Cerpen Kita: KEYAKINAN

Day 2,705, 05:39 Published in Indonesia Chile by Fitri Elen4

Cerpan Kita: KEYAKINAN
KEYAKINAN

“Ibu....” putriku memanggil.
“Kapan mau bayar buku-buku pelajaran aku?” tanyanya.
“Besok ya sayang. Tunggu ayah gajian dulu.”
“Kapan ayah gajian bu?”
“Hari ini ayah gajian. Besok baru bayar buku pelajaran kamu.”
“Besok bayarnya bu?”
“Insya Allah....” jawabku menenangkannya. Kata-kata yang juga ingin kugunakan untuk menenangkan diriku pula.

Setelah beruluk salam putriku pun berpamitan untuk berangkat sekolah hari ini.

Ya Allah.... berikanlah aku sedikit kekuatan dihatiku untuk menjalani kehidupan ini, dalam hati lirih ku panjatkan pintaku pada-Nya.

Setelah selesai membersihkan rumah mungil kami yang tercinta ini, segera aku membersihkan diriku pula. Biasanya setelah aku selesai bersih-bersih, aku segera membuka warung kecil milikku yang terletak didepan rumah kami. Warung yang kubuka dengan modal seadanya untuk sekedar menemaniku menghabiskan waktu dirumah.

Hasil dari warung pun tak seberapa. Hanya cukup sekedar untuk membantu agar dapur bisa ngebul saja kata orang. Paling tidak kami tidak repot jika sewaktu-waktu membutuhkan sekedar bumbu dapur misalnya.

Suamiku sendiri hanya seorang buruh serabutan yang sehari kerja sehari dirumah. Tak tentu pendapatannya pula. Aku harus pintar-pintar dalam mengatur berapapun yang ia berikan untuk keluarga kami. Sungguh sangat jarang kami bisa menyisihkan sedikit dari apa yang kami punya.

Tak elok pula rasanya bila aku menuntut lebih kepada suamiku dalam keadaan yang seperti itu. Walau sesungguhnya dalam hati pernah pula terbesit beberapa keinginan. Tapi itu semua tak membuat kami merasa terlalu bersusah hati pula.

Memikirkan semua itu membuatku segera tersadar apa yang ingin kulakukan sekarang. Segera kuambil air wudhu dan menggelar sajadah di kamarku. Segera kudirikan sholat sunat sebanyak 2 rokaat. Bukan sholat sunat Dhuha yang kudirikan. Meski banyak orang bilang jika ingin kaya maka perbanyaklah sholat sunat Dhuha, termasuk guru mengajiku dulu sewaktu kecil. Bukan tak ingin mendengar nasihat orangtua pula aku tak melakukan seperti mereka, hanya aku mempunyai pandangan tersendiri pula tentang hal ini. Kufikir bila seseorang berniat sholat sunat Dhuha untuk menjadi kaya silakan saja. Tapi untukku aku hanya berniat karena Allah SWT saja. Bukankah lafal Ar Rohman berarti Allah SWT memberikan 1 bagian kenikmatan untuk seluruh alam semesta. Dan lafal Ar Rohim berarti Allah SWT akan memberikan 99 bagian kenikmatan di akhirat nanti. Mengingat itu semua sedikit membuat hatiku kembali sejuk.

Seperti yang sekarang kulakukan. Setelah selesai mendirikan sholat sunat ingin ku curahkan isi hatiku setelah mengingat kejadian tadi pagi sewaktu putriku hendak berangkat sekolah hari ini.

Kupanjatkan pula sekadar fikiranku terhadap-Nya. Kupinta yang terbaik dari-Nya. Kumohon pula rasa kecukupan dihati keluarga kami atas segala pemberian dari-Nya.

Selesai kucurahkan semua isi hatiku pada-Nya, segera kubereskan kembali sajadah dan ruku yang kugunakan. Kusimpan rapi dalam lemari disudut kamar kami yang telah sedikit terkelupas lapisan catnya dibeberapa bagiannya.

Kutarik nafas panjang dan kuhembuskan perlahan. Kuucap lafal basmalah sebelum kulangkahkan ayunan kakiku keluar kamar menuju warungku.

Hingga menjelang lepas tengah hari hanya ada beberapa yang berkunjung ke warungku. Kucoba untuk tak berburuk sangka kepada Allah SWT. Kufikir mungkin nanti hari masih lagi panjang pula.

