Cerpen Kita: TIARA

Day 2,702, 05:22 Published in Indonesia Colombia by Fitri Elena

Cerpen Kita: TIARA
TIARA (Tentang Impian Asa & Rasa)


“Ibu!” teriak Ani putriku sembari memeluk diriku dari belakang. Kutengok wajah polos putriku yang terlihat ceria meski ada sedikit bayang letih setelah selesai bermain-main dengan teman-teman sebayanya.

Setiap sore selesai belajar mengaji di surau sederhana ini memang putriku tak langsung mau pulang ke rumah dulu. Selepas mengaji ia langsung pergi bermain dengan teman-temannya. Tak peduli tiap hari aku selalu menyuruhnya untuk pulang terlebih dahulu untuk sekedar menganti baju untuk bermain.

Meskipun begitu tetap saja aku tak bisa marah terhadap putriku. Walau aku tahu dengan pasti tiap kali ia pulang bermain maka baju muslimah yang ia pakai untuk mengaji akan kotor disana-sini. Lagipula aku akan selalu mencucinya pula.

Setelah puas ia bergelayut di pundakku, barulah ia kusuruh melepas pakaiannya untuk kemudian kumandikan. Meski baru kelas 3 SD, tapi putriku telah pandai membaca Al Quran. Memang dari sebelum ia masuk sekolah pun, aku telah mengajarinya mengaji. Di surau sederhana yang dibangun oleh almarhum kakekku inilah aku mengajari putriku belajar mengaji.

Tak hanya putriku saja, ada beberapa anak-anak yang sebaya dengan putriku juga ikut belajar mengaji di surau sederhana ini. Mulanya aku pun tak berniat untuk mengajari mereka. Tapi belakangan aku sedang banyak waktu senggang, sehingga berdiam di rumah pun tak kerasan rasanya.

Awalnya Fitri, salah seorang sahabatku yang mengajar mengaji disini. Beberapa kali aku mengantarkan putriku mengaji, karena memang surau yang terletak tak begitu jauhnya dari rumahku. Berhubung karena beberapa kali Fitri tak hadir karena ada keperluan, aku terpaksa menggantikan posisinya.

Tentu saja awalnya aku canggung karena berarti aku juga mengajari putriku sendiri. Bukan aku tak mau, hanya saja aku fikir masih ada Fitri yang kuanggap lebih bisa dan lebih baik dalam mengajari anak-anak di desa kami ini.

Tapi suatu hari ibuku bilang jika putriku mengajarinya doa sebelum tidur sewaktu ibuku sedang berbaring santai di kamarnya. Tentu saja ibuku tersenyum senang, karena sebenarnya ibuku sudah tahu doa tersebut. Tapi ibuku pura-pura tak tahu, dan tetap minta diajari doanya oleh putriku.

Setelah selesai diajari doa tersebut oleh putriku, ibuku pun bertanya dari siapa putriku belajar doa tersebut. Tentu saja putriku menjawab bahwa akulah yang mengajarinya. Putriku juga memberitahu jika sesekali aku mengantikan mengajar di surau.

“Sayang ilmu kamu. 6 tahun mondok di pesantren masa cuma disimpan sendiri saja?” begitu ibu berkata padaku.

Akhirnya setelah ibu menasihatiku, juga beberapa kali ajakan dari Fitri, maka resmilah aku menjadi pengajar di surau ini. Lagipula Fitri memang selama ini hanya sendiri yang mengajar di surau ini. Sejak itu mulailah hari-hariku diisi dengan kegiatan mengajar anak-anak belajar mengaji.

Setelah selesai memandikan putriku dan mengganti pakaiannya dengan yang baru, kusisir rambutnya yang panjang terurai. Tercium aroma wangi dari sana, khas anak-anak yang memang belum terjamah kotoran dosa.

Kutemani putriku bermain lagi di halaman depan rumah kami yang memang cukup luas. Sudah ada beberapa temannya yang datang untuk mengajaknya bermain lagi. Tak ku hirau bila ia berkotor-kotor lagi, tentu bila tak disengaja pula. Ku biarkan ia bermain sepuas hatinya bersama teman-temannya.

