Cerpen Kita: PERMATA HATI

Day 2,772, 04:57 Published in Indonesia Chile by Fitri Elen4

PERMATA HATI


“Aku sudah menikah”
“Itu penjelasan atau jawaban?” tanyanya dengan cepat.

Tak pernah kusangka akan bertemu dengannya disini. Pagi ini kuawali dengan semangat seperti biasa. Hari ini adalah hari pertamaku bekerja. Seminggu yang lalu telah kudapatkan kepastian untuk penempatan kerja pertamaku. Dinas Pertanian Jakarta, disini aku ditempatkan.

Tak terbetik sedikitpun keraguan dalam hatiku menerima kesempatan ini. Jauh memang dari kampung halamanku, ditambah lagi ini adalah kali pertama aku keluar dari kampung halamanku. Keluar kandang begitu orang kampungku berkata.

Izin dari suami yang baru sebulan menikahiku pun telah kudapatkan. Tentu saja izinnya harus kudapatkan dengan susah payah. Alasanku yang paling masuk akal adalah bahwa suamiku belum mendapat pekerjaan tetap setelah ia mendapat gelar sarjana di depan namanya. Ditambah lagi kondisi keuangan keluargaku yang ternyata kurang baik. Ibulah yang memberitahuku bahwa kondisi keuangan keluarga kami kurang baik setelah aku selesai menempuh pendidikan disuatu perguruan tinggi didaerahku.

Yang kutahu seluruh biaya pendidikan terakhirku berasal dari berbagai macam pinjaman. Sungguh seandainya dulu aku tahu, pastilah aku akan menolak untuk melanjutkan pendidikanku. Atau setidaknya aku bekerja sambilan sembari kuliah agar tidak terlalu membebani biaya pendidikanku.

Jauh panggang dari api. Tak ingin aku berlarut dalam penyesalan yang panjang.

Tak lama setelah selesai kuliahku seorang teman seangkatan datang melamarku. Sungguh telah kucoba untuk menolaknya. Dari cara yang halus hingga terang-terangan telah kutunjukkan penolakanku. Berkat kegigihannya dan nasihat orang tua, kuterima juga pinangannya setelah setahun lamanya ia mendekatiku. Tapi mungkin yang paling benar ialah karena aku tak mau dianggap sebagai anak durhaka, maka kuturuti keinginan orang tuaku.

Pernikahan kami diadakan secara biasa saja. Hanya teman dan kerabat saja yang hadir, ditambah tetangga disekitar yang ikut membantu. Dalam hati sering kubertanya benarkah ini? Tapi segera kusingkirkan perasaan itu mengingat ini juga demi orang tuaku.

Maka resmilah aku menjadi istrinya. Hari-hari pertama pernikahan kami kulalui dengan sedikit perasaan ragu. Beda dengan suamiku yang begitu semangat dengan pernikahan ini. Mungkin juga karena suamiku mendapatiku yang masih perawan. Entahlah.

Sampai akhirnya seminggu yang lalu kuterima kabar gembira ini. Segera kusampaikan kepada suamiku dan keluargaku juga. Dan sudah dapat ditebak pula apa pendapat mereka. Jangan! Itu kata pertama yang aku dengar. Kata-kata selanjutnyapun masih kata-kata yang melarangku juga untuk bekerja.

Perempuan cukup bekerja didapur saja, suami pulang maka istrilah yang menyambut, masih banyak lagi petuah mereka yang kudapatkan setelah kutunjukkan kabar gembira ini. Dengan banyak kesabaran ditambah sedikit pendekatan yang tepat maka bisa kuyakinkan mereka. Tentu saja alasan tentang kondisi keuanganpun selalu kuajukan.

Dan disinilah aku saat ini, Dinas Pertanian Jakarta, bersama beberapa orang lainnya yang diterima bekerja disini. Tadi pagi kami berkumpul di aula depan, setelah dibagi dalam beberapa kelompok kami mendapat seorang ketua tim masing-masing kelompok. Kelompokku langsung mendapat perintah untuk menuju ke Pusat Pengembangan Benih yang berada didaerah Lebak Bulus.

Karena ternyata anggota kelompokku berasal dari berbagai daerah maka waktu dalam perjalanan menuju Pusat Pengembangan Benih Lebak Bulus kami pergunakan untuk saling berkenalan. Sebelum berangkat, seorang perempuan yang tadi membagi-bagi kami dalam beberapa kelompok telah memberitahukan bahwa ketua tim kelompokku telah berangkat lebih dahulu menuju PPB LB.

Tiba di PPB LB kami langsung menuju ruang staff.
“Terima kasih kalian telah hadir. Langsung saja akan saya perkenalkan ketua tim kalian” seorang perempuan yang kutaksir sebaya usianya denganku menyambut kami.
Pintu ruang staff terbuka. Seorang pria dengan perawakan tubuh yang cukup tinggi melangkah masuk. Potongan rambutnya pendek rapi selayaknya seorang pegawai negeri pada umumnya. Tak berkumis tapi sedikit terlihat deretan rapi janggut dibawah dagunya dengan bentuk rahang yang sedikit membentuk persegi disana.

Hampir saja aku berteriak melihatnya. Segera kutahan suaraku agar tak keluar dari tenggorokanku mengingat dimana aku berada sekarang.

