Kontemplasi Sang Panglima

Day 2,675, 05:01 Published in Indonesia Indonesia by Munawar Musso
“…satu-satunya milik nasional yang masih utuh dan tidak berubah dalam menghadapi segala macam tantangan dan perubahan ialah Tentara Nasional Indonesia”

*Potongan dari surat Almarhum Panglima Besar TNI, Jendral Sudirman, kepada Presiden Soekarno (namun konon katanya dibujuk untuk tidak dikirimkan) pada Agustus 1949. Dimuat oleh AH Nasution dalam bukunya Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia jilid 2, Diplomasi atau Bertempur. Semenjak dimuat Nasution, kata-kata ini jamak dikutip oleh anggota TNI/ABRI sebagai pengingat bahwa TNI/ABRI adalah hak milik nasional. Bukan milik sekelompok elit penguasa.

Artikel ini dibuat sebagai opini pribadi. Klarifikasi dari TNeI secara resmi dapat dilihat di sini.

Saat ini melihat media saya ingin sekali tertawa terbahak-bahak. Rasanya seperti mendengar Hitler berkhotbah tentang demokrasi dan perdamaian dunia, saat melihat adanya oknum2 MU swasta dan eks plat merah yang akhir-akhir ini teriak-teriak “taat pada order”, “taat pada CP”, dan “taat pada Negara”. Tapi inilah eIndon, baik RL maupun virtualnya , penuh hipokrisi dan banyak hal yang memang layak untuk ditertawakan.

Dalam novel Laut Biru karya Stuka1788 (credit to Kaskus), ada adegan di mana Commodre van Huydt menghadapi dilema, antara mengikuti akal sehat dan nuraninya untuk mengizinkan TNI AL Indonesia masuk ke perairan Australia demi menyelamatkan KRI Antasena yang tenggelam atau menuruti perintah dari Admiralty Australia untuk menghancurkan siapapun yang memasuki zona perairan Australia.

“Semua terasa indah saat itu, sebelum aku mengenal yang namanya perang dan pembunuhan, juga perintah-perintah brengsek yang selama ini telah kulaksanakan atas nama Raja dan Negara; sebagian baik dan aku melihat tujuan mulia di baliknya, tapi rata-rata yang kudapatkan selalu saja perintah brengsek yang seolah dibuat oleh seorang pemabuk tidak waras yang telah lama menghuni rumah sakit jiwa tanpa prospek untuk bisa sembuh, dan mulai sejak itu aku tak pernah menjalani Natal dengan sama lagi.”
"...kita sedang digiring menuju awal terjadinya sebuah Perang Dunia; aku tak tahu siapa yang melakukan atau untuk tujuan apa, tapi aku hanya tahu bahwa ini tidak bisa kita biarkan."

Sang Komodor paham, there’s no point following somebody’s fool order. Dia tidak tahu apa yang dilakukan oleh elit-elit Australia, yang dia tahu adalah KRI Antasena tenggelam karena diserang oleh pemerintahnya sendiri dan dia paham jika dia mengikuti perintah tersebut maka akan memicu pecahnya Perang Dunia ke III.

Hal yang sama dilakukan Panglima type-x, ketika melihat keadaan adanya direct war dan RW sementara di sisi lain, elit-elit gov sibuk main coup-coupan. Maka secara akal sehat yang paling jelas adalah mengarahkan order melawan eColombia dalam rangka mencoba mempertahankan keutuhan eIndonesia. Rakyat yang tidak pernah mendapatkan sosialisasi dan koordinasi mass PM (Ya, ketika elit-elit telah bersengkongkol tentu mereka merasa tidak akan butuh masukan dari rakyat) pun juga rasanya tahu mana ancaman yang benar-benar nyata saat itu. Di poin ini segala jajak pendapat sudah terlambat dan klarifikasi dari sang Diktator pun menjadi tidak berguna. Apalagi yang perlu dijajaki dan diklarifikasi ketika suatu hal sudah dijalankan secara sepihak?