“Jangan bengong, nanti ada yang lewat tuh....” sebuah suara membuatku menolehkan pandanganku ke sumbernya. Seorang pria yang cukup tinggi, lebih tinggi dariku tentu saja, berdiri gagah bersama Fitri yang datang bersama Nisa, putrinya yang baru berumur 5 tahun.

“Masih ingat?” tanya sang pria. Potongan rambutnya tercukur cukup pendek dan rapi pula. Tak ada kumis diatas bibirnya yang selalu tersenyum. Sedikit janggut rupanya ia biarkan tumbuh dibawah dagunya dengan bentuk rahang yang nyaris berbentuk kokoh.

“Tentu saja” sahutku sembari membalas senyumnya.
“Gimana kabar kamu?” tanyanya. Tak ada uluran tangan untuk bersalaman diantara kami. Kuyakin ia pun tahu menyentuh seseorang yang bukan muhrimnya ialah dosa, walaupun sekedar bersalaman saja, karena aku juga tahu ia pernah mondok juga sepertiku hanya saja berbeda pesantren.

Kulayangkan ekor mataku ke arah Fitri. Fitri langsung menangkap maksudku, Fitripun duduk disampingku. Sang pria tetap berdiri tegap.

“Baik” jawabku kemudian.
“Kamu?” kubalas tanya padanya.
“Masih sama seperti yang dulu” balasnya dengan tetap tersenyum.

Kupandang Fitri dengan pandangan penuh tanya. Fitri pura-pura tak melihatku dan sibuk bercengkerama dengan putrinya.

“Aku mau mampir sekalian pengen tahu kabar kalian” seakan-akan tahu bahwa aku sedang bingung sang pria berkata.
“Juga sekalian ingin minta kesempatan kedua” Fitri bersuara.
Kurasakan keningku berkerut.
“Aku sudah menunggu selama 11 tahun. Kurasa itu sudah cukup sebagai hukuman. Beri aku kesempatan lagi kumohon” pintanya.
“Ayolah, lagipula kamu sudah bercerai pula. Kini kamu sendiri lagi” Fitri membantu menyerangku tepat di sasaran.
“Kenapa dulu kamu kabur?” sergahku kepada sang pria.
“Waktu itu aku masih anak-anak” elak sang pria.
“Aku juga” balasku langsung.

“Aku mohon maaf” sang pria berkata lagi setelah hening beberapa saat.
“Aku mohon maaf atas kebodohanku waktu itu. Tapi aku terpaksa melakukannya. Tak ada sedikitpun niat hatiku untuk melukai hatimu” ia menjelaskan.
“Aku juga sudah pernah cerita kan?” Fitri berkata lagi.
“Apa yang harus kulakukan?” entah pada siapa aku bertanya.

Sang pria tiba-tiba menjatuhkan dirinya dan berlutut dihadapanku.
“Bangun!” terkejut aku berteriak.
“Kamu mau apa?” tanyaku.
“Aku ingin menikahimu” enteng jawabnya.
“Bangun dulu dong kamunya” kataku menyuruhnya.

Ia tetap saja berlutut. Kulirik Fitri lagi. Fitri hanya tersenyum saja melihat situasi seperti ini.

“Aku akan belajar mencari rumput untuk ternak orangtua kamu deh. Nanti minta diajarin sama ayah kamu”
“Yang nyari kayu bakarnya siapa?” tanyaku.
“Aku juga bisa nyari kayu bakar” sahutnya cepat.
“Hmmm.... gimana ya?” aku memutar-mutar bola mataku.

“Aku minta satu syarat lagi” kataku kemudian.
“Apapun itu” ia mulai tersenyum.
“Aku minta seluruh hati kamu hanya untukku” kutatap tajam matanya.
“Takkan pernah bisa” sahutnya mengagetkanku.
“Yang pertama kan selalu Allah SWT. Belum lagi aku juga akan membagi hatiku untuk putri kita kan?” ia menjelaskan sebelum sempat hilang rasa terkejutku.

Kucibirkan bibirku didepannya. Dalam hati aku bersyukur ia telah dikembalikan padaku, bahkan telah mau menerima putriku sebagai bagian dari darah dagingnya sendiri.

“Ibu, siapa nih?” putriku bertanya sembari menunjuk ia yang masih berlutut.
“Duh.... capek nih” erang sang pria.

“Siapa ya?” aku tersenyum kepada putriku.