BAB 1-3

Day 5,899, 00:36 Published in Indonesia Indonesia by Alex Rival

Di sebuah ruang kamar VIP rumah sakit HUSADA berbaring laki - laki berusia 56 tahun bernama Bambang. Dia mulai sakit beberapa hari yang lalu, entah apa penyebabnya, karena selama ini dia baik - baik saja. Semakin hari sakitnya semakin parah dan tubuhnya melemah. Dokter pun sudah angkat tangan. Istrinya setiap hari menangis di sampingnya. Dia memiliki 2 orang anak, 1 orang laki - laki berusia 28 tahun bernama Ricko, dan 1 orang perempuan berusia 20 tahun bernama Sita.

Dia juga memiliki sahabat dekat yang kedekatannya melebihi keluarganya bernama Pak Ramli. Setiap ada masalah mereka selalu saling membantu. Bahkan jika dia dinas di luar daerah yang jauh dari rumahnya, dia selalu menginap di rumah sahabatnya tersebut. Oh iya Pak Bambang adalah seorang polisi sedangkan Pak Ramli adalah seorang pengusaha kecil. Mereka tidak sengaja bertemu di jalan dan akhirnya hubungan mereka semakin dekat.

Karena beberapa hari yang lalu sibuk dengan pekerjaan, hari ini Pak Ramli baru bisa menjenguk Pak Bambang di rumah sakit. Perjalanan dari rumah Pak Ramli ke rumah sakit menempuh waktu 3 jam.

Saat Pak Ramli dan Pak Bambang berbincang - bincang di dalam kamar, istri Pak Ramli dan istri Pak Bambang berbincang - bincang di luar kamar.

"Maaf Pak Bambang, saya baru bisa menjenguk hari ini," ucap Pak Ramli pada Pak Bambang meminta maaf.

"Tidak apa - apa Pak Ramli, terima kasih sudah datang menjenguk saya," balas Pak Bambang dengan tersenyum.

"Bagaimana keadaan Pak Bambang?" tanya Pak Ramli prihatin.

"Rasanya, umur saya sudah tidak lama lagi Pak," jawab Pak Bambang pesimis.

"Jangan bicara seperti itu Pak, Pak Bambang harus kuat," kata Pak Ramli memberi semangat.

"Pak Ramli, hubungan kita sudah sangat dekat seperti saudara. Saya tidak pernah bertemu dengan orang, teman, ataupun sahabat sebaik Pak Ramli. Kalau saya pergi nanti, hubungan kita hanya akan tinggal kenangan," ujar Pak Bambang panjang lebar.

"Pak Bambang pasti sembuh, jangan bicara yang tidak - tidak Pak," kata Pak Ramli.

"Saya berharap kita bisa menjadi keluarga yang sesungguhnya. Sebelum saya pergi, saya ingin menikahkan anak laki - laki saya Ricko dengan putri Pak Ramli," kata Pak Bambang.

"Tapi, putri saya masih sekolah Pak. Dia masih SMA dan ia tidak akan mau menikah mudah," balas Pak Ramli.

"Saya mohon Pak, saya ingin menjalin hubungan keluarga dengan Pak Ramli sebelum saya meninggal. Saya sudah tidak kuat lagi, saya mohon pernikahannya dilaksanakan di kamar ini. Di depan saya 3 hari lagi," ujar Pak Bambang memohon.

"Iya Pak, akan saya bicarakan dengan istri dan anak saya dulu. Semoga mereka mau menyetujuinya," balas Pak Ramli mengiyakan permintaan Pak Bambang.

Sesampainya di rumah, hari sudah malam. Pak Ramli mendiskusikan perbincangannya dengan Pak Bambang pada istrinya, tentu saja istrinya menolak. Anak gadisnya masih sekolah, masa depannya masih panjang. Tidak mungkin dia membiarkan anaknya menikah muda.

"Bu, Pak Bambang sudah banyak membantu kita. Ayolah kita penuhi permintaan terakhirnya," bujuk Pak Ramli pada istrinya.

"Tapi Pak, Intan masih muda, apa bapak tega merenggut masa depan anak kita?" ucap Bu Romlah istri Pak Ramli.