“Assalamu’alaikum ibu....” putriku beruluk salam.
“Wa’alaikum salam warohmatullohi wabarokatuh” ku jawab salam putriku.
“Ini punya siapa bu?” putriku menyerahkan sebuah amplop berwarna coklat.
“Kamu ambil darimana?” kuterima amplop tersebut.
“Dari bangku di depan warung ibu.”
“Mungkin punya orang yang tadi belanja ketinggalan disitu.” kuletakkan dalam laci kemudian.
“Ganti baju terus makan siang” suruhku pada putriku.
“Ga usah sholat lohor bu?” tanyanya sambil tersenyum.
“Maaf ibu lupa sayang....” kuusap lembut kepalanya yang tertutup kerudung berwarna putih polos.

Hari sudah beranjak petang ketika kulihat suamiku memasuki warung.
“Assalamu’alaikum....”
“Wa’alaikum salam warohmatullohi wabarokatuh.” kubalas salamnya.
“Cuma dapet segini hari ini” ucap suamiku sembari mengulurkan tangan kanannya. Kusambut uluran tangannya. Tanpa melihat terlebih dahulu segera kuletakkan beberapa lembaran tersebut diatas meja. Segera kusediakan air bening segelas kehadapannya. Tak seperti kebanyakan orang lain suamiku tak suka minum kopi atau teh. Boleh dibilang minuman kesukaannya hanya air bening saja. Yang sudah matang tentunya.

Diawal pernikahan kami dulu aku sempat beberapak kali menyuguhkan secangkir kopi atau teh bila pagi hari atau terkadang disore hari. Tapi seiring waktu ia perlahan-lahan memberikanku penjelasan tentang kebiasaannya tersebut. Padahal seingatku dulu sewaktu ia beberapa kali datang ke rumahku sebelum kami menikah dulu ia sempat beberapa kali meminum kopi yang disuguhkan oleh ibuku.

Sewaktu kutanya tentang hal itu, ia menjawab bila waktu itu ia hanya sekedar menjaga perasaan orangtuaku saja. Tak lebih. Kufikir sedikit diluar kebanyakan orang lain yang tak seperti ia. Tapi tak jadi masalah pula untukku.

Setelah suamiku meminum habis air digelas dan sebentar melepas lelahnya kemudian ia pamit kedalam rumah untuk membersihkan dirinya. Setelah suamiku masuk kedalm rumah barulah aku menghitung lembaran yang ia berikan tadi. Ya Allah.... rintihku dalam hati setelah menghitungnya.

Haruskah kuberitahukan tentang putri kami yang menagih uang pembayaran untuk buku-buku pelajarannya tadi pagi? Sungguh tak sanggup rasanya bila ku memberitahukannya. Tapi bila aku diam saja bagaimana nanti bila putriku menanyakannya lagi? Akan kujawab lusa saja bayarnya? Atau bilang saja bila ayahnya belum gajian?

Malam ini terasa sangat panjang bagiku.

“Ibu ada tamu diluar” putriku memanggilku dikamar.
“Siapa?” tanyaku.
“Ga kenal”
“Kamu sudah sarapan?” tanyaku lagi melihat ia sedang merapikan tali sepatu sekolahnya.
“Aku nyiapin sepatu dulu bu” sahut putriku.

Kulirik jam dinding baru pukul 06.13. Siapa gerangan sepagi ini bertamu batinku. Kubuka pintu dan terlihat 2 orang perempuan muda yang berpakaian rapi.
“Maaf ibu kami mengganggu. Kami mau tanya apa kemarin ibu menemukan sebuah amplop berwarna coklat diwarung ibu?” tanpa berbasa-basi salah seorang dari mereka langsung bertanya.
“Ya ada” jawabku sambil berusaha tersenyum walau kurang suka dengan kekurang sopanan mereka.

Kuambil amplop tersebut dari warung. Sebelum aku memberikannya kepada mereka, aku menanyakan dulu apa saja isi amplop tersebut. Setelah mereka menyebutkannya lalu kubuka amplop tersebut untuk memeriksanya. Setelah kuyakin isinya memang sesuai dengan keterangan mereka baru kuserahkan kepada mereka.

“Terimakasih dan mohon diterima sekedar dari kami ini ibu” ucap salah satu dari mereka sambil menyodorkan sebuah amplop putih polos.
“Membantu tak perlu berpamrih” aku menolak secara halus.
“Maka ibu juga harus membiarkan kami untuk berbuat kebaikan kepada orang lain pula kan?” sahutnya seakan membalikan ucapanku.
“Kami benar-benar berterima kasih pada ibu” senyumnya terasa polos tanpa maksud apapun.
“Mohon diterima” ia menyodorkan amplop putihnya lebih dekat ke tanganku.

Ragu kuterimanya. Setelah amplop putih berpindah ke tanganku, mereka berpamitan dan pergi dengan menaiki sebuah mobil yang terlihat cukup mewah.


“Ibu.... jadi bayar buku hari ini?” putriku sudah berpakaian seragam sekolah dengan rapi.