Cerpen Kita: YANG HILANG

Day 2,731, 03:52 Published in Indonesia Chile by Fitri Elen4

Cerpen Kita: YANG HILANG
YANG HILANG


Pagi hari pertamaku didesa ini. Pertama kalinya seumur hidupku bangun sepagi ini dihari minggu. Kutengok arlojiku baru saja menunjukkan pkl 06.01. Baru lewat 1 menit? Keningku berkerut rasanya melihat arloji yang sangat lambat menjalankan jarumnya berputar.

Kugulingkan badanku memutari tempat tidur dengan malasnya. Setelah menghirup nafas beberapa kali barulah aku membangunkan badanku dan kusandarkan disalah satu tiang penyangga tempat tidur. Mataku mencari-cari sendalku yang kuyakin semalam telah kuletakkan disisi tempat tidur ini.

Tak kutemukan yang kucari. Tambah pula gerutu dalam hatiku. Terkejut kudapati lantai dikamar ini begitu dingin dipagi hari ini. Kubiarkan sejenak sepasang kakiku merasakan dinginnya lantai agar terbiasa.

Setelah kurasa telapak kakiku sudah merasa bersahabat dengan dinginnya lantai segera ku beranjak menuju keluar kamar. Tak ada siapa-siapa diluar kamar. Kulangkahkan tubuhku ke kiri menuju dapur.
“Sudah bangun?” Nur menyapaku dengan senyumnya. Hanya kuanggukkan kepalaku sedikit menjawab pertanyaannya.
“Cuci muka dulu sana” suruhnya. Kuseret lagi kakiku kearah kamar mandi. Kubuka pancuran yang ada disisi bak air. Terasa lebih dingin dari lantai dikamar tidur, tapi segar dan menyejukkan.

“Mana tante?” tanyaku setelah kembali kedapur.
“Panggil bibi juga boleh. Disini desa, bukan kota” Nur tersenyum lagi.
“Bibi sedang menyapu didepan” jelasnya kemudian.
“Kamu sedang apa?” tanyaku lagi.
“Bikin pepes tahu” jawabnya.
“Pepes tahu?” ulangku. Terlihat ia sedang memanggang suatu bungkusan berdaun yang diletakkan dipingiran sebuah tungku tanah.
“Iya. Kamu tidak tahu?”
“Aku mah tempe” sahutku sekenanya. Tertawa ia mendengar jawabanku yang asal.
“Begini, tahu yang sudah dicampurkan dengan bumbu kemudian dilapisi dengan daun pisang terus dipanggang seperti ini. Seringnya lebih banyak dengan cara dikukus, tapi aku senang memanggang seperti ini” jelas Nur.
“Harus pakai tungku ini?” tanyaku sembari menunjuk tungku tanahnya.
“Tungku?” Nur terheran.
“Oh benar, tungku” tersenyum ia setelah mengerti.
“Tungku tanah ini disebutnya hawu. Hawu bisa juga berarti debu, karena tungku ini pada proses pembuatannya dilapisi debu dibagian akhir pembuatannya. Mungkin juga karena hasil bakarannya juga debu makanya disebut hawu” jelasnya lagi.
“Hawu?” tanyaku gantian yang heran.
“Jika kamu sebut tungku mungkin tak ada yang tahu” yakinnya.
“Tempe” sahutku cepat dan kami tertawa bersama.

Cidadap nama desa ini. Nur adalah sepupuku. Aku sendiri kurang begitu jelas tentang keluarga kami. Yang aku tahu bahwa aku pernahna(harus memanggil) bibi kepada ibunya Nur. Jadi Nur masih adik sepupuku. Tapi karena kami seumuran, dari semalam waktu kami pertama bertemu aku sudah memintanya untuk memanggil namaku saja tanpa sebutan teteh(kakak perempuan).

Padahal kemarin aku masih berada di Jakarta. Karena alasan yang tak bisa kusebutkan, aku terpaksa ‘diungsikan’ sementara ke desa ini. Yang jelas aku kemarin sampai nekat kabur dari rumah karena tak ingin ke desa. Dan dengan bodohnya aku kabur ke rumah Nita, yang rumahnya bersebelahan dengan rumahku, sahabatku. Sebenarnya aku telah mengancam Nita agar jangan memberitahukan keberadaanku dikamarnya. Tapi ancaman tante Nila, ibunya Nita yang diajak mencariku bersama ibuku, lebih mengerikan, Nita diancam takkan diberi uang jajan selama seminggu jika tak mau memberitahukan dimana aku bersembunyi.

Dengan terpaksa aku keluar dari lemari pakaian Nita dengan diiringi tatapan memelas dari Nita. Hanya sejam aku sempat kabur dari rumah dan bersembunyi di dalam lemari pakaian Nita.

Diluar rumah Nita ayah sudah menunggu. Saat itu juga kami berangkat. Orangtuaku langsung kembali ke Jakarta tadi pagi sebelum aku terbangun. Kata Nur mereka hanya sempat mengecup keningku saja karena tak ingin membangunkanku yang terlihat pulas.