Perasaanku sajakah atau memang dia berjalan menghampiriku? Tak perlu waktu lama untuk tahu jawabannya ketika kini ia berada dua langkah dihadapanku dan menatap mataku dengan tajam.
“Apa jawaban kak Aryanti?” pertanyaan itu jelas untukku.
“Jawaban apa?” setengah mati aku keluarkan suaraku untuk balik bertanya.
“Perlu aku ulang pertanyaanku?” kembali ia bertanya. Entah apa yang membuatku menganggukkan kepalaku.
“Aku cinta kak Aryanti. Maukah kakak jadi kekasihku?” dengan yakin ia mengatakannya didepan seluruh orang-orang yang ada diruang staff.

Segera aku terlempar ke masa 13 tahun lalu setelah mendengar pertanyaan sang pria. Masa dimana aku masih kelas tiga sltp dan sang pria kelas dua sltp. Kami bersekolah disekolah yang sama, SLTP NEGERI 1 CIMERAK. Terasa seperti masih kemarin saja sewaktu kuingat ia begitu seringnya mendekatiku. Awalnya teman-teman sekelasku tak ada yang tahu. Yang tak kutahu ialah bahwa ternyata meski ia adik kelasku tapi ia banyak kenal dengan teman-teman sekelasku.

Maka mulailah ia bergerilya bertanya-tanya tentang diriku. Perlahan teman-temanku pun mulai sadar jika ia sebenarnya menyukaiku. Pernah ketika ia mendapat tugas piket murid untuk mengambil daftar absen murid kelasku, seluruh kelasku bersorak karena mengetahui apa yang terjadi, sungguh malu kurasa waktu itu.

Begitupun waktu kelasnya mendapat giliran untuk bertugas dalam upacara bendera. Selalu aku yang disuruh untuk mengawasi latihannya. Seingatku waktu itu masih ada Nina atau Farid ketua osis kami, biasanya mereka berdualah yang bertugas mengawasi. Tapi setelah terdengar cerita bahwa ada seorang adik kelas yang sedang pdkt terhadapku, maka akulah yang diberi tugas mengawasi setiap kelas dia yang mendapat giliran bertugas upacara.

Dan saat itupun tiba. Suatu hari sepulang sekolah saat kuberjalan dijalan setapak menuju rumahku terdengar seseorang memanggil namaku.
Kuhentikan langkahku dan kubalikkan badanku. Terlihat ia berlari menghampiriku. Setelah dekat ia menghentikan langkahnya. Dengan nafas yang masih terengah-engah ia tetap memberikan senyuman untukku.
“Ada apa?” tanyaku.
“Aku cinta kak Aryanti. Maukah kakak menjadi kekasihku?” tak ada keraguan disana. Meskipun aku sudah tahu hari ini pasti tiba juga, tapi tetap saja aku terkejut. Kutatap lagi matanya dan tetap keyakinan yang kutemukan dalam sorot matanya. Kuhela nafas sejenak.
“Tunggu setelah selesai ujian kelulusan. Nanti aku jawab setelah ujian kelulusan” hanya itu rangkaian kalimat terbaik yang bisa kudapatkan. Alasan yang tepat kurasa, karena memang tinggal beberapa hari lagi menjelang kelulusan.
“Baiklah. Janji ya kak” jawabnya setelah mendengar kalimatku.
Kali ini tak kujawab tapi hanya kuberikan senyuman saja untuknya. Segera kubalikkan badan meninggalkannya.

Sebenarnya itulah kali pertama seorang pria menyatakan cintanya padaku. Dalam perjalanan pulang senyum tak lepas dari bibirku. Hatiku berbunga-bunga ketika tadi ia bilang menyintaiku, tapi aku masih tinggi hati untuk langsung menerimanya. Jadilah kucari alasan yang masuk akal.

Hari-hari menjelang ujian aku tak pernah melihatnya. Sewaktu ujian kelulusan kelas 3 memang kelas 1&2 diliburkan jadilah aku tak melihatnya lagi.

Ujian pun selesai. Dan aku tetap tak melihatnya padahal masih beberapa hari sesudahnya kelas 1&2 bersekolah kembali. Hingga hari pengambilan ijasahku pun aku tetap tak bertemu dengannya. Apakah ia lupa? Mungkin ia sedang menungguku? Kubuang kemungkinan ia menungguku karena aku malu untuk mendatanginya, bukankah seharusnya ia yang menghampiriku karena aku perempuan?

Kulalui hari-hari berikutnya dengan sibuk mempersiapkan diriku untuk masuk SPMAN Ciamis. Hatiku tak tenang memikirkannya. Setelah aku berhasil masuk SPMAN Ciamis, kudengar dari Nina bahwa ia masih bertanya tentangku. Kubilang pada Nina untuk tak mengatakan apapun padanya. Dan hari-hari pun berlalu begitu saja hingga hari ini kami bertemu kembali.

“Aku sudah menikah”
“Itu penjelasan atau jawaban?” tanyanya dengan cepat.
“Aku sudah menikah” makin lemah suaraku menjawab.
Hening dan dingin kurasakan hawa diruangan ini. Lama waktu berjalan kurasakan saat ini.
“Baiklah. Dan biar semua yang disini menjadi saksi untuk perkataanku selanjutnya” berkata lagi ia.
“Dengar semuanya. Aku tak pernah menyesal membuang waktuku 13 tahun hanya untuk mendengar jawaban kak Aryanti. Aku hanya ingin kak Aryanti tahu itu saja.” lanjutnya.
“Ketua tim kuserahkan kepadamu” ia menunjuk perempuan yang tadi menyambut kelompok kami.
“Kamu mau kemana?” tanya sang perempuan.

Ia tak menjawab. Kali ini akulah yang melihatnya berjalan pergi.