Saudara sepakat kalau saya mondok kumpul dengan kamu berdua. Sebab saya mau jadi muridmu, guruku Sariman!"

Sariman dan istrinya mendengarkan pertanyaan yang keluar dengan air muka yang lucu oleh Kadiroen itu, menjadi tertawa. Dan dari mulut keduanya berbareng-bareng keluar jawaban, "Sudah tentu sepakat."

Istri Sariman menyatakan bahagia bahwa Kadiroen mau berkumpul serumah. Sedang Sariman berkata:
"Ha,ha... Bagaimana yang lebih muda menjadi guru. Tidak Saudara Kadiroen. Saya tidak mau menjadi gurumu. Tetapi ingin menjadi sahabat dan saudaramu."
"Kamu boleh begitu sesukamu, tetapi saya memandang kamu sebagai guruku," kata Kadiroen.

Akhirnya, oleh vergadering, Kadiroen diterima menjadi mede-redacteur, ia lalu serumah dengan Sariman yang olehnya dipandang sebagai gurunya itu.
Mengetahui semua hal di atas, maka Tuan-Tuan dan Nyonya-Nyonya, para pembaca, barangkali ingin tahu lebih jauh. Siapakah Sariman dan istrinya itu. Di sini penulis akan terangkan.

Sariman ialah anaknya Pak Saridin. Seorang tukang rumput - ia menjualnya di Kota G. Tetapi sewaktu Sariman baru berumur lima tahun, ayah dan kakaknya yang bernama Saridin meninggal dunia. Oleh karena itu, maka Sariman tinggal hidup dengan ibunya yang menjanda. Di rumah Jawa yang terbuat dari atap dan berukuran kecil sekali, Sariman dan ibunya hidup miskin, itu sudah jelas. Ibu Sariman bisa mempertahankan hidup bersama-sama anaknya karena berjualan nasi-sayur. Karena saking miskinnya itu, sudah barang tentu rumahnya hanya bisa untuk tidur dan memasak nasi sayur yang dijual tersebut. Jadi meskipun ditinggal suaminya, Mbok Sariman tidak khawatir.

Sepanjang hari Mbok Sariman berjualan sepanjang jalan bersama anaknya yang masih kecil. Pada suatu hari ada seorang priyayi yang juga mempunyai anak baru berumur enam tahun sedang membeli dagangan Mbok Sariman. Anak priyayi tersebut waktu itu sedang pulang dari sekolah dan membawa lei. Sebagai anak yang sama kecilnya, maka dua anak itu satu sama lain berkenalan dan terus menjalin persahabatan. Sariman bertanya apa yang dibawa anak priyayi tersebut dan mengetahui bahwa itu adalah lei untuk peralatan sekolah.

Mulai hari itu, saben-saben Sariman menanyakan kepada ibunya, buat apa lei itu dan apa artinya sekolah. Kalau mereka kebetulan berjualan di muka sekolahan, di situ ibunya Sariman menerangkan kepada anaknya apa yang dinamakan sekolah. Dengan itu, maka Sariman kecil pada saat itu mulai tertarik untuk sekolah. Begitulah, maka ia sering menangis kepada ibunya supaya dibelikan lei dan disekolahkan. Tetapi karena miskinnya - sebab pada waktu itu di Hindia tidak ada sekolahan yang tidak bayar - maka sudah barang tentu yang ibunya Sariman tidak bisa menuruti kehendak anaknya. Pada waktu Sariman berumur enam tahun, dengan susah payah ibunya bisa membelikan lei dan grip.

Kebetulan di sebelah Mbok Sariman tinggal seorang tukang batu, yang hidupnya bisa sedikit kecukupan dan bisa menyekolahkan anak lelakinya yang juga baru berumur enam tahun, di sekolah kelas dua. Anak itu adalah yang bernama Tjitro dan sewaktu besar menjadi propagandis P.K. yang sudah diceritakan dalam Bagian IV buku ini.

Sebagai anak yang sama kecilnya dan berumah begitu dekat satu dengan yang lainnya, Sariman lalu menjadi sahabat karib Tjitro. Tetapi kalau Tjitro pagi-pagi pergi ke sekolah, Sariman pun juga harus pergi, namun ikut berjualan nasi bersama ibunya. Hanya bila sore jam tiga sampai jam enam, dua anak itu bisa bermain bersama-sama.

bersambung...


nantikan episode selanjutnya..
terimakasih.