"Pokoknya 3 hari lagi Intan harus menikah dengan anak Pak Bambang. Titik!" seru Pak Ramli lalu berdiri

meninggalkan istrinya di ruang tengah sendirian.

Setelah itu Bu Romlah menghampiri kamar Intan. Ia melihat anak gadisnya yang tertidur lelap lalu menitikkan air matanya karena tidak bisa berbuat apa - apa untuk anaknya. Ia sangat paham dengan sifat suaminya yang keras kepala dan tidak bisa dibantah.

Ke esokan harinya saat sarapan pagi bersama, Pak Ramli mengutarakan maksudnya pada Intan.

"Intan, 2 hari lagi kamu harus menikah dengan anak teman Bapak," ucap Pak Ramli pada Intan tiba - tiba.

"Intan kan masih sekolah Pak, apalagi 2 hari lagi? Bapak bercanda ya?" balas Intan tidak percaya.

"Bapak serius Intan, lusa kamu ikut Bapak ke rumah sakit. Kamu tahu kan Bapak tidak suka dibantah!" ucap Pak Ramli tegas.

"Tapi Pak, gimana dengan sekolah Intan? Tinggal beberapa bulan lagi Intan lulus Pak," ujar Intan pada bapaknya.

"Kamu masih bisa melanjutkan sekolahmu bahkan kuliah pun kamu juga bisa Intan," balas Pak Ramli.

"Tapi Intan masih belum mau menikah Pak, Intan masih ingin bebas. Intan selalu menuruti kata - kata Bapak. Bahkan saat Bapak melarang Intan pacaran, Intan juga nurut sama Bapak. Intan mohon Pak jangan nikahkan Intan. Bu, tolong Intan Bu," mohon Intan pada ibunya dan mulai menangis. Ibunya hanya bisa menunduk sambil meneteskan air matanya.

"Cepat habiskan sarapanmu! Segera berangkat ke sekolah!" perintah bapaknya. Intan pun menghabiskan makanannya meskipun rasanya sangat sulit untuk menelan. Ia sudah tidak nafsu makan lagi.

Di sekolah Intan tampak murung tidak ceria seperti biasanya. Melly, Vina dan Rita sahabat Intan merasakan ada yang tidak beres dengan sikap Intan. Saat istirahat biasanya Intan yang mengajak mereka ke kantin duluan, tapi kali ini tidak, Intan tetap di bangkunya. Ia melipat tangan di atas meja dan menyembunyikan wajahnya di sana.

"Kamu kenapa Ntan?" Tanya Melly yang kebetulan sebangku dengan Intan. Vina dan Rita yang duduk di depan mereka pun memutar kursi mereka ke belakang menghadap Intan.

"Aku mau dinikahkan sama Bapak," jawab Intan lirih setelah itu air matanya menetes.

"Kenapa tiba - tiba dinikahkan Ntan? Kamu ketahuan pacaran?" tanya Vina penasaran karena ketiga sahabat Intan itu tahu kalau bapaknya Intan melarang Intan untuk pacaran.

"Enggak, aku juga enggak tahu kenapa bapak tiba - tiba menyuruh aku menikah. Bahkan aku belum tahu siapa calon suamiku, wajahnya, usianya, dan pekerjaannya. Yang aku tahu, aku akan menikah di rumah sakit 2 hari lagi," jelas Intan pada ketiga sahabatnya itu. Melly pun memeluk Intan begitu juga Vina dan Rita.

"Sabar ya Ntan, mungkin bapak kamu ada alasan lain," ucap Melly menenangkan hati Intan.

"Yup betul, Positive thinking aja Ntan. Kita selalu ada untuk kamu," tambah Rita memberikan semangat sambil tersenyum.

"Iya Ntan, enak kali nikah. Ada yang nemenin bobok, Hahaha," timpal Vina yang membuat Melly dan Rita ikut tertawa juga. Intan hanya tersenyum mendengarkan candaan Vina.

"Yuk ke kantin lapar nih," ajak Melly. Mereka berempat pun akhirnya pergi menuju kantin bersama.

Sesampainya di kantin, seperti biasa mereka berempat memesan bakso dan es jeruk makanan favorit mereka. Sambil menunggu pesanan datang tiba - tiba Adit menghampiri mereka dan duduk di samping Intan.

