ENNY ARROW

Day 2,914, 18:37 Published in Indonesia Indonesia by RUDSAINT

ENNY ARROW | Ada yang tahu wajah atau sosok Enny Arrow? Hampir tak ada. Tapi yang pernah membaca karya novelnya, sepertinya banyak. Setidaknya diam-diam, karena ada yang jijik dan menyebutnya karya sampah, penebar erotisme, dan kawan bertumbuh masa akil-baliq. Ehm.

Namun inilah nama yang begitu lekat dalam dunia penulisan Indonesia pada 1977-1992. Karya-karyanya paling banyak dibaca generasi muda Indonesia.

Nama sesungguhnya, Enny Sukaesih Probowidagdo, lahir di Hambalang, Bogor 1924. Karirnya dimulai sebagai wartawan pada masa pendudukan Jepang. Belajar stenografi di Yamataka Agency, kemudian direkrut menjadi salah satu propagandis Heiho dan Keibodan. Pada masa Revolusi Kemerdekaan, Enny Arrow bekerja sebagai wartawan Republikein yang mengamati jalannya pertempuran seputar wilayah Bekasi.

Pada 1965, Enny Sukaesih menulis karangan dengan judul "Sendja Merah di Pelabuhan Djakarta". Ini karya pertama ia mengenalkan nama samaran sebagai Enny Arrow. Kata arrow ia dapatkan sesuai dengan nama toko penjahit di dekat Kalimalang. Di toko penjahit "Arrow" itulah Enny Sukaesih pernah bekerja sebagai penjahit pakaian.

Setelah Peristiwa 30 September 1965, suasana politik tidak menentu, Enny Arrow berkelana ke Filipina, Hong Kong, dan kemudian mendarat di Seattle Amerika Serikat, pada bulan April 1967.

Disitulah Enny belajar penulisan kreatif bergaya Steinbeck. Ia mulai mencoba menulis dan mengirimkan beberapa karyanya ke koran-koran terkenal Amerika Serikat. Salah satu karyanya novel dengan judul "Mirror Mirror".

Tahun 1974, Enny Arrow kembali ke Jakarta, dan bekerja di salah satu perusahaan asing, sebagai copy writer atas kontrak-kontrak¬ bisnis. Semasa kerjanya itulah, Enny rajin menulis novel. Sangat produktif. Salah satunya, "Kisah Tante Sonya", cukup populer, mampu mengalahkan popularitas "Ali Topan Anak Jalanan" Teguh Esha yang hit pada waktu itu. Pada dekade 1980-an, nama Enny Arrow mendapat sambutan luar biasa. Motingo Boesje pun lewat.

Hingga pada kematiannya (1995), tak satupun orang Indonesia tahu siapa dirinya. Warisan semangatnya sebagai penulis, dia menolak bukunya dijual di toko-toko buku besar. Untuk masa kini, sikap kepenulisannya itu nampol banget, untuk toko buku yang mengambil 50% dari harga jual buku.

Enny Arrow bukan saja penulis yang berkibar karena karya-karyanya yang penuh desah. Tapi ia juga penantang karya-karya sastra yang berpihak pada kaum pemodal, waktu itu.