“Nonton tivi yu” ajakku kemudian.
“Sekarang?” tanya Nur. Kuanggukkan kepalaku cepat.
Nur mengajakku ke ruang tamu. Dibukanya sebuah pintu lemari dengan cara menaikkan daun pintu lemarinya kearah atas. Ternyata ada sebuah tv didalamnya.
“Tivi masih barang mewah disini. Tahun ini adalah tahun pertama listrik ada didesa. Jadi maklum saja jika tivinya ditaruh dalam lemari seperti ini”
“Oh....” bibirku membulat.
“Apakah semua anak kota seperti kamu? Pagi-pagi sudah nonton tivi? “
“Kan ini hari minggu. Seharian nonton saja. Acaranya juga bagus-bagus.” Sahutku
“Disini kami jarang menonton tivi. Hampir tidak pernah boleh dibilang.”
“Kenapa?” tanyaku.
“Tidak sempat saja. Pagi-pagi seperti ini kami membantu ibu. Selesai mandi kami akan berkumpul bersama teman-teman, bermain hingga siang hari. Setelah solat lohor kami akan beristirahat sebentar....”
“Istirahat nonton tivi?” potongku.
“Bukan nonton tapi tidur siang” jawabnya.
“Terus?”
“Kami bangun menjelang ashar, kemudian bersiap untuk mengaji di surau. Selesai mengaji kami masih ada waktu untuk bermain lagi sebentar. Menjelang magrib kami akan bersiap lagi untuk kembali ke surau hingga waktu solat isya. Selesai isya berjamaah barulah kami pulang ke rumah masing-masing.”
“Berarti masih sempat nonton kan?” tanyaku lagi
“Setelah itu kami hanya belajar sebentar kemudian langsung tidur”
“Tidak ada kegiatan lain?” tanyaku heran. Nur hanya menggelengkan kepalanya.
“Aku bersih-bersih rumah dulu ya” ia kemudian meninggalkanku.

Terlihat ia mondar-mandir beberapa kali melewati ruang tamu. Tak sekalipun terlihat ia malas, dengan semangat semua dikerjakannya.
“Selesai” tersenyum ia mengatakannya.
“Kamu mau mandi duluan atau aku yang mandi duluan?” tanyanya.
“Bareng yu....” ajakku tersenyum.
“Ga mau” tolaknya.
“Kenapa? Kan kita sama-sama cewe?” aku heran dengan penolakannya.
“Kamu duluan yang mandi” suruhnya. Dia memberikan handuk padaku.

Kubercermin setelah selesai mandi merapikan pakaian yang akan kukenakan. Kutunggu cukup lama dikamar menunggu Nur mandi.
“Ga nonton lagi?” Nur bertanya ketika melihatku didalam kamar.
“Kapan sih kamu lepas jilbab kamu? Dari pagi aku ga pernah lihat kamu lepas jilbab....” aku bertanya melihat ia masuk kamar dengan pakaian yang sudah diganti.
“Ini bukan jilbab tapi kerudung” sahutnya.
“Apa bedanya?” tanyaku cepat.
“Jilbab itu menutupi kepala juga seluruh bagian dada perempuan. Mungkin suatu hari nanti aku juga akan memakainya. Tapi sekarang aku rasa hanya perlu memakai kerudung saja” Nur menjelaskan.
“Oh... baru tahu aku”
“Aku perlu bilang ‘tempe’ ga nih?” candanya. Kamipun tertawa bersama.

“Assalamu’alaikum....” terdengar salam dari depan.
“Wa’alaikum salam....” jawab kami berbarengan.
“Sini” tangan kananku ditarik oleh Nur.

Di depan rumah sudah berkumpul 3 orang anak perempuan sebaya kami.
“Saha eta?(siapa itu?)” tanya yang paling tinggi diantara mereka.
“Nyariosna anggo basa indonesia, ameh anjeunna ngartos(berbicara dengan bahasa indonesia saja agar dia mengerti)” sahut Nur.
“Kenalkan Fitri” Nur menunjuk ke anak yang paling tinggi.
“Yang ini namanya Indri” Nur mengenalkan yang berambut sebahu.
“Dia Kiki” Nur mengenalkan yang paling kanan.
“Namaku Mutiara, panggil saja Tiara. Salam kenal” aku memperkenalkan diriku.
“Salam kenal” mereka menyahut.

“Make anu saha?(pakai punya siapa?)” Fitri berbicara
“Indri sudah bawa kan?” Nur menjawab seakan mengingatkan dengan menggunakan bahasa indonesia.
“Bawa” sahut Indri.
“Lompat gunung dulu atau lompat karet?” tanya Indri kemudian.
“Lompat gunung saja” Kiki cepat menjawab.
“Gunung yang mana yang akan dilompati?” tanyaku.
“Gunung yang....” Fitri belum sempat selesai menjelaskan kalimatnya karena terpotong tawa Nur.
“Kenapa?” tanyaku
“Bukan gunung betulan, tapi hanya gunung-gunungan. Seperti ini” setelah reda tawanya Nur kemudian mengambil sepotong ranting. Ia menggambar beberapa kotak persegi dan panjang di atas tanah, gambar terakhir berupa gambar setengah lingkaran.

“Yang ini disebut gunung” Nur menunjuk gambar setengah lingkaran.
“Karena itu disebut permainan lompat gunung” tersenyum ia menjelaskannya padaku.

Yang lain pun akhirnya tertawa setelah mengerti bahwa aku tadi sempat salah sangka kami akan benar-benar melompati sebuah gunung.