Cerpen Kita: MALAM MENJADI MIMPI

Day 2,794, 00:18 Published in Indonesia Chile by Fitri Elen4

Chlife seorang wanita? sungguh tak disangka
Saya disangka perempuan? hahaha
Di cerpen pertama saya yang berjudul Cerpen Kita
, sebenarnya sudah jelas saya sebagai tokoh Aku yang seorang pria.

xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx


MALAM MENJADI MIMPI


Langit masih saja terus menumpahkan tangisannya semenjak tadi pagi. Dimusim penghujan seperti ini aku jadi sering lebih banyak berdiam diri di rumah saja. Pekerjaanku menyadap(mengumpulkan sari pohon kelapa untuk diolah menjadi gula merah) pun jadi tak bisa kulakukan.

Tok tok tok. Suara pintu diketuk terdengar olehku.
Kulirik jam dinding yang menunjukkan pkl 17.30. Siapa gerangan yang bertamu disaat seperti ini?. Rumahku memang tak mudah dicapai karena selain terletak dibagian paling ujung jalan setapak yang ada, kondisi jalannya pun cukup membuat kerutan di dahi semakin banyak.

20 menit. Itu waktu terbaikku untuk mencapai rumahku dari ujung jalan sana yang berada tak jauh dari sebuah pertigaan dengan berjalan kaki. Waktu terbaikku pun harus dengan 2 syarat. Syarat pertama ialah siang hari. Syarat kedua ialah kondisi cuaca yang cerah. Waktu tempuh akan bertambah jika harus melalui jalan di malam hari atau aku bersama istri dan kedua putriku.

Tak dapat kutebak siapa yang saat ini sedang berada dibalik pintu depan rumahku. Hanya dapat kubayangkan bagaimana susah payahnya ia melewati jalan setapak itu dalam kondisi turun hujan lebat seperti ini. Sebelum terdengar ketukan kedua segera kubuka pintu yang memang tak terkunci itu.

Jantungku sesaat kurasa berhenti berdetak demi mengenali tamu yang kini berdiri dihadapanku. Meski rambut panjangnya yang basah terguyur hujan menutupi sebagian wajahnya, tapi aku yakin dengan penglihatanku sendiri.

“Saha?(siapa?)” istriku bertanya dari belakang punggungku.
“Rencang(teman)” sahutku.
“Kalebet atuh(suruh masuk saja)” istriku berkata lagi.
Kugerakkan tubuhku agar sejajar dengan daun pintu rumahku agar terbuka jalan untuknya.
“Masuklah” kataku kepada tamuku ini.
“Assalamu’alaikum” tamuku beruluk salam.
“Wa’alaikum salam” kami menyahut berbarengan.
“Handuk” aku berkata kepada istriku.

Tanpa menuruti perintahku istriku langsung menarik tamuku ke dalam kamar diiringi pandangan heran kedua putriku. Sebelum istriku menutup pintu kamar, kedua putriku menyelinap masuk pula ke dalam kamar.

Sepeminuman teh kemudian mereka sudah keluar kamar. Istriku memakaikan salah satu pakaiannya untuk tamuku, daster bercorak kelopak bunga kesukaannya. Sebelumnya tak pernah kulihat ia mau meminjamkan daster kesukaannya tersebut kepada orang lain.

Hatiku tersentak melihat sebuah gelang benang anyaman di tangan kiri tamuku. Sewaktu ia datang tadi aku tak melihatnya karena tertutup oleh lengan jaketnya. Resah di hatiku segera kusingkirkan dan kucoba memakai topeng senyum terbaik di wajahku ketika melihat putriku yang tertua menghampiriku.

“Kenalkan ini Dewi teman sekelas dulu waktu smp” aku perkenalkan tamuku kepada keluargaku.
“Ini istriku, Rani” kuperkenalkan istriku pada tamuku.
“Ini Rina, sekarang sudah kelas 2 sd” kutunjuk putri tertuaku.
“Yang ini Niar” putri keduaku kuperkenalkan terakhir.
“Diminum dulu teh hangatnya” istriku mengikutiku menggunakan bahasa Indonesia.
“Terima kasih” Dewi menyahut singkat.
“Kapan sampai” aku berbasa-basi. Sengaja tak kutanya kabarnya.
“Tadi setengah lima. Nunggu sebentar di pertigaan tapi ga ada tukang ojek, ya udah aku langsung aja jalan kesini sendiri.”
“Jika hujan seperti ini memang jarang ada tukang ojek” sahutku.
“Tadinya sempet ga yakin ini rumah kamu. Tapi pas merhatiin teras depan aku jadi yakin. Aku langsung ketuk pintu aja”
“Teras depannya kenapa?” istriku bertanya penasaran.
“Pohon mangga. Dulu sering main disitu” sahutku cepat sebelum Dewi sempat menjawab. Sebenarnya aku tahu yang dimaksud Dewi, tapi aku harus memikirkan perasaan istriku juga maka kucari alasan saja. Kebetulan memang sebuah pohon mangga tumbuh disana.
“Udah ada listrik sekarang” Dewi memperhatikan.
“Baru setahun listrik masuk ke desa ini” istriku yang menjawab.
“Owh....” Dewi membulatkan bibirnya.
“15 tahun. Lama juga kita ga ketemu ya” Dewi seakan bertanya kepadaku. Tapi yang sesungguhnya terdengar oleh telingaku adalah “Kamu kemana saja, kenapa tak pernah memberi kabar?”. Cukup sulit aku untuk mencari jawabannya karena sebenarnya aku juga tahu alamatnya sewaktu ia tinggal di Jakarta setamat smp untuk meneruskan sekolah disana.
“Waktu kami menikah juga ada undangan untuk kamu tapi aku lupa mengirimkannya” ku beralasan. Alasan yang sungguh kentara dibuat-buat saja olehku. Beruntung Dewi tak melanjutkan pertanyaannya.

Sudah pkl 20.44 ketika putri tertuaku kulihat menguap. Tak terasa waktu saat kami bercengkerama saling bertanya satu sama lainnya. Memang sebenarnya pun sudah waktunya tidur bagi kedua putriku. Malam diluar pun telah semakin pekat karena ditambah hujan yang masih juga tak ingin segera beranjak dari desa kami.

Kuangkat tubuh putri keduaku yang telah tertidur pulas dipangkuan ibunya. Setelah kedua putriku kubaringkan di tempat tidur aku kembali keluar kamar.
“Aku tidur di ruang tamu” aku mengalah karena memang rumahku tak begitu besar.
“Ayo kita juga tidur” ajak istriku kepada Dewi.
Istriku berjalan melewatiku. Aku menyingkir sedikit untuk memberi jalan Dewi.
Bukk....

Sesak nafasku setelah Dewi meninju ulu hatiku dengan tepat.