Diary in eRep Life I: Awal Mula

Day 1,919, 06:00 Published in Indonesia Indonesia by Janisatya Dido Pranata

Ada pepatah mengatakan, “Tak kenal maka tak cinta sayang”. Karena itu, perkenankanlah TS memperkenalkan diri terlebih dahulu. Namaku Janisatya Dido Pranata, biasa dipanggil Dido. Aku adalah Warga Negara Indonesia tulen dan kini menjadi Warga Negara eIndonesia di eRepublik.

Aku pertama kali mengenal game ini secara tak sengaja. Saat itu, tanggal 6 Januari 2013 di Real Life (RL), aku tengah iseng-iseng mencari informasi tentang game online di internet. Dan kebetulan, ada sebuah blog yang merekomendasikan game ini. Sejak saat itu sampai sekarang aku terus aktif di eRepublik.

Aku bukan sapi. Aku murni seorang nubi yang memulai game ini dari 0. Aku tak punya apa-apa. Aku juga tak punya siapa-siapa. Setiap hari aku berusaha menyambung hidup sendirian. Aku benar-benar emiskin. Hingga akhirnya, pada suatu ketika, aku mengetahui berita di koran bahwa Minister of Foreign Affair (MoFA) eIndonesia Januari – Februari 2013, Rudywi, tengah mencari putra-putri terbaik bangsa untuk menjadi wakil resmi Pemerintah di luar negeri alias sebagai Duta Besar.



Tentu saja aku sadar diri. Aku tak tahu apa-apa soal eRepublik, apalagi jika untuk mengurusi masalah luar negeri. Aku yakin bahwa masih banyak orang lain di enegeri ini yang punya kapasitas dan kapabilitas yang lebih daripada aku. Tapi di satu sisi aku juga tak punya pilihan lain. Jika aku tak mengambil kesempatan ini, mungkin hidupku di eRepublik akan segera berakhir.

Dengan penuh kenekatan dan keputusasaan, aku membuat surat dan kukirim ke Kantor Kementrian Luar Negeri (Kemenlu) di Jakarta. Rasanya seperti masih kemarin sore saat aku membuat surat itu. Kutulis:

Kepada Bapak MoFA yang terhormat.
Saya sendiri sebenarnya juga tidak tahu apa yang harus saya tulis dalam surat ini. Namun jika Bapak berkenan, saya ingin sekali mengikuti seleksi untuk menjadi MoFA, eh Dubes. Saya tahu kalau saya seorang nubi. Pengalaman saya jelas tidak bisa dibandingkan dengan Warga Negara eIndonesia lain yang lebih senior. Namun bukankah selalu ada yang pertama untuk segalanya? Jika Bapak memberi kesempatan, saya akan berusaha untuk melakukan yang terbaik. Jika saya tidak tahu, saya akan belajar. Semoga Bapak berkenan menerima surat saya ini.
Sekian,
Janisatya Dido Pranata.


Sejam, dua jam, tidak ada jawaban dari Sang MoFA. Aku tetap berharap. Tiga sampai lima jam tidak ada jawaban, aku masih menjaga harapan itu. Tapi saat dua belas jam berlalu tidak mendapatkan respon, aku mulai putus asa. Aku pun mulai mencari pekerjaan lain sebagai seorang jurnalis. Meskipun tidak bergaji, namun setidaknya aku bisa meluapkan passionku di dunia jurnalistik.

Sungguh tak diduga. Saat aku tengah mempersiapkan wawancara untuk salah satu program unggulan di Koranku, Special Interview, aku mendapatkan sebuah surat dari Kementrian Luar Negeri yang menyatakan bahwa aku diundang untuk melaksanakan Interview. Jelas saja aku kegirangan.

Dengan penuh semangat, aku mempersiapkan segalanya. Setelah semua bekal yang dibutuhkan dirasa cukup, untuk pertama kalinya aku pergi meninggalkan region kelahiranku, Sumatra dan pergi ke ibukota negeri ini, Jakarta, di region Java.

Sebagai anak kampung, rasanya seperti mimpi saat aku tiba di kota itu. Bangunan-bangunan tinggi dan menjulang, rumah-rumah megah bak istana. Aku seperti terbuai dengan kemolekan Jakarta. Namun aku segera mengingatkan diri, bahwa tujuanku datang ke sini adalah untuk mengubah nasib, bukan untuk bersenang-senang.

Sana-sini kutanyakan alamat kantor Kemenlu. Berputar-putar mengelilingi Jakarta, di bawah terik matahari yang begitu menyengat. Peluh kian deras membasahi sekujur tubuhku. Tapi tekadku sudah bulat. Aku harus bisa mengubah nasibku!



Sungguh beruntung, setelah seharian diterpa terik langit Jakarta, aku berhasil tiba juga di depan Gedung Kementrian Luar Negeri eIndonesia. Sama seperti gedung-gedung lain di kota itu, Gedung Kemenlu juga tak kelah megah dan besarnya. Tepat di tengah-tengah lobi gedung itu, terdapat sebuah air mancur di mana di tengah-tengahnya ada sebuah patung burung Garuda yang terbuat dari emas. Indah sekali. Di langit-lagit lobi, nampak gambar besar simbol Kementrian Luar Negeri Republik eIndonesia dan berlatar lukisan langit biru disertai awan-awan.



“May I help you, Sir?” tanya seorang wanita cantik di bagian Informasi.
Gila, cantik banget nih cewek, batinku dalam hati. Saking terpesonanya dengan gadis itu, sampai tiba-tiba tanpa kusadari, mulutku berucap, “Mbak, minta nomernya donk.”

Sontak gadis itu terkejut. Pipinya yang putih menjadi kemerah-merahan
menahan malu. “Maaf ya Mas, saya kira Mas dari eSingapore atau negara-negara Asia Timur.” Busyet dah, cantik-cantik kok rasis, batinku dalam hati 😑. Namun tak apalah. Kalau udah dasarnya cantik, ngomong apa aja tetep cantik 😃.

“Anu, Mbak. Saya diundang untuk ikut Interview calon Dubes eIndonesia bulan ini” kataku.

“Oh, iya. Masnya yang ganteng silakan langsung pergi ke lantai 10, terus cari ruang hatiku, eh ruang kerja Menlu. Nanti Masnya akan diwawancarai langsung oleh Pak Menteri Rudywi” kata gadis itu. “Eh, tapi Masnya pakai cd baja, kan?”

“Kenapa emangnya Mbak?” tanyaku.

“Pokoknya ati-ati” jawab gadis itu sembari tersenyum penuh arti.
Dipenuhi rasa penasaran, aku pun meangikuti petunjuk gadis itu. Dan benarlah. Sewaktu aku tiba di depan ruang kerja Menlu, Pak Rudywi sudah menanti kedatanganku.

Setelah masuk ruang itulah baru kemudian aku paham apa yang dimaksud oleh si gadis cantik. Alamak, mukanya Rudywi homo banget 😑. Di meja kerjanya, ada berbagai macam foto, dan semuanya ala-ala anak alay. Ada foto sedang duduk di wastafel, ada foto sedang mencium jerapah, dan lain-lain.

“Silakan duduk” kata Pak Rudywi sembari mengerlingkan mata padaku 😑.

Apa yang akan terjadi selanjutnya? Akankah aku berhasil mengubah nasib atau malah justru terpengaruh kemahoan Rudywi? Jangan lewatkan episode selanjutnya!