"Hai Ntan, kamu kenapa, matamu sembab?" tanya Adit yang melihat Intan tidak seceria biasanya.

"Eggak apa - apa Dit, kamu sudah makan?" tanya Intan mengalihkan pembicaraan.

"Sudah, dari tadi aku nungguin kamu, kamu kenapa?" Tanya Adit penasaran karena ini pertama kalinya ia melihat Intan seperti ini.

"Mmmm aku, aku agak enggak enak badan Dit," jawab Intan berbohong. Ia tidak mau mengatakan yang sebenarnya pada Adit. Ia tahu Adit dari dulu menyukainya. Bahkan beberapa kali menyatakan cintanya, tapi Intan menolaknya karena larangan bapaknya untuk berpacaran.

"Kenapa kamu masuk sekolah kalo sakit Ntan? Ayo ke UKS," ajak Adit sambil menarik tangan Intan.

"Eggak usah Dit, aku enggak apa - apa kok," tolak Intan sambil melepaskan tangannya dari tarikan tangan Adit.

"Ya udah aku ke kelas dulu, kalo ada apa - apa kamu hubungi aku ya?" ucap Adit sebelum pergi. Intan pun mengangguk dan tersenyum.

Setelah bertemu klien, siang itu Ricko menjenguk papanya yang masih berada di rumah sakit. Setiap wanita yang berpapasan dengannya entah itu perawat, dokter, atau anggota keluarga pasien langsung jatuh cinta dengan ketampanan dan kegagahan tubuh Ricko. Ricko ke rumah sakit masih menggunakan kemeja navy dengan setelan jas hitam dan dasi melilit di lehernya. Setelah sampai di ruangan papanya Ricko segera duduk di samping papanya.

"Bagaimana keadaan Papa?" tanya Ricko dengan lembut dan menggenggam tangan papanya dengan kedua tangannya.

"Semakin lemah, Papa rasanya sudah tidak kuat lagi Rick. Oh iya kamu tahu sahabat Papa Pak Ramli kan?" tanya Pak Bambang pada Ricko.

"Iya, kenapa Pa?" tanya Ricko.

"Papa berniat menikahkan kamu sama anak Pak Ramli Rick. Papa ingin menjalin hubungan keluarga dengan beliau sebelum Papa meninggal," ucap Pak Bambang pada Ricko.

"Tidak bisa Pa, Papa tahu kan, Ricko sudah punya Rossa?" tolak Ricko.

"Iya Papa tahu, tapi Papa sudah meminta Pak Ramli untuk menikahkan anaknya dan kamu 2 hari lagi di depan Papa Rick," jawab Pak Bambang.

"Enggak bisa Pa, Ricko enggak mau. Lagipula mengurus pernikahan itu butuh waktu, tidak bisa hitungan hari," balas Ricko.

"Lusa, kamu hanya perlu menikah di depan penghulu Rick, surat - suratnya bisa kamu urus setelahnya. Ayolah Ricko, kabulkan permohonan Papa untuk yang terakhir," ucap Pak Bambang memohon.

"Ricko akan memikirkannya lagi Pa, Ricko harus kembali ke perusahaan sekarang. Beristirahatlah semoga cepat sembuh Pa," ucap Ricko lalu mencium punggung tangan papanya.

Setelah kepergian Ricko, Pak Bambang segera menelepon Pak Ramli untuk menanyakan bagaimana kelanjutan dari pernikahan anak mereka.

Pak Bambang bertanya, "Bagaimana Pak, apa anak Pak Ramli setuju dengan rencana kita?"

Pak Ramli menjawab, "Tentu saja Pak, semuanya beres. Tinggal panggil Pak penghulu saja. Lusa saya akan membawa anak saya ke rumah sakit."

Pak Bambang membalas, "Terima kasih Pak, saya sangat bahagia mendengarnya."

Pak Ramli menanggapi, "Sama - sama Pak, saya juga bahagia bisa menjadi bagian dari keluarga Pak Bambang. Jangan banyak pikiran, semoga cepat sembuh."