TNeI sebagai MU Nasional (hingga saat ini) tidak hanya kali ini diserang dari segi politis. Mulai dari isu TNeI yang makan gaji buta hingga wacana pembentukan MU baru pengganti TNeI sudah dari dulu mengemuka. Selama lebih dari setahun di TNeI, saya sudah menyaksikan berbagai macam golongan yang menduduki kursi CP dan menjadi Pimpinan Tertinggi TNeI dan satu hal yang saya simpulkan, tidak akan ada siapapun yang peduli dengan TNeI kecuali internal TNeI itu sendiri. Hampir selalu gov bersikap pasif ketika TNeI diserang, bahkan ikut menyerang ketika agenda politik golongannya tidak dituruti. Kecuali ketika memang CP nya berasal dari TNeI yang sudah mengerti kondisi TNeI itu sendiri.

Kritik selalu bisa membuat TNeI menjadi lebih baik. Ketika TNeI dituduh makan gaji buta, TNeI - Akmil langsung melakukan efisiensi anggaran. Aset-aset Akmil yang ada dikelola seefisien mungkin sehingga tidak harus selalu meminta kepada negara. Di LPJ kemudian SS cashflow ditampilkan sebagai bentuk transparansi. Ketika TNeI dikritik karena bentuk pendidikannya tidak jelas, muncullah Kurikulum Akmil. Jauh dari kata sempurna, karena faktor SDM, tapi tetap menuju ke arah yang lebih baik. Adalah suatu kehormatan bagi saya bisa bergabung dengan TNeI dan ikut merasakan masa-masa sulit itu. o7

Ada masa ketika kita memiliki gov yang punya optimisme tinggi dalam menghadapi musuh, bahkan ketika dikeroyok 3 kali AS sekaligus. Ada masa ketika kita punya gov yang mau mengorganisasi warbar dan memimpin war dengan teriakan, “Bakar sampai ke kolor-kolor kalian!”. Tapi sekarang kita mesti menerima kenyataan bahwa saat ini CP yang berkuasa pun hanya CP yang ketika dikritik hanya ngeles dengan kalimat: “gue bikin artikel kampanye ga ada proker. terus kalo gue menang salah gue?” Huffft.

Nasi sudah menjadi bubur. Tentu buburnya tidak seenak bubur ayam di taman segitiga dekat terminal angkot Sadang Serang yang biasa saya konsumsi untuk sarapan. Bubur ini, meminjam istilah sang Diktator, harus kita terima sajalah sebagai kondisi diktator sudah terlanjur berkuasa. Tidak ada lagi yang saya perlu komentari dari permasalahan ini setelah artikel ini dipublikasikan, toh nanti ujung-ujungnya dibales: “Damage gue lebih gede daripada loe, gue lebih berkontribusi buat eIndo daripada loe, apa loe? Apa loe?” layaknya bocah arogan yang merasa bisa semaunya karena strengthnya paling besar. Typical gerombolan.

Bagaimanapun, saya (dan juga saya yakin Panglima type-x) sadar sepenuhnya konsekuensi dari kisruh ini. Saya pribadi menyerahkan penyelesaian masalah ini kepada massa rakyat. TNeI, menurut AD/ART, hanya bisa dibubarkan dari musyawarah besar yang meliputi seluruh elemen rakyat. Bukan karena artikel seorang individu. Saya pun siap menerima apapun yang menjadi keputusan massa rakyat dalam musyawarah besar. Kalau bubar bagus, mau itu restrukturisasi dan dipecat dari TNeI silakan, di RA juga boleh. Apalah awak ini, cuma char cupu yang kontribusinya buat eIndo tidak sampai seujung kuku elit-elit eIndon.

Lagipula, sekeras-kerasnya Sang Panglima, saya yakin kok Panglima type-x tidak akan mengeluarkan artikel pembangkangan untuk menjadikan TNeI mandiri atau MU swasta secara sepihak, yang menjadikan suatu hal yang harusnya milik negara sebagai milik segerombolan orang.

Sekian dan bubarkan!


"Pendirian bahwa tentara tidak boleh berpolitik adalah keliru. Seseorang baru bisa diharapkan akan menyabung nyawanya apabila diketahui untuk apa itu semua dilakukannya. Supaya tahu, satu-satunya jalan hanyalah dengan berpolitik. Yang tidak membolehkan tentara berpolitik berarti menjadikan semacam tentara kolonial atau tentara imprealis..."

Dipa Nusantara Aidit, dalam Harian Bintang Merah, September 1947