[Mensos-Lomba] Laksamana Wanita Pertama di Dunia

Day 1,942, 13:40 Published in Indonesia Indonesia by meutuah




Dirinya seorang perempuan, tapi tidak cengeng. Cerdik, tegas, namun juga ramah dan pintar berdiplomasi. Darah militer mengalir deras di dalam dirinya. Ayah dan kakeknya adalah Laksamana, pemimpin prajurit yang tak takut mati dihantam meriam kapal musuh. Dialah Laksamana Malahayati, pemimpin wanita-wanita hebat yang suaminya terbunuh di medan perang. Dialah wanita tangguh yang memimpin armada laut Kesultanan Aceh yang terkenal kuat itu.

Usai menamatkan pendidikan agamanya di pesantren, pemilik nama asli Keumalahayati ini memilih masuk Akademi Militer Aceh, Ma’had Baitul Maqdis. Prestasi dan kepintarannya membuatnya mendapatkan kebebasan untuk memilih masuk jurusan angkatan darat atau angkatan laut. Keakraban dengan laut membuatnya mudah saja menjatuhkan pilihan pada jurusan angkatan laut.

Bagaikan jalannya cerita fiksi di negeri dongeng, di akademi ini pula Keumalahayati bertemu dengan calon suaminya kelak. Laki-laki yang beruntung itu tak lain adalah senior sekaligus mentornya sendiri. Setelah menamatkan pendidikan, sepasang kekasih itupun meresmikan cintanya dalam ikatan pernikahan.



Kemenangan di tangan Kesultanan Aceh atas perang sengit di Teluk Haru (Selat Malaka), antara armada pasukan Portugis dan Kesultanan Aceh. Namun kemenangan ini harus dibayar sangat mahal dengan gugurnya dua laksamana pemberani dan ribuan prajurit Aceh lainnya. Malang bagi Keumalahayati, suaminya termasuk salah satu di antara ribuan pasukan yang gugur tersebut.

Keumalahayati murka. Dalam duka dirinya bangkit dan menyerukan pembalasan. Pada Sultan Alaidin Riayat Syah al Mukammil dirinya meminta izin untuk membentuk armada perang wanita. Seluruh prajuritnya diisi perempuan-perempuan pemberani yang suaminya gugur di Teluk Haru.

Sultan mengabulkan permintaannya dan mendaulatnya sebagai Laksamana Armada Inong Balee (Armada Janda). Awalnya armada ini beranggotakan 1000 prajurit wanita. Kemudian bertambah hingga mencapai 2000 prajurit.



22 Juni 1596, 4 kapal Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman berlabuh di pelabuhan Banten. Lalu kembali ke Belanda.

21 Juni 1599, ekspedisi kedua dilakukan. Kali ini kapal-kapalnya dipersenjatai dan dipimpin oleh Cornelis de Houtman dan Frederick de Houtman. Rombongan disambut baik oleh kesultanan Aceh. Aceh menjual lada kepada mereka.

Namun kali ini, Sultan mendapat informasi adanya gelagat tidak baik dari utusan dagang Belanda ini. Sultan kemudian memerintahkan Laksamana Malahayati untuk menyerang ekspedisi. Laksamana Malahayati melakukan tugasnya dengan sangat baik. Dalam penyerangan tersebut, Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya terbunuh dan Frederick de Houtman ditangkap lalu dijebloskan ke dalam penjara.

Frederick de Houtman mendekam dalam tahanan Kerajaan Aceh selama 2 tahun. Selama di penjara, ia menulis buku berupa kamus Melayu-Belanda yang merupakan kamus Melayu-Belanda pertama dan tertua di Nusantara. Peristiwa penyerangan kapal Belanda yang dilakukan oleh Laksamana Keumalahayati tersebut dilukiskan oleh Marie van C. Zeggelen dalam bukunya yang berjudul "Oude Glorie", hal. 157, yang dalam bahasa lndonesianya kira-kira sebagai berikut : Di kapal Van Leeuw telah dibunuh Cornelis de Houtman dan anak buahnya Frederick Houtman, oleh Keumalahayati sendiri dan penukis rahasia diserang, kemudian sebagian tawanan dibawa ke darat. Davis dan Tomkins, keduanya terluka, tinggal di kapal bersama mereka yang mati dan terluka. Dan pada tengah hari kabel pengikat kapal diputuskan dan merekapun berlayarlah.



Selain sebagai Laksamana, Keumalahayati juga merupakan diplomat unggul yang pernah menangani urusan luar negeri kerajaan Aceh. Setiap utusan dari luar negeri harus menghadapnya terlebih dahulu sebelum menghadap sultan. Setelah kesepakatan-kesepakatan bilateral tercapai, baru kemudian tamu tersebut diperbolehkan menghadap sultan.

Keumalahayati juga dikenal cerdik. Dirinya kerap menyelesaikan urusan internal kerajaan yang rumit. Seperti membantu pembebasan Darmawangsa, tahanan politik Sultan Ali Riayat Syah. Bersama Darmawangsa, Keumalahayati bertempur melawan pasukan Portugis dan memenangkan pertarungan.

Usai memenangkan pertarungan, rakyat yang semakin tidak senang dengan Sultan Ali Riayat Syah akhirnya menurunkannya. Kemarau panjang, perang saudara, dan ancaman Portugis yang diabaikannya hanya sedikit dari kecacatan Sultan dalam memimpin kerajaan. Darmawangsa kemudian didapuk menjadi Sultan Aceh berikutnya. Darmawangsa ini lebih dikenal sebagai Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Di bawah kepemimpinannya, Aceh mencapai puncak kejayaan.

Laksamana Malayahati memang sudah tiada. Namun semangatnya melawan tirani akan terus membara.



Ditulis di kediaman TS,
Jalan Laksamana Malahayati, Km. 14, Aceh Besar.