Setelah menyelesaikan percakapannya dan menutup sambungan teleponnya, Pak Ramli segera menelepon sekolah Intan. Ia meminta izin untuk Intan tidak masuk sekolah mulai besok selama 3 hari karena ada urusan keluarga. Pihak sekolah pun mengizinkannya tanpa menanyakan lebih detail.

Di perusahaan, Ricko tidak bisa berkonsentrasi. Ia memikirkan permintaan papanya terus - menerus. Di sisi lain ia juga memikirkan perasaan Rossa kekasihnya.

"Apa yang harus aku lakukan, aku bahkan tidak tahu anak Pak Ramli seperti apa dan berapa usianya?" gumam Ricko di dalam ruangannya.

Tidak berapa lama Rossa masuk ke dalam ruangan Ricko tanpa mengetuk pintu seperti biasanya, karena Ricko membebaskannya keluar masuk kantornya. Rossa melihat keanehan pada wajah Ricko.

"Ada apa Sayang?" tanya Rossa sambil berdiri di belakang Ricko yang duduk di kursi lalu memeluk leher Ricko dari belakang.

"Sakit papaku semakin parah," jawab Ricko tanpa memandang ke arah Rossa.

"Mmm maaf, aku belum bisa menjenguknya, akhir - akhir ini aku sangat sibuk," balas Rossa sok prihatin.

Bukankah itu semakin bagus kalau ia cepat mati? Maka tidak ada lagi yang menghalangiku menikah dengan Ricko, batin Rossa.

Rossa pun tersenyum licik, karena memang selama ini Pak Bambang belum menyetujui hubungan Ricko dengan Rossa. Pak Bambang merasa Rossa bukanlah wanita yang cocok untuk Ricko.

"Tidak apa - apa Sayang, ada apa kamu ke sini?" tanya Ricko sambil menarik tangan Rossa hingga kini Rossa duduk di pangkuannya.

"Tentu saja merindukanmu, sudah 3 hari kita tidak bertemu. Apa kamu tidak merindukanku?" tanya Rossa dengan manja.

"Tentu saja Sayang, sudah sore ayo pulang," ajak Ricko sambil menurunkan Rossa dari pangkuannya lalu menggandeng tangannya ke luar kantor.

Keesokan harinya Intan diajak orang tuanya memilih kebaya untuk persiapan pernikahannya besok. Intan hanya bisa pasrah, bapaknya orang yang berwatak keras, semua perintahnya tidak bisa dibantah. Kalaupun dibantah, ia akan mengatai Intan anak durhaka, tidak berbakti pada orang tua dan akan mengusirnya dari rumah. Intan masih belum siap untuk hidup mandiri di usianya yang masih sekolah.

Setelah pulang ke rumah, Intan memandangi kebaya putih yang menggantung di sudut kamarnya itu. Ia tersenyum getir lalu menangis dan memejamkan matanya.

"Sebentar lagi aku akan menikah, aku tidak tahu hidupku akan bahagia atau lebih buruk dari sekarang. Aku tidak pernah membayangkan hidupku akan berakhir seperti ini. Dulu aku membayangkan ketika dewasa aku akan menikah dengan laki - laki yang aku cintai dan mencintaiku. Tapi sekarang semua hanyalah angan - angan semata. Adit, maafkan aku, penantianmu selama ini sia – sia," gumam Intan. Tidak lama kemudian Intan pun tertidur.

Keesokan harinya Bu Romlah mengetuk pintu kamar Intan, tapi tidak ada sahutan dari Intan. Bu Romlah pun membuka pintu kamar Intan yang memang tidak dikunci. Ia mendapati Intan sedang menangis di meja belajarnya, Bu Romlah pun mendekatinya.

"Sabar Nak," ucap Bu Romlah sambil mengelus rambut Intan penuh cinta. Intan pun memandang ibunya lalu memeluknya.

"Bu, Intan enggak mau menikah Bu, tolong Intan," Mohon Intan sambil menangis tersedu - sedu.

"Ibu tidak bisa berbuat apa - apa Nak. Kamu tahu Pak Bambang kan? Ia orang yang baik, anaknya juga pasti baik seperti papanya. Ayo cepat mandi dan pakai kebayamu," tukas Bu Romlah lalu keluar dari dalam kamar Intan.

Intan pun bergegas mandi dan memakai kebayanya sebelum bapaknya marah.