Nur Hasanah: bagian pertama

Day 2,698, 23:56 Published in Indonesia Colombia by Fitri Elena

Cerita Cinta
Cimerak, 11 November 2013

Cerita Cinta


“Nur Hasanah” wali kelasku memanggil namaku. Aku dan ibuku segera menghampirinya.
“Lebih rajin lagi belajarnya ya”.
Ibu Ani, wali kelasku berkata sembari menyerahkan buku rapotku kepada ibuku. Ibu Ani kemudian memberi senyuman ke arahku.
“Terima kasih bu” ibuku menjawab.

Kami berjalan meninggalkan ruang kelasku menuju arah gerbang sekolah. Banyak anak-anak murid disertai orang tua mereka hari ini. Tak sedikit pula yang membawa anak-anak kecil, mungkin adik si murid. Riuh ramai sekolahku hari ini. Hari ini rapot kelasku, kelas 1 cawu pertama, dibagikan juga.

Aku dengar dari salah satu guruku bahwa tahun depan ada kemungkinan sistem cawu akan dihapus dan diganti dengan sistem semester. Untuk alasan memperbanyak waktu belajar yang aktif, yang berarti waktu liburan kami murid-murid juga akan berkurang. Dilihat pun akan segera ketahuan bahwa banyak murid-murid yang tidak setuju jika tidak mau dibilang menolak terhadap sistem ini. Alasannya tentu waktu liburan yang jadi berkurang secara drastis tadi. Wajar saja, kami kan masih anak-anak. Masih ingin banyak bermain daripada belajar tentunya.

Apapun itu tentunya sistem semester ini akan diterapkan juga akhirnya. Kata guruku juga tinggal bagaimana nanti kita yang harus beradaptasi dengan sistem baru tersebut. Kadang terfikir juga olehku apakah mereka yang memutuskan terhadap penggunaan sistem ini sudah memikirkan kami murid-murid yang akan menanggung bebannya? Entahlah. Lagipula aku masih kelas 1, untuk apa aku memikirkannya.

Mulai besok sekolahku, MTs Negeri 1 Cimerak, berarti akan libur.

Kutinggalkan gerbang sekolah bersama ibu. Hari ini ibu memilih untuk naik ojek dari persimpangan yang ada dipersimpangan jalan dekat sekolahku. Keluargaku sebenarnya mempunyai sebuah sepeda motor juga, tapi ibuku tidak bisa mengendarainya, selain ibuku juga yang memang tak ingin mengendarainya. Ibu beranggapan perempuan yang mengendarai sepeda motor tidak pantas. Ibu memang masih termasuk generasi kolot di desaku. Biasanya aku berjalan pulang bersama teman-teman sekelasku. Cukup jauh sebenarnya jarak rumahku ke sekolah. Tapi banyak juga murid-murid yang berasal dari kampungku, jadi walau tidak sekelas pun masih banyak juga yang aku kenal.

Sembari berjalan pulang kami sering membicarakan apa saja yang tadi terjadi di sekolah. Dari hal yang sepele seperti siapa yang hari ini mendapat hukuman karena tidak mengerjakan pekerjaan rumah, sampai hal-hal yang tidak berguna lainnya. Sembari berjalan melewati jalan raya yang hanya satu-satunya di desa kami ini, tidak terlalu ramai juga jalan raya ini karena memang bukan jalur utama pula.

Beberapa ratus meter kemudian kami berbelok ke arah kiri di sebuah persimpangan yang dekat dengan sebuah rumah temanku, dia yang terdekat dari sekolah. Kami berjalan melewati sebuah jalan desa yang membelah beberapa petak sawah di desa ini. Jalan di desa ini sudah beraspal, tapi hanya aspal sekedarnya saja, hanya sekedar bisa dilalui manusia saja kufikir.

Selepas melewati sawah ini maka akan menemukan sebuah persimpangan lagi. Aku mengambil yang ke arah kanan. Dari persimpangan ini kami masih harus berjalan melewati sebuah desa lain sebelum benar-benar memasuki desaku. Ada beberapa teman kami yang tinggal di desa ini. Setelah berpisah dengan beberapa teman kami yang tinggal di desa ini, kami melanjutkan perjalanan pulang kami.

Setelah beberapa menit berjalan melanjutkan perjalanan kami dan juga melewati beberapa petak sawah, akhirnya sampai juga di desaku. Aku yang pertama memisahkan diri dari rombongan teman-teman. Tak terasa memang perjalanan pulang sekolah ini jika bersama teman-teman. Tentu saja esok kami masih akan berangkat sekolah bersama lagi.

“Rangking berapa?” kakek langsung menyambutku.
“Rangking 1 lagi” ibu yang menjawab.
“Pintar cucu kakek” kakek tersenyum kepadaku sembari mengusap kepalaku yang tertutup kerudung. Aku membalas senyumnya sembari mencium tangannya.

Dari kelas 1 SD memang sudah terlihat kepintaran yang aku miliki, banyak yang bilang jika itu adalah warisan dari nenekku yang meninggal sesaat sebelum aku lahir. Kata mereka kepintaran nenekku diwariskan kepadaku. Nenekku sewaktu beliau hidup merupakan perempuan terpandai di desa kami. Hanya nenekku perempuan yang bisa membaca dan menulis pada waktu itu di desa kami. Sekarang aku yang mewarisi kepintarannya tersebut, menurut cerita beberapa orang di desaku. Aku percaya saja.

Selesai berganti pakaian aku segera ke warung milik keluargaku. Ternyata ibu sudah lebih dulu di warung. Seperti biasa aku membantu di warung bersama ibu. Tiap hari sepulang sekolah aku membantu sebisaku di warung, meskipun sebenarnya aku lebih banyak hanya melihat-lihat saja kegiatan ibu melayani orang-orang yang berbelanja kebutuhan mereka diwarung kami ini. Disebut membantu pun hanya sedikit saja sebenarnya.


“Nur” terdengar suara Fitri memanggilku.
“Rangking berapa?” Fitri bertanya.
Kutunjukkan jari telunjukku di depannya. Wajahnya berbinar seolah sudah tahu saja sebelumnya.

“Main yuk....”
Kami bermain dipekarangan rumahku. Fitri sahabatku dari kecil, rumah kami pun berdekatan. Rumah Fitri berada dibelakang rumahku. Hanya kami berbeda sekolah. Fitri di SLTP Negeri 1 Cimerak.

Setelah lelah bermain, kami berteduh di bangku bambu panjang di depan rumah.

“Hei!” teriakan Fitri mengejutkanku.
“Kenalan yuk sama temanku” Fitri mengajakku.

Rupanya seorang temannya yang tadi dipanggilnya dengan berteriak. Temannya berdiri dipinggir jalan menunggu kami. Seorang pria.


Cidadap 11 November 2013

Mengenang Nur Hasanah